Sabtu, 25 Februari 2012

Puisi Untuk Ayah dan Ibu

Untuk  Ibu dan Ayah...
Terima kasih,
Telah memberikan aku kesempatan
Melihat indahnya dunia
Melihat cerahnya mentari pagi
Melihat menariknya pelangi
Mendengar kicau burung yang merdu
Mendengar nyanyian alam
Setiap hari
Setiap waktu
Sampai saat ini
                Terima kasih,
                Untuk kasih sayang
Untuk  amarah
Untuk pujian
Untuk semangat
Yang telah kalian berikan
gratis, tanpa imbalan
Aku malu
Malu jika tidak bisa memberikan yang terbaik untuk kalian
Malu jika tidak bisa menggapai cita-cita
yang telah kalian ridhoi
Malu untuk berbohong
Karena kepercayaan kalian
                Maafkan aku,
Mohon maafkan aku
Aku mohon dengan sangat
Jika selama ini aku merepotkan
Jika selama ini aku membantah
Jika selama ini aku tak patuh
Jika aku membuat kecewa
Jika aku tak sempurna
Maaf, maaf, maaf
Ijinkanlah aku untuk memberikan semua yang ku miliki
Sampai aku tak akan pernah melihat sinar mata terang kalian
Ijinkanlah aku untuk menjadi anak yang berbakti
Sampai aku tak akan pernah mencium tangan kalian
Ijinkanlah aku meminta semua kasih sayang
Sampai aku tak akan pernah bisa memeluk kalian lagi
                Doakan aku,
Untuk meraih cita-cita
Untuk selalu ada di samping kalian
Untuk mendapatkan sebuah bintang terang
yang bisa menerangi kegelapan yang ada
Untuk mendapatkan jalan yang suci
Menuju sang Pencipta
Ayah... ibu...
Aku senang bahkan sangaat senang
Memiliki orang tua seperti kalian
Bimbinglah aku menuju pelabuhan cahaya
Bimbinglah aku kesana
Mari pergi bersama-sama kesana
Temani aku
Agar aku juga tidak tersesat
Jangan biarkan aku terperosok ke dalam lubang hitam yang itu!
Jangan...
Jangan sampai
                Ayah, Ibu...
                Aku, anakmu
Mengaku banyak salah
Dalam perantauan ini
Aku berjanji
Bukan hanya janji usang
Akan tetapi suci
Akan tetap menjaga diri
Dari jaring-jaring yang gelap itu
Dari segala petaka yang datang
Dalam perantauan ini
Aku berjanji
Menjaga nama baik keluarga
Menjadi insan pancasila yang taat
Menjadi muslim yang taat
Ayah , Ibu...
Bantu aku
Bantu aku untuk mewujudkan semuanya
Terima kasih Ayah
Terima kasih Ibu...
                                                                                                                                                                Zya_canina
Surakarta, 10 Desember 2011
               





lirik Indonesia Ma ost Taare Zameen

Aku tidak pernah berkata padamu
Betapa takutnya aku pada gelap
Aku tidak pernah berkata padamu
Betapa perhatiannya aku padamu
Tetapi kamu tahu kan Ma?
Kamu tahu semuanya
Mamaku...
Jangan biarkan aku sendiri di keramaian ini
Aku akan kehilangan jalan pulang
Jangan kirim aku ke tempat yang jauh dari rumah
Dimana kamu bahkan tidak  akan ingat aku
Apakah aku begitu buruknya Ma?
Apakah aku begitu buruk?
Jika sekali waktu papa mengayunku terlalu tinggi di udara
Mataku mencarimu
Berharap kamu datang dan menangkapku
Aku tidak berkata padanya
Tetapi aku menjadi amat ketakutan
Aku tidak membiarkan itu muncul
tetapi hatiku tenggelam
Kamu tahu semuanya kan Ma?
Kamu tahu semuanya
mamaku...

Sebuah Janji


Suara berisik yang ditimbulkan orang-orang membuat semakin membuat pusing kepala anak ini. Udara yang sedari tadi dipenuhi dengan bau-bau sampah dari TPA yang berjarak 50 meter dari tempat ia berdiri semakin membuatnya mual. Kenapa ia bisa terjebak di tempat ini? Salah dia karena tadi tak menghiraukan Ayahnya yang terlambat menjemputnya. Walaupun Ayahnya sudah menyampaikan argumen bahwa ada urusan mendadak, anak ini tetap tidak memaafkan beliau. Keterlambatan lima belas menit itu membuatnya marah dan merajuk. Ia memutuskan untuk pulang sendiri. Walaupun ia tahu bahwa ia sama sekali tidak tahu jalan pulang. Baru dua bulan keluarganya pindah ke kota kecil ini.
Teriakan Ayahnya yang sudah tidak muda lagi tak membuatnya mengurungkan niat untuk melarikan diri. Tak peduli seberapa marah Ayahnya nanti setelah ia tiba di rumah, ia tetap berlari meninggalkan Ayahnya berdiri di depan sekolah seorang diri di temani mobil mewah yang hanya satu-satunya dimiliki oleh warga kota ini.
Ia terus berlari, sesuka hati. Tak perduli ada yang marah-marah karena dia menyebrang sembarangan. Sebenarnya ia masih kesal karena dipaksa pindah dari ibukota yang seharusnya memberikan banyak fasilitas yang mewah untuk seorang anak yang dibesarkan dari keluarga kaya seperti dirinya. Kelakuannya akhir-akhir ini buruk. Bahkan berani membentak Bundanya saat beliau hanya menyiapkan makan malam sederhana. Sayur sop serta telur. Dikarenakan tidak ada supermarket yang menjual berbagai macam keperluan dapur yang lengkap seperti di ibukota, jadi Bunda hanya memasak seadanya. Ia tega membuang makanan yang sudah ada dipiringnya ke tempat sampah sampil mengomel pada Bunda. Dan akibatnya malam itu ia merintih kesakitan karena nggak mau makan seharian.
Bau busuk sampah-sampah ini membuat ia menelangkupkan shal merah putih yang bergambar garuda –yang selalu ia bawa kemana-mana- menutupi hidung mancungnya.
“Seharusnya tadi aku tidak belok ditikungan tadi,” gerutunya.
Setelah tadi ia dimaki orang karena tidak hati-hati menyebrang, ia memutuskan untuk belok ke sebuah gang yang membuat ia tersesat sekarang di tengah-tengah keramaian pasar yang sangat kumuh. Berkali-kali ia tertabrak oleh siku-siku besar para kuli panggul. Tadi kakinya terinjak oleh salah satu preman pasar yang bertubuh besar, memakai anting, serta tato menyelimuti kedua tangannya. Sempat ia ingin marah-marah karena sepatu mahal yang ia beli dengan mencuri uang Bundanya itu jadi kotor. Akan tetapi ia urungkan dikarenakan pemilik kaki itu sangat menyeramkan dan tidak bersahabat.
Sepanjang jalan kerjaanya hanya menggerutu. Sempat berfikir untuk menelfon Ayahnya saja. Siapa tahu Ayahnya sudah memberikan maaf. Ia membuka tas dan mengeluarkan handphone. Belum sempat ia memencet tombol. HOPP!!! Tiba-tiba ada yang merampas begitu saja handphone miliknya.
“TUNGGU!!! HEI KEMBALIKAN HANDPHONEKU!!!” Anak berseragam putih biru itu mengejar orang yang mengambil handphonenya. Namun secepat kilat orang itu menghilang dibalik kerumunan orang-orang.
“Sial,” umpatnya. Hanya itu yang bisa ia keluarkan.
Namun parahnya, ia semakin tidak tahu di mana dia sekarang. Tiba-tiba ia merasakan kesendirian yang luar biasa di antara keramaian pasar. Ia berjalan gontai mencari jalan keluar. Ia berfikir, “Seandainya tadi aku nggak kabur, aku pasti sudah bisa tidur nyenyak dirumah.” Ia menyesali berbuatan bodohnya itu.
Tiba-tiba ia merasakan lapar yang luar biasa. Tambah lagi saat melihat sebuah warung makan yang ada di depan matanya. Asap nasi mengepul semangat ke langit-langit warung. Warna kecokelatan ayam goreng pun membuat cacing-cacing di perut anak ini semakin memberontak. Saat ia berjalan menuju warung tersebut, saat penjaga warung sedang membuang kardus sisa makanan ke dalam tempat sampah, seseorang berlari menyenggolnya dan segera menyerbu tempat sampah tempat pemilik warung membuang kardus sisa makanan. Gadis itu mengambil kardus yang telah dibuang tadi dan mencoba mencari apa yang ada di dalam kardus itu. Berharap masih ada sisa makanan yang bisa ia makan.
Anak yang masih mengalungkan shal di mulutnya itu dengan cepat menahannya membuka kardus.
“Tunggu!”
Gadis itu menoleh. Ternyata masih sebaya dengan anak tadi.
“Apa yang akan kamu lakukan dengan kardus yang sudah di buang itu?” tanyanya sembari berjalan mendekati gadis tadi.
“Aku mau makan. Kamu mau?” ia menyodorkan kardus ke anak ini.
“Nggak nggak,” katanya sambil mendorong kardus.
“Ya sudah , untukku saja.”
“Mana boleh memakan makanan yang sudah di masukkan ke dalam tempat sampah. Banya bakteri tau. Apalagi juga itu kan bekas orang,” nasihatnya.
“Aku lapar, yang penting makan. Tak perduli apa yang aku makan. Yang penting perutku terisi dan aku bisa melakukan pekerjaan yang seharusnya aku lakukan.”
Deg! Tiba-tiba anak ini ingat apa yang dia lakukan terhadap makanan bersih dan sehat yang telah Bunda masak susah payah untuknya. “Maaf Bunda,” ujarnya dalam hati.
“Jangan di makan!” katanya saat teman barunya itu hendak menyuapkan sepucuk nasi yang ada di tangannya. “Biar aku traktir kamu makan saja di warung itu!”
“Beneran?”
Anak itu mengangguk.
Mereka berdua masuk kedalam warung. Kardus itu dibuang begitu saja sembarangan.
“Aku Oik, kamu siapa?” Gadis itu memperkenalkan diri saat dua piring nasi plus ayam goreng datang di meja mereka.
“Aku Obiet.”
“Sepertinya kamu bukan orang sini. Dilihat dari sergam, kamu bersekolah di sekolah yang ada di jalan raya besar itu ya?”
Anak yang bernama Obiet itu pun mengangguk. “Aku tersesat,” tambahnya sambil menggigit ayam.
“Hahaha,,,” Oik tertawa. “Tersesat? Lucu sekali. Masak anak laki-laki segede kamu tersesat. Hahaha....”
Obiet manyun dan membuat Oik semakin tertawa kencang.
“Sssst... kamu itu anak perempuan, mana boleh tertawa seperti itu. Apa Ibumu tidak mengajarimu sopan santun?” kata Oik sambil melanjutkan mengunyah.
“Ibu? Hah, aku tak pernah tau siapa Ibuku. Dia meninggalkanku.”
Obiet tersedak. “Uhuk... Apa? Tidak tahu?”
“Iya, setahuku aku sejak kecil dirawat oleh nenekku yang sudah renta dan tak bisa apa-apa. Hidupku bergantung papa belas kasihan tetangga.”
“Ayahmu?”
“Apalagi Ayahku. Nama dan ceritanya saja tak pernah datang dari mulut nenek.”
Obiet menelan ludah.
“Kamu pasti enak. Kelihatannya kamu orang kaya. Pasti nyaman hidup di rumah mewah, bisa makan kapan saja, tidur sesuka hati di kamar yang luas serta kasur yang empuk, bahkan ada seorang Ibu yang bisa menyanyikan nina bobok jika mau tidur.”
“Aku bahkan nggak mau dinyanyikan ninsa bobok oleh Bunda, karena kekanak-kanakan,” gumam Obiet dalam hati.
“Aku selalu bermimpi hal itu terjadi. Walaupun terlihat kekanak-kanakan tapi aku berharap aku bisa punya ibu yang selalu ada untukku. Dan tak akan pernah kesempatan itu. Dan kau! Jangan sekali-kali berbuat jelek terhadap ibumu. Atau kau akan menyesal kelak jika tak punya Ibu!” Oik menatap tajam Obiet sambil mengacungkan garpu kearahnya.
Obiet kembali menelan ludah. Oik saja bisa berkata seperti itu. Bahkan ia yang tahu di mana dan siapa orang tuanya ia tak pernah bersyukur mempunyai orang tua yang selalu ada untuknya. Ia tertunduk lesu. Memutar semua kelakuan-kelakuan buruknya selama ini.
“Betapa bodohnya aku,” gumamnnya.
“Eh, ada berita kecelakaan lagi!” suara Oik memudarkan lamunan Obiet. Ia ikut-ikutan melihat ke arah televisi.
“Kecelakaan baru saja terjadi lima menit yang lalu. Sebuah mobil mewah menabrak trotoar. Diduga karena menghindari seorang pejalan kaki yang hendak menyebrang...” suara pembaca berita jelas terdengar.
“Tunggu! Mobil itu!” Obiet mencoba menyipitkan mata untuk memperjelas penglihatanya.
“Kamu kenal?” tanya Oik.
“Itu seperti mobil Ayahku, ya itu mobil Ayahku. Hanya ada satu mobil seperti itu pasti di kota kecil ini.”
“Apa???” Oik terkejut.
“Cepat antar aku ke jalan itu! Cepat! Aku ingin pulang segera! Cepat!” kata Obiet menarik-narik tangan Oik.
“B...B...Baiklah. tapi aku hanya punya sepeda!”
“Tidak masalah cepaaaaaaaattt!”
Oik segera beranjak dari tempat duduk. Obiet meletakkan uang di meja makan dan segera mengikuti ke mana Oik pergi.
Oik mengacu sepeda bututnya itu dengan cepat. Obiet yang duduk membonceng di belakang hanya bisa menyesali semua yang telah ia lakukakn. Seandainya ia tidak kabur, pasti ia sudah bisa makan siang bersama Ayah dan Bundanya. Andai ia bisa bersabar sedikit dan memaafkan Ayahnya. Ia masih bisa bergurau dengan Ayahnya saat ini. Andi saja... yah kata itu yang terus saja difikirkan Obiet. Hanya kata menyesal yang bisa keluar dari mulutnya.
“Maafkan aku Ayah...” air matanya sudah tidak tahan untuk keluar dari persembunyian. Mengalir begitu saja.
Dengan cekatan Oik melintasi berbagai macam kendaraan. Demi teman yang baru saja ia kenal, ia akan melakukan apapun untuk orang yang telah memberi ia makan. Ia sangat menghormati siapa saja yang bersedia memberi sedikit rejeki kepada para fakir miskin seperti dirinya. Inilah yang bisa ia balas terhadap perbuatan baik Obiet. Ia tak bisa membalas dengan hal lain yang berupa materi. Hanya ini. Hanya kebaikan ini. Semoga Obiet mengerti itu.
Sedangkan Obiet tak memikirkan apapun selain ingin bertemu Ayah dan Bundanya. Ia masih berharap mobil yang terperosok itu bukan mobil Ayahnya. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Tak lebih. Ia menurut ke mana Oik akan membawanya. Pokoknya harus sampai ke tempat di mana kecelakaan itu terjadi. Ia berjanji pada langit yang sangat tajam memancarkan pansanya ini akan menjadi anak yang paling berbakti kepada kedua orang tuanya. Debu-debu, asap-asap kendaraan, awan panas serta angin pengap menjadi saksi janjinya itu yang kelak harus ia perjuangkan sampai mati.
-TAMAT-

Lentera Hidupku

LENTERA HIDUPKU
Kupu-kupu kuning itu sedari tadi mondar-mandir. Ia terlihat bingung mencari makan. Semua tanaman terlihat sama. Abu abu, layu, kering dan mati. Kupu-kupu itu tak pantang menyerah. Ia terus dan terus mencari disepanjang jalan. Mencoba mencari nutrisi  untuk satu hari ke depan. Lima belas menit berlalu. Terlihat sekilas warna lain. Merah. Apakah itu bunga? Kupu-kupu mempercepat laju terbang. Semoga usahanya tidak sia-sia. Ia juga perlu membantu penyerbukan si bunga kan? Kalau dia berhasil dua pekerjaan akan terselesaikan.
Semakin dekat. Yapp ternyata itu bunga sepatu. Kupu-kupu semakin bersemangat menuju ke sana. Tinggal satu kepakan lagi. Tunggu apa yang terjadi? Seorang anak lelaki memetiknya. Tega-teganya ia mengambil bunga milik kupu-kupu. Apa dia tidak tahu bahwa kupu-kupu ini sangat kelaparan. Bunga sepatu ini pun harus memiliki generasi agar bisa mewarnai dunia. Huft... Kupu-kupu terbang mengikutinya dengan kesal.
Anak itu membawa lari bunga sepatu. Membawanya menyusuri jalan yang juga berwarna abu-abu. Beberapa kali terjerembab karena tidak memakai alas kaki. Ia bangkit dan terus meringis kesakitan. Sebisa mungkin bunga sepatunya tetap utuh. Mau ke mana sebenarnya anak ini? Kupu-kupu tak pantang menyerah mengikuti.
Ia berbelok di sebelah pohon salak yang sudah tak berbuah. Sambil terbatuk-batuk berhenti disebuah gubuk dari bambu, mencari-cari sesuatu.  Ia berhenti. Tampaknya sudah menemukan apa yang dicari.  Ia melangkah penuh semangat menghampiri seseorang. Seorang anak perempuan. Sepertinya lebih muda dari anak yang berlari.
Anak lelaki berbaju lusuh itu memberikan bunga sepatu kepadanya. Dan mengajak anak perempuan itu pergi. Anak perempuan itu terlihat sangat bahagia. Kupu-kupu berhenti. Melihat senyuman polos dari anak perempuan itu ia mengurungkan niat untuk merampas madu dari bunga sepatu. Senyumannya begitu manis. Membuat orang yang memandangnya melupakakan rasa kesal dan rasa marah. Kupu-kupu mundur perlahan-lahan, kalah dalam pertarungan. Mencari bunga sepatu atau lainnya yang masih bisa dimakan.
Anak perempuan itu memainkan bunganya. Melihat-lihat dan menciumnya sesekali.
“Kau senang Ter?” Tanya anak lelaki itu.
Anak perempuan itu mengangguk bersemangat.
“Kau lapar?” Tanyanya lagi.
Ia menangguk.
“Oke, ayo kita ke basecamp nyari makan. Siapa tahu Budhe Okky masak banyak.”
Anak lelaki itu segera menggandeng adiknya berlari.
*** 
“Obiet!!! Segera mandi sana, ajakin Tera juga,” kata seorang wanita baruh baya sambil mencuci piring.
“Iya Budhe, tapi Tera udah nggak punya baju ganti. Ini baju terakhir. Yang kemarin belum kering,” jawab anak laki-laki tadi yang ternyata bernama Obiet.
Budhe Okky berhenti mencuci sejenak. Ia memandang Tera yang sedang bermain tanah liat.
“Hhh... Hari ini tidak adakah yang datang memberi bantuan lagi?” Tanya Budhe Okky.
“Kata Mbah Bejo tadi ada, tapi mereka meberikan mi instan. Itupun cuman sepuluh kerdus. Katanya dari kota.”
“Oo... Besok aku akan bilang ke Mbah Bejo. Sementara ini biar Tera pakai baju punya Oik.”
“Eh, biar Tera pakai punya Obiet saja Budhe. Obiet masih punya kok,” ucap Obiet.
“Apa tidak kebesaran?”
Obiet terdiam.
“Udah, nanti biar Budhe ambilin baju Oik selesai mencuci ini. Kamu mandi  dulu sana!”
Obiet menurut. Segera mengambil alat mandi dan pergi ke kamar mandi sementara yang telah dibuat pemerintah.
Sudah sekitar dua minggu yang lalu kamar mandi sementara didirikan. Sejak bencana gunung meletus tiga minggu lalu membuat ratusan desa di sekitar gunung api itu porak poranda. Lautan abu menenggelamkan warna perkebunan, sawah-sawah serta perumahan berubah menjadi sama. Satu warna. Abu-abu. Lahar panas tanpa ampun membabat habis apa yang menghalangi jalannya.
Bantuan demi bantuan terus berdatangan. Tak hanya dari nasional bahkan tingkat internasional pun memberikan bantuan demi kembalinya situasi seperti semula. Sialnya, satu minggu ini bantuan pakaian menurun drastis. Mereka lebih suka menyumbangkan makanan. Mungkin karena makanan adalah kebutuhan utama  dibandingkan pakaian. Membuat warga kekurangan pakaian termasuk Tera. Sebagian besar pakaian mereka hangus terbakar oleh lahar.
Bencana ini membuat kerugian yang sangat besar bagi pemerintah kota. Mereka berharap semua warga Indonesia membantu kelancaran pembangunan kembali ratusan desa yang sudah rusak.
Obiet, Obiet Panggrahito dua belas tahun. Anak kecil yang sedang mandi sambil bermain air itu ditinggal oleh Ayahnya dua tahun yang lalu. Saat Tera, Lentera Panggrahito berumur dua. Ayahnya pergi meninggalkan mereka untuk mencari uang, katanya. Tapi sampai saat ini pun tak diketahui kabarnya. Sampai Ibu Obiet dan Tera sakit sakitan. Berusaha mati-matian untuk menghidupi kedua anak kesayangannya. Namun Tuhan terlanjur rindu dengan Ibu mereka. Sesaat setelah kejadian meletusnya gunung berapi ini beliau sempurna menghadap sang pencipta.
Obiet selalu bisa menguatkan diri sendiri. Didikan mandiri dari Ibunya tetap melekat kencang di memori Obiet. Ia selalu menularkan ini kepada Tera. Mereka berdua anak yang kuat. Budhe Okky pun mengakuinya.
Tunggu bukan hanya ini, situasi menjadi lebih menyedihkan karena Tera sulit berbicara. Efek makanan yang salah membuat pita suaranya terganggu. Makanan pembawa sial. Apa yang difikirkan si pembuat makanan fast food itu. Memang harganya murah. Karena hanya itu yang bisa dibeli Ibu mereka. Tapi apa akibatnya, kandungan zat kimia yang ada dalam makanan terkutuk itu membuat pita suara si kecil Tera rusak. Beruntung hanya Tera yang memakan. Beruntung? Ya, aku rasa bisa disebut beruntung. Bagaimana kalau kedua kakak beradik itu tidak bisa berbicara? Akan seperti apa nasib mereka? Setidaknya Obiet bisa sedikit banyak membantu mengawasi dan menjaga Tera selain Budhe Okky.
Budhe Okky kehilangan suaminya. Beliau terperangkap di dalam rumah dan tidak bisa ke mana-mana. Budhe Okky sempat mau menolong suaminya. Tapi suaminya menolak. Lahar itu terlanjur cepat mengalir bak kereta listrik. Suaminya menyuruh beliau menyelamatkan Oik. Anak semata wayang mereka yang sedang bersekolah tak jauh dari pinggir desa. Alhasil Oik kehilangan ayah yang ia sayangi. 
Pagi itu sungguh pagi yang tragis. Siapa sangka satu hari sebelumnya sudah diumumkan bahwa gunung api itu mengalami penurunan. Mungkin kalau meledak tidak sampai radius dua puluh kilo. Namun Tuhan berkehendak lain. Entah apa yang Dia rencanakan. Badan Meteorologi dan Geofisika yang sudah bertahun-tahun menjaga gunung api itu kecolongan. Entah apa faktornya, kelalaian staf mungkin. Atau alat pendeteksi yang sudah usang itu mulai ngadat. Entahlah, semuanya sudah terjadi. Takdir hidup dan mati tak bisa kita hindari kan? Ledakan gunung api itu sangat hebat. Laharnya mencapai dua puluh kilo, sedangkan wedus gembelnya lebih dari tiga puluh kilo. Benar-benar bencana hebat. Secepat kilat lahar dan wedus gembel itu melahap seluruh pepohonan dan perumahan warga. Rumah Obiet, Tera dan Bundanya hanya terkena efek wedus gembel. Tapi Budhe Okky tidak. Lahar itu meluluhlantahkan rumah yang ia dan suaminya bangun sepuluh tahun silam. Meninggalkan abu. Semua rata menjadi abu. Tak tersisa.
@@@  
Keesokan harinya ada dermawan yang menyumbangkan pakaian bekas ke desa tempat pengungsian. Warga seperti melihat makanan yang lezat. Segera menyerbu kotak-kotak besar yang baru di turunkan dari truk itu. Obiet segera berlari menyibak kerumunan antusias warga. Tujuannya hanya satu, mengambil untuk adiknya, Tera.
“Tera, kakak akan berusaha!” Semangatnya dalam hati.
Obiet beberapa kali terjepit badan ibu-ibu gendut yang bertujuan sama dengannya. Bagaimana ini? Dia hanya anak kecil. Bagaimana bisa melawan besarnya tubuh ibu-ibu gendut di sebelahnya. Namun Obiet tak kehilangan akal. Ia menangis. Ya, siapa sih yang akan tetap tega membiarkan seorang anak menangis. Ibu-ibu gendut disebelah kanannya mengambilkan beberapa potong baju.
“Terima kasih Budhe,” kata Obiet sambil terisak kemudian berlalu meninggalkan pasar kaget gratis tentunya. Obiet menuju tenda dengan gembira. Ia berhasil membawakan pakaian untuk Tera.
Tera berseru senang melihat kedatangan Obiet sambil melambai-lambaikan beberapa potong baju itu. Tera sibuk memilah-milah baju yang dibawa Obiet. Ia ingin tampil cantik hari ini. Hari ini hari pertama ia bersekolah kembali. Satu minggu yang lalu ada kakak kakak dari Ibukota yang menawarkan diri untuk menjadi pengajar sementara di desa Obiet, untuk membantu guru-guru di sana. Di tempat pengungsian ini ada lima desa. Jadi, tambahan pengajar sangat diperlukan. Tera baru mau bergabung hari ini setelah banyak bujuk rayu dari Obiet, Budhe Okky, Oik serta kakak kakak itu. Sekolah ini didirikan sementara sampai sekolah utama selesai diperbaiki. Obiet dengar kakak kakak itu sedang PKL atau apa lah namanya, pokoknya praktik mengajar dari universitas apa gitu.
Obiet menyukai mereka. Kakak yang paling tinggi pintar sekali bermain gitar. Setiap selesai kelas, ia menyanyikan sebuah lagu yang selalu membuat anak-anak terhanyut. Semakin semangat untuk pergi ke sekolah sementara itu.
Tera sudah terlihat cantik. Rambutnya dikepang dua persis seperti kelinci. Baju terusan berwarna merah muda yang ia pilih ternyata memang cocok untuknya. Sempurna. Anak yang manis. Orang-orang tak akan menyangka bahwa anak ini mempunyai kelemahan. Oik menggandeng Tera, Obiet berjalan dibelakang mereka. Kanak-kanak itu sangat bahagia sekali. Seakan melupakan kejadian tragis tiga minggu yang lalu.
“Tera senang sekolah?” tanya Oik. Tera mengangguk penuh semangat.
Sampai di tempat tujuan mereka disambut oleh kakak pemain gitar.
“Wah, siapa ini? Kita punya murit baru ya? Cantik sekali,” sapa kakak pemain gitar.
Tera senyum-senyum malu.
Sekolah itu berada di balai desa. Balai desa besar itu sekarang di sekat-sekat sebagai kelas untuk mereka belajar. Setiap kelas ada papan tulis kecil. Anak-anak hanya duduk lesehan untuk mendengarkan pelajaran dari kakak kakak. Mereka tidak keberatan. Kakak kakak selalu punya cara untuk membuat mereka nyaman.
Hari ini waktunya belajar menyanyi. Dikarenakan hanya satu yang pandai memainkan gitar, kelas dijadikan satu.
Kakak pemain gitar memainkan gitarnya. Merdu sekali. Melodi yang indah. Kakak cantik yang satunya mulai melantunkan sebuah lagu.
Baru saja berakhir, hujan di sore ini
Menyisakan keajaiban
Kilauan indahnya pelangi
Tak pernah terlewatkan, dan tetap mengaguminya
Kesempatan seperti ini, tak akan bisa di beli
Bersamamu kuhabiskan waktu, senang bisa mengenal dirimu
Rasanya semua begitu sempurna , sayang untuk mengakhirinya
Melawan keterbatasan, walau sedikit kemungkinan
Tak kan menyerah, untuk hadapi
Hingga sedih tak mau datang lagi
Bersamamu kuhabiskan waktu, senang bisa mengenal dirimu
Rasanya semua begitu sempurna , sayang untuk mengakhirinya
Janganlah berganti...
Tetaplah seperti ini...
-ipank-sahabat kecil-
Suara kakak itu sangat merdu.
                “Yee... Tepuk tangan buat kak Sivia,” kata kakak pemain gitar.
“Tepuk tangan juga buat kak Cakka!” Kata kakak yang bernama Sivia, yang tadi menyanyi.
“Nah, sekarang, siapa yang mau menyanyi??? Ayo jangan takut!” Kata kak Cakka.
Semua anak menoleh ke Obiet.
“Ya, dik Obiet mau menyumbangkan suaranya untuk menghibur kita semua?”
Obiet menengok kiri kanan. Apa-apaan ini, kenapa semua menoleh kepadaku? Batinnya.
“Ayo dik Obiet!”
“Sa... Saa... Saya?”
“Iya, kakak juga pernah mendengar bahwa kamu pernah juara menyanyi di sekolah ya?” Kata kak Sivia.
Obiet takut-takut maju ke depan. Ia tak mempersiapkan apa-apa. Dulu ia juga nervous, tapi dulu ada Ibu. Sekarang? Sudah tidak ada Ibu yang mendukungnya dari belakang. Memandangnya dari bangku penonton. Tidak ada.
“Ayo dik Obiet, mau nyanyi apa?” Kak Cakka memecah lamunan Obiet.
Obiet masih menunduk.
“Kenapa dik? Ayo, jangan malu malu,” bujuk kak Sivia.
Obiet memandang sekeliling. Tidak ada Ibu. Tapi kepala Obiet terhenti saat memandang Tera yang ada di pangkuan Oik. Tera mengangguk angguk penuh arti. Seolah-olah Tera menyuruh Obiet untuk menyanyi. Mulut Oik bergerak gerak mengucapkan kata ayo berkali-kali.
Obiet manarik nafas. Memejamkan mata. Ia tidak mau membuat sedih adiknya. Walaupun tidak ada Ibu, tapi ada Tera yang selalu di samping Obiet.
Obiet membisikkan lagu ke kak Cakka. Kak Cakka manggut-manggut tanda mengerti.
Ketika gundah gulana menyapa. . .
Seakan sedih tiada terkira. 
Laksana dipadang gersang. .dahaga membalut rasa,menghujam jiwa,merampas nikmat dunia. .merajut rasa,hempaskan cita dan membelenggu jiwa. . .
Dan kini. .waktu terus berlalu. .baru ku rasa makna derita. . .
Menguatkan langkah hati. .lentera dikala senja. . .penerang jiwa pelapang jalan bahagia. .memandu cinta tegarkan asa. .membuatku dewasa. . .
Hidup ini penuh warna. .
Sebagai penghias jiwa. .
Suka duka kan terasa. .
Sebagai penguat kita. . . .
 (lentera jiwa-Obiet Panggrahito)
 “Lagu ini benar benar dari hati,” gumam kak Sivia meneteskan air mata.
Tera berlari memeluk Obiet. Kakak beradik ini membuat semua yang di sana terharu. terhanyut oleh suara emas Obiet yang membuat makna lagu ini benar-benar tersampaikan. Indah.
^-^
Hari-hari berjalan dengan lancar. Rumah-rumah mulai selesai diperbaiki. Warga bergotong royong membersihkan abu yang tersisa. Saling membantu. Mengerjakan satu persatu rumah bersama-sama. Para Ibu-Ibu memepersiapkan makanan. Terkadang Obiet dan Oik juga membantu. Walaupun mereka masih kecil, tapi mereka sudah terlatih sebagai anak gunung yang tangguh. Pemerintah menambah MCK di tempat ini. Sekolah mulai di bangun. Semua perhatian seluruh nusantara berpusat di kota ini. Banyak wartawan yang datang, Pak Walikota juga tak segan-segan menyapa warga. Dan mengucapkan banyak sekali janji-janji yang entah akan ditepati atau tidak. Semoga saja.
Hari ini ada tes membaca di kelas Tera. Celakanya Obiet belum memberi tahu kakak kakak bahwa adik kesayangannya itu berbeda.
“Ayo Tera, dibaca ya. Kan sudah kakak ajari.”
Tera terus saja menggelengkan kepala sejak lima belas detik yang lalu.
“Hahaha... Jelas Tera nggak mau kak! Tera kan nggak bisa bicara!” celetuk salah satu temannya.
“Ray! Bicara apa kamu?” Kakak itu memarahinya. “Nggak apa-apa Ter, ayo dicoba,” namun saat kakak itu menoleh ke Tera, anak kecil itu sudah berlari keluar. terlihat rambutnya berkibar terkena angin.
“TERAAAAAAA!!!” teriaknya.
 Tanpa pikir panjang Kakak itu memanggil Kak Cakka.
Kebetulan kak Cakka sedang ada di kelas Obiet.
“Cakk, gawat, Tera kabur!”
“Kabur? Kabur kemana?”
“Apa ???? Tera kabur kak?” tanya Obiet.
“I...Iya... Keluar, aku nggak tau kemana.”
Obiet segera beranjak meninggalkan kakak kakak itu. ia tidak boleh kehilangan Tera. Adik satu-satunya. Adik yang harus ia jaga sampai akhir. Apapun resikonya.
“Obiet!” kak Cakka meneriaki Obiet. “Kenapa Tera tadi Ag?”
“Nanti saja sebaiknya ceritanya, ayo kita susul Obiet!”
Mereka menyusul Obiet, ada beberapa kakak kakak yang ikut. Semakin banyak yang mencari, kesempatan ketemu semakin besar kan?
“Teraaaaaaaaaaaa!!! Teraaaaaaa!” teriakan demi teriakan membahana seluruh desa.
“Teraaaaaaa! Kamu di mana???” Obiet terisak mencari Tera. “Ibu, maafin Obiet, Obiet lengah menjaga Tera. Maafin Obiet.” Ia tertunduk lesu di tengah jalan kecil. kak Cakka yang menemukannya seperti itu langsung mendatanginya.
“Obiet,”
“Kak Cakka..”
“Kamu sangat menyayangi Tera ya?”
Obiet mengangguk.
“Tadi kak Agni cerita, saat kak Agni menyuruh Tera membaca ada yang mengejeknya nggak bisa bicara. Makanya dia kabur.”
Obiet semakin terisak.
“Tenang, kak Agni sudah memarahinya.”
“Te...ra memang berbeda kak,”
“Berbeda ? Maksudnya?”
Obiet lagi-lagi terisak. Hujan turun. Langit seolah mengerti kesedihan Obiet. Ia ingin menemani Obiet menangis.
“Ja... Jadi Tera?”
Obiet mengangguk. Kak Cakka memeluk Obiet. “Sudah, jangan menangis. Ayo kita cari Tera!”
“Cakka!!!”
Seseorang memanggil Cakka. Cakka dan Obiet menoleh.
“Ada apa Syad?”
“Sivia udah nemuin Tera!”
“Dimana?”
“Dipinggir hutan. Sedang menangis sendirian. Tapi Sivia nggak berhasil membujuk Tera pulang.”
“Ayo Biet kita kesana. Mungkin Cuma kamu yang bisa membujuknya pulang.”
Tera P.O.V
Kenapa aku berbeda? Kenapa aku nggak bisa kayak teman-teman yang lain. Kata kak Obiet aku spesial. Tapi kenapa teman-teman yang lain selalu mengejekku? Kata kak Obiet mereka iri. Yah, mungkin karena mereka iri. Tapi kak Obiet nggak tau, kalau aku nggak suka mereka ngomong gitu. Rasanya mereka jahat sekali. Walaupun kak Obiet suka bilang kalo jangan hiraukan mereka, tapi Tera nggak bisa. Rasanya sedih. Coba kalo ada Ibu, Ibu pasti akan marahin mereka. Hikz...
Tera menangis sendirian dibawah pohon. Beberapa saat kemudian kak Sivia menemukannya.
“Lentera...”
Tera berbalik. Tapi kemudian mulai memeluk erat lipatan kakinya.
“Tera, ayo pulang, sebentar lagi hujan. Nanti kalau Tera sakit gimana?”
Tera menggelengkan kepala.
“Tera, ayo pulang. Nanti kak Obiet sedih kalau Tera nggak mau pulang. Semua orang sudah menunggu Tera disana. Ray juga sudah dihukum dan nggak akan ngejek Tera lagi, begitu juga teman yang lain. Pulang sama kak Via yuk!”
Tera tetap pada posisi semula.
“Tera....” Kak Sivia membelai rambut lurus Tera. “Semua sayang Tera. Kakak kakak, kak Obiet, kak Oik, ibunya kak Oik dan teman-teman Tera. Semuanya sayang sama Tera. Mereka mau Tera pulang.”
“Teraaaaaaaa!” Obiet yang baru saja sampai langsung berteriak.
Tera yang mengenali suara kakaknya langsung menoleh. Ia berlari memeluk Obiet.
“Tenang Tera, ada kakak disini. Pulang ya?”
Tera mengangguk. Obiet mengajak Tera pulang diikuti Cakka dan Sivia.
Setibanya Cakka dan Sivia di basecamp tempat mereka menginap, Cakka menceritakan semuanya.
“Aduh, aku jadi merasa bersalah,” kata Agni.
“Sudahlah teman-teman, ini pelajaran bagi kita. Harus lebih memahami anak-anak lagi,” kata Cakka.
@Ditenda tempat Obiet tidur.
Obiet menceritakan sebuah kisah untuk Tera. Selalu cerita yang sama. Si kancil. Walaupun ceritanya cuman itu itu aja, tapi Tera selalu menyukainya. Si Kancil merupakan binatang yang sangat cerdas. Mempunyai trik-trik jail untuk menyelamatkan diri dari terkaman binatang lain.
Obiet menemani Tera sampai tertidur. Kemudian ia keluar untuk memberikan selamat malam kepada rembulan.
Malam ini rembulanya bersinar terang. Terlihat bulat. Tunggu, Obiet keduluan seseorang.
“Oik,”
“Obiet,”
“Ngapain di sini? Belum tidur?”
“Aku kangen Ayah,” kata Oik sambil tersenyum. “Kamu?”
“Aku mau ngucapin selamat malam buat Ibu. Pasti di atas sana Ibu sedang memperhatikan kita. Mungkin Ayah kamu lagi bersama Ibuku,” jawab Obiet sambil duduk disebelah Oik.
Kemudian mereka duduk diam di sana sampai setengah jam sebelum memutuskan untuk pergi ke kasur masing-masing.
### 
Satu bulan berlalu, pembangunan kota ini semakin lancar. Sekarang warga tidak tinggal di tenda-tenda melainkan menempati rumah-rumah mereka yang walaupun tidak sebagus dulu. Obiet tinggal dengan Budhe Okky di rumah Obiet. Karena rumah Budhe Okky benar-benar tak bersisa.
Hari ini hari terakhir kakak kakak dari Ibukota mengajar. Besok Obiet harus kembali ke sekolah yang sebenarnya. Pak Kepala Desa memberikan pesta kecil-kecilan untuk kakak kakak yang sudah baik hati ini. Balai desa sudah tidak di sekat-sekat. Lampu-lampu semua dinyalakan. Ada banyak sekali makanan. Budhe Okky membantu membuatnya. Oik malah sibuk mengejar Tera yang selalu berputar-putar di dapur. Sedangkan Obiet membantu mendekorasi balai desa. Menata kursi dan bangku buat kakak kakak, warga, dan yang lainnya.
Acara dibuka oleh Kakak dari karang taruna. Dilanjutkan berbagai sambutan dari Pak Kepala Desa sampai Kak Cakka.
“Saya sangat senang bisa bertemu dengan kalian semua. Rekan rekan karang taruna yang selalu menolong kami, membantu kami jika kekurangan sesuatu, Pak Kepala Desa yang mengijinkan kami mengajar di sini, Guru-guru yang kami hormati, serta adik adik yang kakak sayangi, Obiet, Tera, Oik. Kalian semua kebanggaan kakak,” kata Cakka. “Kami minta maaf apabila selama ini banyak membuat kesalahan, banyak merepotkan kalian semua. Kami berpesan kepada adik-adik untuk rajin belajar, supaya nanti bisa sekolah seperti kakak kakak ya.”
Acara perpisahan ditutup oleh sebuah lagu persembahan dari kakak kakak. Obiet juga ikutan menyanyi. Sore ini sangat mengesankan bagi mereka. Tera sejak tadi tidak mau lepas dari Kak Sivia. Menurut Tera kak Sivia itu baik sekali. Selalu membimbingnya belajar banyak hal. Tahu segalanya. Dan selalu memberikan hukuman kepada anak-anak yang mengejek Tera.
%%% 
Obiet sedang sibuk menyiapkan makanan buat Tera. Nasi sayur bayam tambah telur, makanan kesukaan Tera.
“Tera,, ini makanannya sudah siap,” Obiet membawakan piring berisi makanan ke meja depan, tempat Tera sekarang berada. “Kamu ngapain?” tanyanya setelah melihat Tera sibuk sendiri.
Tera menoleh dan memperlihatkan sebuah buku gambar ke Obiet.
“Wah, ini gambar siapa?”
Tera menunjuk gambar laki-laki membawa gitar. Ia berusaha menerangkan ke Obiet. “Oo,, kak Cakka.” Tera mengangguk.
“Trus yang rambutnya pendek ini,, kak Sivia ya?”
Tera mengangguk lagi.
“Berarti yang paling kecil dan jelek ini Tera,,, hahaha...”
Tera menimpuk Obiet dengan pensil warna.
“Ampuunnn... Ampunnn...” Alhasil mereka kejar-kejaran mengitari rumah.
@@@ 
Bus penjemput kakak kakak sudah datang setengah jam yang lalu. Sekarang kakak kakak sedang berpamitan dengan pak Kepala desa dan warga yang lain. Tangan kanan Tera sibuk menarik-narik baju Obiet, tak sabar menunggu giliran untuk bersalaman dengan kakak kakak. Sedangkan tangan kirinya memegangi kertas gambar.
“Iya,, Iya,, nanti juga kebagian Tera cantik. Tuh kak Cakka udah ke sini.”
“Hai,, Lentera ku yang cantik.. Kakak pamit dulu ya sayang.”
Tera mencium tangan Cakka. Cakka menggendong Tera. “Jagain Tera ya Biet, dia anak yang manis,” ucap Cakka sambil mengacak-ngacak rambut Obiet. “Tera jangan nakal, patuhi semua nasihat kakak Obiet ya?”
Tera mengangguk. Kemudian ia menyerahkan kertas gambarnya yang sedari tadi ia pegang.
“Apa ini?” Cakka menurunkan Tera.
“Itu Tera yang membuat sendiri kak, kak Cakka megang gitar, Kak Sivia yang rambutnya pendek. Dan yang ditengah pendek jelek itu Tera,” jelas Obiet.
Tera menendang kaki Obiet.
“Aduh,, sakit Tera.”
“Hahaha... kalian ini lucu. Tenag Tera, Tera di sini cantik kok. Makasih ya, gambarnya bagus banget. kak Sivia mana ya,” kata Cakka sambil celingukan mencari Sivia. “Oh itu dia, Siviaaa!!!”
Sivia datang menghampiri mereka. Cakka memperlihatkan gambar Tera ke Sivia.
“Wah cantik sekali, siapa yang gambar???”
“Ini malaikat kecil yang cantik,” kata Cakka sambil melirik Tera.
Mereka terlihat akrab sekali. Candaan saling mereka lontarkan satu sama lain sampai akhirnya dosen pembimbing mereka memanggil karena bus akan berangkat.
“Oh, sekali lagi jaga Tera baik baik ya Biet, lain kali kalau ada kesempatan kakak akan main kesini,” ujar Cakka.
“Iya kak, pasti.”
“Tera cantik kak Via pulang dulu yaa,, jangan nakal. nanti kakak juga akan main kesini lagi,” ucap Sivia sambil mencium Tera.
“Da,, Obiet,, daa... Tera!!!”
Cakka dan Sivia sudah berada di balik jendela bus. Kakak kakak melambaikan tangan kepada semua warga.
Cakka P.O.V
Ya Tuhan, berikanlah kesempatan bagi mereka untuk melihat indahnya dunia ini. Memberi warna di dunia ini. Melanjutkan perjuangan-perjuangan kami. Membangun negeri ini menjadi negeri yang sesuai dengan tujuan negara.
Sivia P.O.V
Aku mohon, aku mohon dengan sangat Tuhan, jagalah mereka. Mereka terlalu lemah, terlalu baik untuk menerima semua cobaan ini. Pertemukanlah mereka dengan orang-orang yang baik.
Obiet P.O.V
Terima kasih kakak kakak. Aku berjanji. Mulai detik ini. Akan aku lakukan semuanya demi kebaikan Tera. Akan aku tunjukkan kepada dunia bahwa aku kakak yang bertanggung jawab. Ibu, doakan aku ya Ibu.
Lentera, aku sayang sekali sama kamu sayang. Kakak janji, kakak akan selalu sayang dengan kamu. Apapun halangannya. Apapun resikonya.
Obiet menggendong pulang Tera yang tersenyum senang karena kak Cakka dan kak Sivia senang menyukai gambar darinya.
“Kamu senang?”
Tera mengangguk dan memeluk Obiet.
END
Sabtu, 11 Februari 2012