Minggu, 18 Maret 2012

Hitam


Hitam...
Untuk saat ini
Sedang dalam masa hitam
Tetap hitam walaupun ada banyak sekali degradasi warna
Tetap hitam walaupun ditempat yang paling terang
Menanti sesuatu
yang bisa merubah hitam
menjadi putih
Seputih gumpalan awan
Seputih  hati sang Rasul
di manakah ???
Siapa yang akan mencarikan?
yang pasti sang Khalik lah yang akan memberi
Dan sesuatu itu dalam bentuk apa?
Cat air kah?
Penghapus kah?
Entahlah...
Yang ia tahu hanya terus meminta
Panjatkan doa
Siang malam, malam siang
Terpilin beratus ratus pinta yang sama
Jadikanlah yang hitam menjadi bening kembali


Senin, 12 Maret 2012

TERIMA KASIH


Sebelumnya saya ingin berterima kasih kepada temen baik saya Novia Rizki Hapsari, yang telah mengijinkan saya untuk mengangkat ide ceritanya ini untuk saya jadikan fanfic. Sebenarnya cerita ini akan di jadikan sebuah film dokumenter, sebagai tugas akhir pelajaran sinematografi. Tapi karena ada sesuatu hal yang menghalangi, ya gagal deh. Untuk mengobati kekecewaan saya dan temen-temen yang menyetujui ide brilian ini saya buatin cerbungnya deh. Semoga siapa aja yang kena tag suka. Tapi saya juga memberikan sedikit pengubahan di beberapa adegan, biar tambah gimana gitu. Oke selamat membaca. Like or comment yach…


TERIMA KASIH

            Suasana keramaian di kelas memang hal yang tak bisa dilupakan dalam memori setiap orang yang pernah menempati bangku sekolah. Hal ini yang sekarang dialami di sebuah ruang kelas yang bertempat di ujung sekolah bertaraf internasional ini. Mereka sedang memperdebatkan nilai-nilai mid semester yang jelek-jelek. Mereka saling mencaci dan menyalahkan diri mereka karena tidak bisa mendapat nilai yang lebih baik dari sekarang. Tak jarang yang menyalahkan para pengawas yang terlalu ketat menjaga mereka saat tes berlangsung.
          Tapi tidak dengan seorang yang sedang duduk memainkan pensil yang biasa ia gunakan untuk menulis di buku-bukunya. Ia tidak tahu bahwa ia juga sedang menjadi bahan pembicaraan sekelompok siswa yang sedang menatapnya kali ini. Seseorang dari mereka memutuskan untuk menghampirinya.
          “Kenapa nilai lo tinggi sendiri?” kata anak itu.
          Ia hanya terdiam. Masih dengan posisi yang sama.
          “Lo curang ya? Pasti lo udah punya bocoran kan?” tanyanya lagi.
          Kali ini dia menoleh.
          “Salah gue apa ke lo? Ga da kan?” kata anak itu.
          “Gue cuman pengen tau. That’s it.”
          “Belajar dong,” katanya sambil berlalu meninggalkan temannya yang melongo.
          “Obiet! Dasar anak aneh!”
Obiet hanya menoleh dan pergi meninggalkan kelas. Semua anak memandangnya dengan mata penuh tanya. Mengikuti punggung Obiet yang semakin menghilang.
          Obiet memutuskan untuk bermain basket saja. Ia bosan dengan situasi kelas yang seperti itu. Sambil mendrible bola, ia mencoba merenung. Itulah yang selalu ia lakukan di saat sedang gundah. Bermain basket bisa menghibur hatinya.
          Ia bingung, mendapat nilai bagus bukan hal yang buruk. Tapi mendapat nilai bagus diantara teman-teman yang memiliki nilai jelek itu merupakan hal yang buruk. Ia memang tak perlu belajar, karena ia memang anak yang cerdas. Cukup dengan memperhatikan dengan saksama apa yang dijelasin bapak ibu guru itu sudah cukup. Tapi teman-temannya tidak menerima, mereka berfikir bahwa dia selalu mendapat bocoran.
          “Apa yang sebenarnya yang ada di otak mereka?” tanyanya sambil terus mendrible bola, kemudian memasukkannya ke dalam ring dalam sekali shoot dengan satu tangan.
@@@
          Sore ini cuaca sangat bersahabat, sehingga Obiet membulatkan tekatnya untuk tetap datang ke klub. Ia mengambil tas ransel merah favoritnya dan segera mengeluarkan sepeda motor tiger miliknya.
          Sesampai di sana ia melihat kawan-kawannya sedang melakukan pemanasan.
          “Obiet,” sapa seorang dari mereka.
          Semua mata memandang Obiet.
          “Hai,” balas Obiet.
          “Lo, lo, masih mau ikut di klub ini?” tanya Irsyad
          “Ya masih lah Syad,” jawabnya.
          “Bukannya sekolah lo melarang murid-murid di sana ikut klub luar sekolah?” tanya yang lain.
          “Jenuh gue. Cuman itu-itu aja yang diajarin.” Katanya sambil melepaskan jaket dan mulai pemanasan.
          Kemudian coach Jo datang bersama asistennya, Bang Rio.
          “Coach,” sapa mereka semua.
          Coach Jo melihat Obiet.
          “Biet,” panggilnya.
          “Sore coach.”
          “Apa yang membuatmu kembali ke sini?”
          “Aku menyayangi klub ini.” Jawabnya singkat.
          “Tapi sekolah kamu…” belum sempat Bang Rio berbicara
          “Udahlah Bang, gue suka di sini. Di sini adalah keluarga ke dua gue.”
          “Ya terserah kamu aja deh,” ucap Bang Rio. “Ayo semua mulai latihan. Bagi dua team seperti biasa, ayo semangat-semangat!” katanya membakar semangat pemain dengan bertepuk tangan.
@@@
          Hari ini semua duduk tenang di kursi masing-masing. Mereka sudah tau akibatnya jika bergeser dari bangku mereka barang sesenti pun bakalan kena hukuman.
          “Oke kalian mengerti?” tanya Bu Okky.
          “Mengerti Bu,” jawab mereka. Tak sedikit yang disertai bibir gemetar.
          “Kerjakan soal-soal ini. Kalian kelak akan sangat berterima kasih kepada saya karena kalian telah mengerjakan semua soal ini. Patton, bagikan kepada teman-temanmu,” perintah Bu Okky.
          Patton menurut dan segera membagikan soal matematika yang berjumlah 30 soal itu.
          “Dikumpulkan besok pagi,” tambah Bu Okky di sela Patton membagikan soal.
          Murid-murid saling bertatapan. Patton hanya bisa menelan ludah. Dan Obiet menghela nafas.
          “Gawat, nanti ada latihan pula di klub buat persiapan kompetisi tahunan,” katanya dalam hati.
                                                @@@
          Di ruang kamar yang berukuran 4x4 dan bercat biru laut itu, Obiet sedang bingung memikirkan apa yang akan ia lakukan sore ini. Pergi ke klub untuk latihan atau mulai mengerjakan tugasnya. Soalnya nggak mungkin soal sebanyak itu dikerjakan dalam satu malem.
          Obiet teringat pesan dari almarhum ibunya,
          “Berusahalah meraih mimipi mu nak, jangan kecewain Ibu, kamu anak ibu satu-satunya. Ambilah keputusan yang terbaik menurut kamu. Jernihkan fikiran kamu dulu.”
          Kemudian ia membuka bukunya dan mulai mengerjakan tugas yang di berikan Bu Okky. Sebentar-sebentar memandangi jam. Jarum pendek maupun panjangnya terasa cepat sekali bergulir. Kemudian ia memandangi bola basket yang dihadiahkan oleh ayahnya saat ulang tahunnya yang ke lima. Hatinya mulai gundah lagi. Suara handphone memudarkan lamunannya.
          “Halo,” sapanya.
          “Halo Biet,” kata suara di sebrang sana yang suaranya telah ditransformasi oleh sinyal-sinyal yang sebetulnya aku pun tak mengerti kenapa benda ajaib ini bisa mengubah dunia ini menjadi dekat.
          “Kenapa Bang?” tanya Obiet.
          “Kenapa nggak masuk?”
          “Maaf Bang, gue sibuk kali ini. Banyak hal yang harus gue kerjakan.”
          “Oke, tapi  latihan berikutnya kamu masuk ya? Kompetisinya 2 minggu lagi. Kita  nggak boleh kalah. Jika kamu jarang latihan gimana nanti klub kita? Kita bakalan kalah dari klub singa putih loh?”
          “Iya Bang, gue janji.”
          “Sampai jumpa,” Bang Rio menutup telfonnya.
          “Arghhh…,” kesal Obiet sambil membanting handphonenya di kasur.
@@@
          Pantulan bola basket terdengar menggema di lapangan in door SMA Bakti Jaya. Tuannya dengan sigap mempermainkannya dengan cekatan. Lari ke sana,lari ke sini. Mungkin jika bola itu bisa bicara dia sudah mengeluh karena sudah satu jam ia dipermainkan oleh tuannya tanpa istirahat.
          Tuannya melarikan diri dari pelajaran Bu Okky, ia sudah bosan dengan perlakuan gurunya itu kepadanya dan teman-temannya. Jadi dia memutuskan untuk bermain dengan kekasih kecilnya di lapangan basket. Ia tak peduli apa yang akan dilakukan Bu Okky setelah tau ia pergi meningalkan kelasnya.
          @Ruang kelas
          “Di mana anak itu?” tanya Bu Okky.
          “Paling pergi ke kandangnya Bu,” ceplos salah satu anak.
          “Hahahaha….” Suara tawa anak-anak meledak.
          “Diam,” sekejap saja kelas hening. “Apa maksud kamu Ray?”
          “Eeee…. Mu… mungkin pergi ke lapangan basket bu,”jawabnya takut-takut.
          “Huh, dasar, kali ini saya maafkan karena pekerjaan rumahnya benar semua kemarin. Awas aja kalau dia lakukan lagi. Ray, bilang pada anak itu, istirahat nanti suruh dia menemui saya.”
          “B…b… baik Bu,”
          Jam Bu Okky usai, dengan santainya Obiet menuju ke kelas. Di koridor ia bertemu Ray.
          “Eh, dicari Bu Okky tuh.”
          Obiet hanya memandang Ray dan berlalu menuju ruang Bu Okky.
          “Nyelonong aja, bilang terima kasih kek apa kek.”
@Ruang Guru
          Obiet berjalan menuju Bu Okky. Suasana hatinya sangat kacau. Namun ia mencoba untuk tetap tenang.
          “Akhirnya datang juga kamu, ke mana kamu tadi?”
          “Main basket Bu.”
          “Main basket?” Bu Okky geleng-geleng kepala. “Kau tahu tadi pelajaran matematika? Kau tahu kau sudah kelas tiga?”
          “Tahu Bu.”
          “Lha terus, kenapa masih main basket?”
          “Bosen.”
          “Apa kamu bilang?”
          “Bosen.”
          “Maksud kamu apa? Kamu menghina saya?”
          “Menurut ibu?”
          “Dasar, nggak sopan. Sebagai hukumannya kamu harus mengerjakan ini,” Bu Okky menyodorkan soal-soal olimpiade matematika kepada Obiet. “Dan besok kamu harus datang ke rumah saya?”
          “Apa? Datang ke rumah Ibu? Besok hari minggu Bu, hari buat istirahat dan saya ada….”
          “Nggak usah banyak protes. Kamu telah berbuat tidak sopan. Itu hukuman yang pantas.” Bu Okky meningalkan ruang guru. Guru-guru yang lain yang melihat mereka hanya bisa geleng-geleng kepala menatap Obiet.
          Obiet pergi dengan kesal. Besok adalah jadwal latihan. Kalau besok dia nggak masuk, dia tidak diperbolehkan ikut kompetisi. Padahal itu adalah hal yang diimpikannya, ikut kompetisi lagi, agar dapat serifikat untuk mendapat kesempatan besar menjadi tim nasional. Bagaimana ini?
@@@




EPISODE 2
          Keesokan harinya dengan berat hati ia datang ke rumah Bu Okky. Di sana ia di suruh mengerjakan kembali soal-soal dari kelas satu sampai kelas tiga yang belum diajarkan pula.
          Satu jam menjelang latihan, ia baru mengerjakan setengah dari soal yang diberikan Bu Okky. Sedang Bu Okky masih mengawasinya dengan saksama.
          “Aduhh,,, sial, bagaimana ini?” gerutunya dalam hati. “Nggak mungkin kan aku bilang jujur ke Bu Okky kalau aku akan latihan basket. Bisa ketauan kalau aku ikut klub di luar sekolah.”
          Obiet memandang Bu Okky.
          “Ada apa? Sudah selesai?”
          “E..e… belum Bu.”
          “Lalau kenapa?”
          “Ibu nggak capek melototin saya dari tadi?”
          “Kalau kamu nggak saya perhatikan bisa kabur kamu.”
          “Ibu nggak mau masak gitu?”
          “Jangan banyak tanya cepet kerjakan,” omel Bu Okky sambil memukul kepala Obiet dengan kertas soal.
          Obiet meringis sambil mengelus-elus kepalanya.
          Waktu sudah menunjukkan saatnya latihan di mulai.
@Markas klub Elang
          “Di mana anak itu?” tanya Coach Jo kepada Bang Rio.
          “Nggak tau Coach. Kemarin sudah saya beri tahu.”
          “Padahal dia punya talenta. Tapi peraturan tetap peraturan, resiko harus di tanggungnya. Dia tidak boleh ikut kompetisi minggu depan.”
          “Tak bisakah kita menunggunya sebentar coach? Saya yakin dia pasti datang.”
          “Sudah jam segini dia tak akan datang. Mulai saja latihannya. Dan jangan lupa coret namanya dari daftar,” tambah Coach Jo sembari memandang jauh ke pintu masuk.
@Rumah Bu Okky
          “Aku harus menyelesaikannya secepat mungkin.” Kata Obiet dalam hati.
          Soal demi soal ia kerjakan dengan cepat, walau kadang-kadang ia tak mengerti satu pun bagaimana cara mengerjakannya.  Satu jam kemudian ia menyelesaikannya.
          “Sudah selesai Bu, permisi.” Katanya sambil berlalu. Bu Okky hanya bisa memandangnya heran.
          “Kenapa anak itu?”
          Obiet memacu gas motornya secepat yang ia bisa. Ia harus minta maaf  kepada Coach Jo, terutama Bang Rio. Sesampainya di sana, teman-temannya telah selesai berlatih dan bersiap untuk pulang.
          Obiet terengah-engah menuju Coach Jo dan Bang Rio berada.
          “Maaf saya terlambat.”
          “Terlambat ya. Gampang sekali meminta maaf,” ujar Coach Jo.
          “Saya kena hukuman dan saya harus mengerjakan soal banyak sekali.”
          “Itu bukan urusan saya. Kamu tetap tidak bisa ikut kompetisi.”
          “Tapi Coach!”
          Coach Jo pergi meninggalkannya.
          “Bang… gue mohon.” Katanya pada Bang Rio yang masih di sana.
          “Kalau aku bisa, kamu pasti nggak akan saya coret dari daftar Biet, kamu tahu sendiri kan sifat Coach bagaimana? Keras kepalanya itu nggak ketulungan.”
          “Ayolah Bang!”
Rio menggeleng. Kemudian pergi meninggalkan Obiet sendirian.
          Obiet sudah tidak bisa berkata apa-apa. Ia jatuh bersimpuh di lantai. Ia mengepalkan ke dua telapak tangannya.
          “Gue benci sekolah, gue benci peraturan, gue benci segalanyaaaaaaa….”
          Mulai saat itu Obiet berubah drastis, ia tak lagi mau mengerjakan PRnya. Ia banyak ke luar sekolah saat jam pelajaran masih berlangsung. Ia muak dengan sekolah. ia sudah melupakan petuah dari Ibunya. Ia menjadi berandalan di sekolah. melanggar semua peraturan.
Suatu hari di kelas saat pelajaran Bu Winda…
          “Obiet!” Bu Winda melemparnya dengan kapur tulis.
          Yang di lempari tetap menikmati mimpi indahnya. Begitulah pekerjaannya sekarang ini. Kalau tidak tidur di kelas ya pergi ke lapangan basket.
@Lapangan basket
          Keringat tak henti-hentinya mengalir dari dalam tubuhnya. Sudah setengah jam ia bermain, meninggalkan pelajaran kesenian kali ini, lagi. Panasnya lapangan basket tak menurunkan niatnya untuk tetap bermain. Dari timur ring, di depan lab biologi, tampak sekelompok anak perempuan kelas sebelas yang sedang berdiskusi. Salah satu dari mereka beberapa detik ini memperhatikan Obiet bermain.
          “Siapa itu? Jam segini kok main basket. Ini kan masih jam pelajaran. Ini juga aku keluar untuk mengamati percobaan mikroskopku,” ucapnya pelan.
          “Kenapa Ik?”tanya temannya.
          “Nggak, nggak papa kok,” jawabnya bohong.
###
Suatu hari saat istirahat Obiet bermain dengan kekasih kecilnya di lapangan basket.   Segerombolan anak perempuan melewatinya. Seorang gadis berkaca mata memperhatikannya. Dan tak sengaja mata Obiet dan matanya berpapasan. Beberapa detik. Kemudian Obiet kembali dengan dunianya.
“Hey Oik, kok kamu ngeliatin dia seperti itu?” tanya temannya.
          “Nggak papa kok Shilla, aku cuman heran aja sama kak Obiet.”
          “Heran?” tanya temannya yang lain.
          “Dulu aku mendengar bahwa ia murid terpintar di kelasnya, tapi kenapa sekarang jadi begitu ya?”
“Bukan urusan kita juga kan?” tanya Shilla
“Iya sih,tapi…”
“Udah lah, kita kan mau ke perpus. Ngapain ngurusin berandalan itu.”
Mereka kemudian berjalan menuju perpustakaan. Oik masih penasaran dengan Obiet.
@Klub
Obiet sudah diperbolehkan latihan karena kompetisi sudah selesai. Ia sekarang lebih rajin datang ke klub. Ia ingin mewujudkan cita-citanya menjadi anggota tim nasional. Di akhir bulan ini ada seleksi masuk timnas. Ia berusaha keras untuk mendapatkan tiket emas itu. Apabila ia berhasil, ia akan mendapat tiket emas untuk pergi ke ibukota.
“Bagus, terus seperti ini, maka kamu akan lolos!” kata coach Jo kepada Obiet.
Obiet tersenyum. Ia mengambil tasnya dan segera pulang. Kali ini Obiet tidak membawa motornya, karena tadi latihan dilakukan di lapangan basket dekat rumahnya, karena Klub sedang direnovasi, jadi ia cukup jalan kaki.
Ia melewati sebuah tempat kursus bahasa Inggris. Seorang gadis ke luar dari pintu keluar. Oik. Oik melihat Obiet, dan Obiet hanya memandangnya sebentar kemudian melanjutkan berjalan. (memang jodoh nggak ke mana).
“Mau ke mana kak Obiet?” tanya Oik dalam hati.
“Oik, ayo pulang bareng,” kata seorang temannya.
“Eh, kamu duluan aja, aku di jemput kakak aku.”
“Oh, oke, hati-hati di jalan ya,”
“Iya.”
“Mas kan belum jemput, jadi aku ikutin kak Obiet dulu deh.”
Oik berniat mengikuti Obiet. Entah kenapa kakinya berat sekali untuk melangkah pulang. Tapi sangat ringan untuk mengikuti kemana Obiet pergi.
Ia mengendap-endap mengikuti setiap langkah Obiet.
Obiet berhenti di suatu trotoar. Ia kelihatan sedang bercakap-cakap dengan seorang pengamen setengah baya.
“Apa yang sedang dilakukannya?” tanya Oik penasaran, ia segera mendekat. Ia memilih bersembunyi di balik tiang listrik.
Terlihat paman itu memainkan alunan gitar yang sangat merdu. Kemudian Obiet duduk di sebelahnya. Oik masih bingung. Sesaat kemudian Obiet bernyanyi.
Tak ada manusia yang terlahir sempurna
Jangan kau sesali sgala yang telah terjadi
Kita pasti pernah dapatkan cobaan yang berat
Seakan hidup ini tak ada artinya lagi…
Oik tersentak kaget.
“K…k…kak Obiet… su…suaranya…” ucapnya tidak percaya. Kemudian ia memperhatikan tempat mereka. Orang-orang di sekitarnya mulai tertarik melihat kepiawaian paman itu dan kemerduan suara Obiet. Dan mereka mulai mengisi baskom yang berada di depan paman tadi dengan uang recehan. Nggak jarang yang memberikan lembaran.
Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugrah
Tetap jalani hidup ini
Melakukan yang terbaik
Tuhan pasti kan menunjukkan kebesaran dan kuasannya
Bagi hambanya yang sabar
Dan tak kenal putus asa….. (nadanya anggap aja kayak pas 5 besar IC3 nyanyi ini)
Bait penutup yang indah. Kenapa jantungku berdetak sangat cepat kali ini? Batin Oik. Obiet terlihat bicara sebentar dan kemudian pergi meninggalkan paman tadi. Oik tak tinggal diam, ia menghampiri paman itu.
“Paman!” sapanya.
Yang di sapa mencari-cari sumber suara.
“Paman! Saya di sini!” kata Oik.ia heran padahal ia jelas-jelas di depan paman itu. Kenapa ia masih mencari-cari Oik.
“Maaf nak, saya tidak bisa melihat, ada yang bisa saya bantu?”
Oik kaget. Paman ini ternyata buta.
“Paman kenal dengan anak yang bernyanyi bersama paman tadi?”
“Oh nak Obiet, malaikat yang turun dari langit itu?”
“Malaikat?”
“Iya, tiap dua kali seminggu, rabu dan jumat, ia membantu paman mencari uang di sini, dan ini hari Rabu, saatnya ia membantu paman. Memangnya kenapa nak?”
“Tidak ada apa-apa paman, saya cuman nanya saja. Ya udah paman saya permisi dulu.” Pamitnya sambil memasukkan uang recehan ke baskom milik paman.
“Terima kasih nak.”
“Sama-sama paman.”
Oik berjalan meninggalkan paman itu. Ia masih shock dengan kejadian tadi. Dan deg-degan di dalam jantungnya itu nggak ilang-ilang. Ia masih memegangi dadanya.
“Apa mungkin aku…. Nggak…. Nggak mungkin ini hanya kebetulan aja. Mungkin aku kecapekan.” Ia segera kembali ke tempat kursus. Dan ternyata kakaknya sudah menunggu di sana.
“Eh Mas, udah lama? Maaf ya tadi aku ada urusan sebentar.”
“Iya nggak papa kok Ik, ayo naik. Nih helmnya,” ucap kakak Oik sambil memberikan helm cokelat bergambar bugs bunny milik Oik.
“Makasih ya Mas Rio yang paling ganteng!” yap, Bang Rio adalah kakak Oik.
@@@
EPISODE 3
Audisi telah di mulai, Obiet bermain dengan sangat bagus. Kata Bang Rio dia harus tetap konsentrasi dan fokus untuk mendapatkan tiket ini. Para juri terselip di antara supporter di bangku penonton. Ia bermain dengan bersemangat. Banyak angka yang telah di cetaknya. Beberapa kali ia melakukan slam dunk. Obiet berusaha dengan keras sampai pertandingan selesai.
“Good job Biet!” kata Bang Rio memeluk Obiet.
“Kamu…. Kamu memang murid saya yang paling hebat!” Coach Jo menjabat tangan Obiet.
Obiet hanya senyam-senyum sendiri.
“Hasilnya akan ke luar 2 hari lagi, nanti akan di kirim ke rumah kamu!”
“Ok Coach!” Obiet beranjak pulang, ia berniat untuk memberitahukan hal ini pada paman pengamen. Ia tak sabar untuk menemuinya.
Tapi sampai di sana ia didahului oleh seseorang.
“Ngapain lo di sini?” tanyanya pada gadis itu.
“Hai Kak, aku hanya ingin membantu paman ini.”
“Tapi apa maksud lo dengan membantunya bernyanyi? Lo bisa kan memberikannya uang?”
“Iya sih kak, tapi beberapa hari yang lalu aku melihat sesorang berbuat yang sama. Dan aku tertarik melakukannya.”
Obiet kaget.
“Tapi kenapa mesti Paman ini yang lo pilih? Sana cari di tempat lain!”
“Sudah… sudah jangan bertengkar!” kata paman sambil berdiri. “Anak ini hanya ingin membantu paman, Biet. Lagi pula ini bukan hari Rabu dan Jumat kan? Kenapa kamu ke mari?”
“Aku… aku ingin memberi tahu paman sesuatu.” Kata Obiet sambil melirik Oik.
“Sebaiknya nak Oik pulang dulu.”
“Baik paman. Permisi.” Ucapnya kemudian pergi meninggalkan Paman dan Obiet.
“Kamu ingin bicara apa?”
Kemudian Obiet menceritakan semuanya kepada paman. Ia sangat senang sekali.
@@@
“Pos…Pos…” teriak tukang pos di depan rumah Obiet.
“Tukang Pos!” Obiet berteriak dan segera berlari menuju teras.
“Ini dek ada surat. Tanda tangan dulu.”
Obiet segera menandatangani sebuah kertas yang disodorkan oleh tukan pos tadi.
“Permisi dek.”
Obiet segera membuka suratnya sambil berjalan menuju kamar. Dia menarik nafas sebentar dan membuka lipatan kertasnya.
“Selamat anda lolos untuk menjadi anggota tim nasional Indonesia.” Bacanya.
“Yeeeeeeeeeee……….” Dia melompat-lompat di atas ranjang tak mempedulikan nanti apa yang terjadi dengan ranjangnya. Untung saja nggak terjadi apa-apa. Kemudian ia melanjutkan membaca.
“Syarat-syarat yang harus di penuhi ada di lembaran selanjutnya.”
Ia membalik kertas yang di pegangnya. Ada beberapa lembar lagi rupanya.
“Kenapa pakai syarat segala sih.” Ia membaca satu persatu syarat-syaratnya. Ia senang sekali. Masalah muncul. Senyum di bibirnya pudar setelah membaca syarat terakhir.
“Melampirkan surat pernyataan kepala sekolah bahwa telah menyetujui peserta menjadi anggota tim nasional bagi yang duduk di bangku SMA.” Obiet  membacanya dengan lemas. “Kenapa harus ada ini segala sih? Mana mau kepala sekolah menandatangani surat itu. Argh…..” Obiet membanting suratnya di ranjang.
@ Rumah Oik
“Mas ada surat!” kata Oik.
Bang Rio segera menghampirinya.
“Surat dari siapa dek?”
“Nih baca sendiri. Dari persatuan bola basket se-Indonesia.”
“Apa? Mana?”
Oik segera memberikannya kepada kakaknya.
“Gimana Mas? Mas Rio lolos seleksi?” tanya Oik penasaran.
Bang Rio sibuk melahap semua isi dari surat itu dengan cepat.
“Lolos dek! Yuhu….”
“Wah selamat ya Mas! Sini coba lihat!” oik merebut dengan paksa surat itu. “Wah keren. Eh ada syarat-syaratnya juga ya.” Oik membacanya.
“Di sini tertulis harus melampirkan surat pernyataan kepala sekolah bagi yang masih SMA. Emang penting ya Mas?”
“Ya penting dong adikku sayang. Kalau nggak begitu bisa gugur kalau nggak mendapatkannya. Kan kita masih sekolah. ya harus ada persetujuan dari sekolah donk.”
“Untung Mas Rio sudah kuliah ya? Jadi nggak perlu beginian.”
“Heem.”
@@@
@Sekolah
Obiet bingung memikirkan bagaimana cara memperoleh tanda tangan dari pak kepsek. Ia sibuk memandangi surat itu, sampai tidak tahu ada orang yang berjalan di depannya.dan akhirnya GUBRAK!!!
Mereka jatuh. Surat yang dipegang Obiet juga terjatuh.
“Aduh…” kata gadis yang di tabraknya.
Obiet berusaha bangun sambil memegangi tangannya.
“Kalo jalan pake mata donk!” bentaknya kepada gadis itu.
Gadis itu mendongak ke sumber suara.
“Ma…ma…af.…” katanya. “Loh kak Obiet,” gumamnya kemudian dalam hati.
“Elo?”
Oik mencoba berdiri dan ia melihat sebuah amplop dan ia berfikir itu milik Obiet. Tapi sepertinya ia kenal dengan amplop itu.
“Ini kan amplop yang sama dengan yang dimiliki Mas Rio,” katanya dalam hati. “Jadi kak Obiet juga diterima ya.”
“Mana sini surat gue!” Obiet mengambil paksa suratnya.
“Kakak diterima juga?”
“Bukan urusan lo!” Obiet berlalu meninggalkan Oik.
          “Bilang terima kasih kek, kan sudah aku ambilin amplopnya!” teriak Oik.
          “Ubah namamu menjadi terima kasih, maka aku akan memanggilmu terima kasih.”
“Apa? Mana bisa?”
“Ya udah kalo gitu.” Obiet berlalu meninggalkan Oik sekali lagi.  
“Hhhh… susah ngomong sama dia.”
“Oik!” sapa temannya.
“Eh Shilla.”
“Kenapa masih berurusan dengan berandalan itu sih?”
“Jangan bilang dia berandalan ah.”
“lah eman kenapa? Kenyataannya seperti itu kan?”
“Dia punya nama Shilla.”
“Kok kamu jadi belain dia gitu. Oh jangan bilang kamu suka dengan berandal itu ya? Ik aku kasih tau ya, kamu jatuh cinta sama orang yang salah!”
“Mungkin dulu aku juga berfikir seperti itu.”
“Baguslah kalau kamu sekarang menyadari.”
“Iya aku menyadari bahwa aku jatuh cinta dengan orang yang tepat.” Ucapnya sambil memandang tempat Obiet menghilang.
“Apa? Orang yeng tepat. Jelas-jelas berandal seperti itu.”
“Cukup. Jangan panggil dia berandal lagi.”
“Kamu kenapa sih Ik? Kamu lagi demam?” tanya Shilla sambil memegang dahi Oik.
“Apan sih!” kata Oik sambil menurunkan tangan Shilla.
Shilla mengernyitkan dahi.
“Oke kalau kamu nggak percaya, ini hari apa?”
“Hari Jumat lah,jelas-jelas kita memakai seragam batik.”
“Oke, ya aku lupa. Ntar sore kamu ke rumah ku, aku tunjukkan sesuatu.”
“Apaan sih?”
“Udah jangan bawel. Ayo masuk kelas.”
Shilla menurut. Ia tak habis fikir kenapa sahabatnya itu jatuh cinta pada berandal sekolah?
Sore itu oik mengajak Shilla ke tempat Obiet berada. Untunglah waktunya pas. Obiet sedang bernyanyi dengan diiringi gitar paman.
“Lihat itu!” kata Oik.
“Trus?” tanya Shilla.
“Aduh Shilla jangan lemot deh. Diam, perhatikan, dan dengarkan dengan saksama.”
Shilla menurut. Ia memperhatikan dengan saksama. Orang-orang menyukai lagunya dan mulai memasukkan uang ke baskom milik paman seperti biasa. Kemudian ia mendengarkan.
Jujur aku tak kuasa…
Saat terakhirku genggam tanganmu…
Namun yang pasti terjadi…
Kita mungkin tak bersama lagi…
Bila,, nanti esok hari,,,
Ku temukan dirimu bahagia…
Ijinkan aku titipkaaannn…
Kisah hidup kita…. (anggap nadanya kaya Obiet pas nyanyi ini di pentas icil)
Shilla merinding seketika.
“Ik…”
“Ya…” oik memandang Shilla dengan mata menggoda.
“Aku dukung kamu 100% untuk jadi pacar berandalan eh maksutku kak Obiet.”
“Bener nggak nyesel. Jangan bilang kamu juga jatuh cinta?”
“Sumpah, aku baru saja mendengar suara malaikat bernyanyi. Indah banget. Merdu semerdu Sammy kerispatih, lebih malah. Oh my Godness.”
“Udah ah ayo pulang. Ntar kamu semakin cinta lagi sama kak Obiet.”
“Ah, ntar dulu ah Ik. Nanggung nih.”
“Ayo nanti kita ketahuan.” Oik menarik tangan Shilla.
Di jalan mereka sibuk memperdebatkan Obiet. Oik juga menceritakan kejadian tabrakan lalu.
“Oh jadi kak Obiet juga diterima?”
“Iya, tadi aku juga sempet liat kak Obiet mondar-mandir di depan ruang kepsek.”
“Mungkin dia takut nggak akan diberi ijin. Dia kan berandalan di sekolah.”
Mereka diam sejenak.
“Aku ingin membantu kak Obiet mendapatkan tanda tangan.” Kata Oik tiba-tiba.
“Apa?”
“Iya aku mau bantuin kak Obiet.”
“Carannya?”
Mereka berfikir.
“Aku punya ide. Sini aku bisikin,” perintah Oik.
Shilla mengangguk-angguk tanda mengerti apa yang diberitahukan Oik.
“Ok, aku siap membantu apa saja!”kata Shilla.
Hari berikutnya Obiet memutuskan untuk menemui pak Kepsek. Dengan segala keberaniannya.
TOK…TOK…
“Masuk!” kata sesorang yang berada di dalam ruangan.
Obiet segera masuk ke dalam.
“Selamat pagi Pak!”
“Pagi, silakan duduk. Ada perlu apa?”
“Saya…saya ingin Bapak menandatangani ini,” kata Obiet sambil menyodorkan suratnya.
“Apa ini?” tanya pak Kepsek sambil membaca isi surat. “Menjadi anggota TIMNAS?”
“Iya Pak, saya mohon bapak mau menandatangani.”
“Biet, kamu sudah kelas tiga. Fokuslah belajar. Tahun depan saja kamu ikut lagi.”
“Tapi pak, saya sudah lolos, tinggal syarat ini yang musti saya penuhi Pak.”
“Tidak bisa, nanti kamu malah tidak konsentrasi belajar. Saya sudah tahu prestasi kamu akhir-akhir ini sangat buruk,” kata pak Kepsek sambil mengembalikan surat itu.
“Tapi Pak! Saya sangat butuh ini.”
“Seribu kali kamu memintapun tidak akan saya berikan. Kembali ke kelas! Saya masih banyak pekerjaan.”
“Pak…”
“Cepat sana!”
Obiet memutuskan untuk kembali. Hatinya hancur. Cara apalagi yang akan dia lakukan agar ia mendapatkan tanda tangan. Diperjalanan ia bertabrakan dengan seorang juniornya.
“Punya mata nggak sih lo?”
“Maaf kak!”
“Maaf… maaf… Cuma itu yang bisa lo lakuin ha!” bentak Obiet sambil mengacungkan tinju.
“Maaf kak,” anak itu memutuskan untuk kabur.
“Dasar! Awas aja lo, urusan lo belum selesai sama gue!” teriaknya.
@@@
          EPISODE 4
Hari ini Obiet mencoba untuk menemui pak Kepsek lagi. Ia sudah memikirkan ini masak-masak. Ia harus melakukannya. Ini satu-satunya kesempatan untuknya. Meraih impian yang sejak dulu dicita-citakan.
 Setibanya di ruang pak Kepsek, saat ia hendak mengetuk pintu ia mendengar sesuatu.
“Kenapa lagi dengan anak itu?” samar-samar suara pak Kepsek tegas.
“Begini pak dia sudah banyak bolos sekolah, apa sebaiknya tidak kita tindak lanjuti kelakuan si Obiet ini?” tanya suara yang lain.
DEGGG… jantung Obiet serasa mau jatuh. Bagaimana ini ? Apa aku akan di bolehin kalau minta tanda tangan sekarang? Sebaiknya jangan dulu. Terlalu beresiko. Gumam Obiet dalam hati. Ia pun meninggalkan tempat itu dengan muka masam.
Di tempat lain, Oik bersiap melancarkan aksinya. Ia segera menuju tempat pertamanya. Ia harap-harap cemas apa caranya ini akan berhasil.
Sampai di depan ruang kepsek. Oik berhenti. Ia berpapasan dengan Obiet. Obiet melewati Oik begitu saja. Oik membiarkannya pergi kemudian ia membulatkan tekat untuk bertemu kepsek.
TOK…TOK…TOK…
“Masuk,” kata seorang di dalam ruangan.
“Maaf mengganggu pak.”
“Sebaiknya saya permisi dulu pak,” kata Bapak Guru yang mempunyai suara yang di dengar Obiet tadi.
“Iya iya, silahkan. Nanti kita bicara lagi.”
“Ada apa ya Oik? Ada yang perlu saya tanda tangani untuk syarat-syarat lomba olimpiade lagi?”
“Oh tidak pak, maaf sebelumnya saya ikut campur dengan masalah orang lain. Tapi saya di sini meminta bapak untuk memberikan ijin kepada kak Obiet untuk menjadi anggota timnas.”
Seketika raut muka pak kepsek berubah merah padam.
“Pasti anak nakal itu yang menyuruh kamu membujuk bapak iya kan?”
“Bukan Pak bukan sama sekali. Saya hanya ingin membantunya mewujudkan impiannya Pak.”
“Apa urusan kamu dengannya? Bocah nakal seperti itu masih saja kamu bela?”
“Saya mohon dengan sangat Pak, beri dia kesempatan.”
“Kalau saya memperbolehkan dia ikut, pasti pelajarannya akan semakin kacau. Nilai-nilainya sudah hancur. Apalagi sudah kelas 3. Dua bulan lagi akan ada ujian nasional.”
Oik memutar otak, apa yang harus ia lakukan. Kemudian ia menjalankan rencana cadangan. Dia sudah menyiapkan rencana ini jikalau Pak kepsek akan menolak permintaannya.
“Pak, bagaimana kalau saya jaminannya.”
“Maksud kamu?”
“Begini Pak, menurut saya jika dia semakin di kekang dia, akan semakin menjadi-jadi Pak. Coba Bapak bayangkan, bagaimana kalau dia sudah tidak percaya lagi dengan sekolah ini dan dia semakin tidak mau belajar sehingga pada akhirnya dia tidak lulus. Apa kata dunia kalau sekolah bertaraf internasional seperti ini mempunyai satu siswa yang gagal?”
Pak kepsek terdiam.
“Nah, saya akan membuat kak Obiet belajar kembali asal Bapak mau menandatangani surat peryataan itu. Dua bulan pasti cukup pak. Karena syarat-syarat itu harus di kumpulkan satu hari setelah kelulusan. Saya yakin kak Obiet pasti bisa.”
“Apa jaminannya?”
“Saya. Saya bersedia di keluarkan kalau kak Obiet tetap gagal dalam ujian.”
“Baiklah. Saya setuju. Saya tunggu perkembangannya dua bulan lagi.”
“Terima kasih banyak Pak. Permisi.”
Oik pergi meninggalkan ruang kepsek dengan senyum yang menghiasi wajah cantik gadis berkaca mata itu.
“Langkah pertama berhasil!”
@@@
Di sebuah bangku taman, Obiet terlihat gelisah sambil memandangi surat pernyataan miliknya. Ia sangat marah, ia semakin membenci sekolah ini. Sekolah ini telah mengandaskan impiannya. Beberapa hari yang lalu ada seorang anak melaporakannya bahwa ia mengikuti klub basket di luar sekolah dan ia di skors selama 2 minggu. Ini hari pertama setelah skorsnya selesai.
“Kak,” sapa seorang gadis.
Obiet menengadah.
“Boleh aku duduk di situ?”
Obiet hanya diam dan malah memalingkan muka. Tanpa pikir panjang Oik duduk di sebelah Obiet.
“Sapa suruh duduk di situ?” tanya Obiet sinis
“Ini kan kursi umum. Jadi aku berhak duduk di mana aja dong.”
“Terserah lo,” Obiet beranjak pergi.
“Tunggu!” Oik memegang tangan Obiet.
Obiet menoleh. Oik menyadari hal yang dilakukannya dan segera melepaskan tangan Obiet.
“Aku mau bicara dengan kakak.”
“Apa untungnya buat gue?”
“Banyak. Kakak duduk dulu deh.”
Entah kenapa Obiet menurut begitu saja. Kemudian memasukkan suratnya ke dalam tas.
“Aku tahu kakak dilema gara-gara nggak bisa dapetin tanda tangan pak kepsek kan?”
“Sok tau.” Obiet masih dingin.
“Tapi sebelum itu aku ingin bilang sesuatu. Sekolah itu penting kak.”
“Itu kan menurut lo.”
“Nggak,,, tapi menurut semua orang. Banyak anak miskin yang ingin sekolah. tapi mereka tidak punya uang. Sedangkan kakak, orang tua kakak sanggup membiayai, kenapa kakak menyia-nyiakannya?”
“Kalau sekolah tidak menghargai bakat dari murid-muridnya. Apa gunanya?”
“Tapi kak, pelajaran juga penting. Gimana nanti kalau kakak nggak lulus?”
“Buat apa? Dapet ijasah? Apa gunannya dapet ijasah tapi nggak bisa wujudin cita-cita ha? Lagi pula banyak tuh sarjana pengangguran.”
“iya aku tahu. Kak meraih cita-cita itu penting. Tapi dengan cara yang benar lebih bagus lagi.”
“Menurtu lo cara gue salah?” Obiet masih meninggikan nada bicaranya.
“Ya salah lah kak. Kakak memberontak itu bukan menyelesaikan masalah. Tapi menambah masalah tau?” kata Oik sambil menaikkan posisi kaca mata.
“Jangan sok menggurui deh lo!”
“Kak, lebih baik lagi kalau kepintaran kakak seimbang. Kakak pinter basket, kakak pinter dalam bidang akademik, pasti banyak yang mengagumi kakak kok. Aku yakin itu.”
“Tetep aja paling penting keahlian. Kalau nggak ada keahlian hidup kita hampa.”
“Lihat tuh Thomas Alfa Edison, apa jadinya tanpa dia dunia ini. Gelap kak! Pak Thomas nggak mudah menemukannya dia perlu pendidikan. Supaya bisa menciptakan kebaikan untuk dunia ini, terutama bangsa dan Negara. Lalu, tanpa pendidikan kakak mau jadi apa?”
“Ya jadi pemain basket lah. Banyak kok duitnya. Kalau bisa jadi pemain NBA.”
“Iya kalo jadi, kalau nggak?”
“Lha makanya gue harus bisa jadi timnas dulu.”
“Emang kakak mau seumur hidup jadi pemain basket. kalau udah tua mau main basket juga? Bisa keropos tuh tulang.”
“Biarin, hidup-hidup gue.”
“Kakak perlu pekerjaan lain yang untuk mewujudkannya perlu sekolah setinggi-tingginya. Menuntut ilmu kan wajib bagi kita umat manusia.”
“Gua tetep milih basket.”
“Jadikanlah itu hobi. Boleh mencintai basket. akan tetapi kakak harus punya pandangan hidup ke depan, kelak akan makan apa anak dan istri kakak? Pasti kakak punya cita-cita kan dulu, jadi pilot, jadi polisi, atau astronot kayak anak laki-laki pada umumnya.”
Obiet diam. Memang dulu sempat ia berfikiran ingin menjadi seorang pilot. Gara-gara ayahnya sering membelikannya pesawat terbang mainan.
“Berusahalah meraih mimipi mu, jangan kecewain orang tua kakak. Ambilah keputusan yang terbaik menurut kakak. Jernihkan fikiran kakak dulu.”
Obiet terkejut. “Kata-kata itu… kata-kata itu…” katanya dalam hati.
“Kak!”
“Dari mana lo dapet kata-kata itu?”
“Apa? Ini … ini… keluar dari pikiranku begitu saja.”
“Ibu…” Obiet ingat kata-kata yang sering di beri tahu ibunya. (lihat epsd 1) Kata-kata yang selalu memberi semangat di dalam dirinya. Kata-kata yang menjadi kata terindah dalam hidupnya melebihi peribahasa yang pernah diciptakan oleh siapapun. Kata-kata yang sudah terukir di hatinya dan di kepalanya selama ini. Tega-teganya ia melupakannya. Tega-teganya ia telah melupakan kata-kata penuh semangat itu. Sungguh tega.
Air matanya menetes, mengalir pelan membasahi pipi manisnya. Entah sudah berapa tetes yang mengalir. Meluluhkan es keras kepala yang menyelimutinya selama ini. Oik yang melihatnya merasa kasihan dan reflek merangkul bahu Obiet. Oik membiarkan Obiet bersandar di bahunya. Walaupun Oik tidak mengerti apa sebenarnya yang difikirkan Obiet. Ia merasakan kesedihan yang mendalam.
Obiet membiarkan kepalanya rebah ke bahu Oik. Ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Yang dibutuhkannya saat ini adalah pelukan hangat untuk menjernihkan kepalanya. Obiet memejamkan matanya. Ia kembali teringat saat saat bersama Ibunya dulu, membantu Ibunya membuat roti. Membantu ibunya menanam mawar, dan pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan membuat roti.
Kemudian ia teringat kenakalan-kenakalannya beberapa bulan ini. Ia sering tidur di kelas, sering meninggalkan pelajaran untuk bermain basket di sekolah maupun di klub, membentak-bentak junior, dan kenakalan lainnya.
“Aku lelah, sangat lelah…” suaranya melemah.
“Aku tahu kak,” Oik menatap jauh ke depan.
Sepuluh menit berlalu mereka masih dalam posisi seperti itu. Sepertinya Obiet tertidur.
“Kasihan kak Obiet. Ia terlalu tertekan,” gumam Oik.
Kemudian Obiet terbangun. Dengan cepat ia mengingat kejadian sepuluh menit yang lalu. Ia segera mengatur posisi duduknya.
“Maaf…” kata Obiet.
“Tak apa. aku tahu apa yang kakak rasakan.” Oik tersenyum. “Jadi kakak mau melaksanakan perintahku?”
Obiet mengernyitkan dahi.
“Kakak harus membuktikan kepada dunia bahwa kakak adalah siswa yang terbaik di sekolah ini. Kakak harus sukses di ujian.”
“Sudah terlambat, ujian tinggal satu setengah bulan lagi. Mustahil,” Obiet menunduk.
“Nggak ada yang mustahil di dunia ini kak. Aku tahu kakak itu pintar. Tinggal mengulang semua pelajaran sedikit demi sedikit. Pasti bisa. Kakak harus selalu mendengarkan dengan saksama setiap pelajaran. Aku siap membantu jika kakak lupa dengan materi kelas satu dan dua.”
Obiet tercengang. Gadis ini… apa sebenarnya yang dia inginkan? Dia begitu bersemangat untuk membuat aku kembali. Batinnya.
“Lima menit lagi masuk kak. Aku pergi dulu.”
Oik beranjak meninggalkan Obiet.
“Tunggu!” Pinta Obiet.
Oik menoleh.
“Nama lo siapa?”
Oik tersenyum. “Nama aku,,, terima kasih.”
Obiet kaget, kemudian ia ingat, ia pernah bilang ke Oik, bahwa ia tidak mau bilang terima kasih kepada orang kecuali orang itu bernama terima kasih. (lihat episode 3 ) Obiet meringis. “Terima kasih.”
“Sama-sama.” Oik pergi meninggalkan Obiet yang meringis tanpa henti dan menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal.
@@@
Mulai saat itu Obiet berkeinginan untuk berubah, jika ia lelah ia selalu ingat kata mutiara dari ibunya. Bahkan Oik membuatkan spanduk dari kertas yang sangat besar bertuliskan kata-kata itu dengan spidol warna-warni. Dan Obiet menempelkannya di dinding kamar. Tekatnya sudah bulat. Ia sekarang sudah pandai membagi waktu. Ia tidak ingin kesempatan meraih mimpi indah itu hilang begitu saja. Setiap pelajaran, ia selalu duduk di depan. Setiap pertanyaan yang di ajukan ia selalu menjawab dengan cepat dan tepat.
“Apakah maltose lebih manis daripada glukosa? Siapa yang bisa menjawab angkat tangan!”
Semua murid saling pandang dan sengggol menyenggol  siku. Kemudian dengan percaya diri Obiet mengacungkan tangan.
“Beneran berandalan kayak lo bisa jawab?” ejek salah satu temannya.
“Hahaha….” Semua anak tertawa.
“Diam semua. Berikan kesempatan Obiet buat jawab. Ayo Obiet apa jawabannya?”
“Maltosa termasuk disakarida yang tersusun oleh dua molekul monosakarida yaitu glukosa. Secara umum tingkat kemanisan monosakarida adalah lebih besar dari disakarida, sehingga glukosa lebih manis daripada maltose. Jadi jawabannya salah.”
Semua hening.
“Wow.” Ibu Winda memecah keheningan. “Pintar sekali!”
Mulai sejak saat itu teman-temannya mulai berubah. Tak lagi mengucilkan Obiet karena kelakuan buruknya. Bahkan tak banyak yang memperebutkan Obiet menjadi anggota belajar kelompok mereka. (Dulu aja di buang-buang, hehehe…)
Obiet juga semakin sering mengunjungi paman. Kadang ia membawakan makanan ke tempat paman. Sejak kejadian di taman waktu itu, Obiet hanya bertemu beberapa kali dengan Oik. Oik bilang, Obiet harus konsentrasi dulu ke ujian. Obiet juga minta cuti ke klub.
Satu minggu sebelum ujian tak sengaja Obiet bertemu Oik di koridor. Obiet melangkah ke kiri Oik juga, Oik melangkah ke kanan Obiet juga. Kemudian mereka tertawa.
Kemudian Obiet bergeser ke kanan agar Oik bisa lewat. Oik tersenyum pada Obiet. Kemudian Oik melanjutkan perjalanannya.
“Aku masih ingin tau siapa nama lo?” teriak Obiet.
Oik berbalik. “Panggil aja terima kasih kak!” Oik melanjutkan langkahnya.
“Hey!” Obiet masih bingung kenapa Oik selalu menjawab seperti itu jika di tanya.
“Mungkin ini hukuman buat gue yang nggak pernah bilang terima kasih.”
@@@
Ujian telah berlalu. Obiet sudah pasrah dengan hasil yang ada. Minggu depan adalah waktunya pengumuman. Ia menghabiskan waktunya menunggu pengumuman kelulusan dengan bermain basket di klub. Sekarang paman sudah mulai bangkit. Berkat kerja keras Obiet dan paman, paman berhasil menjadi salah satu gitaris di sebuah kafe.
Sehari sebelum pengumuman, Obiet pergi ke makam Ibunya.
“Bu, besok nasib anakmu dipertaruhkan. Aku ingin membahagiakan Ibu. Aku ingin menjadi anak yang berbakti kepada orang tua. Maaf ayah tidak datang bersamaku kali ini. Beliau masih sibuk mengurus perkebunan di Sumatra. Doakan aku ya Bu.”
Obiet menghabiskan sore menjelang pengumuman dengan membersihkan makam Ibunya. Dia ingin berbakti kepada Ibunya untuk selama-lamanya.
###
Hari ini hari pengumuman. Tepatnya lima menit lagi kertas akan di tempel di mading. Dan semua anak akan mengetahuinya. Teman-teman Obiet juga gelisah. Mereka saling menenangkan diri. Sedari tadi Obiet hanya menarik dan membuang nafas panjang untuk menenangkan fikirannya. Tibalah saatnya petugas TU membawa beberapa lembar kertas yang telah di jadikan satu dan siap menempelkannya di madding. Sekejap saja madding penuh dengan segerombol siswa. Madding itu seperti sebuah pizza besar yang lezat yang membuat anak-anak ini sangat bernafsu.
Obiet tidak mau kalah ia mencoba masuk di tengah-tengah tubuh-tubuh manusia di kiri-kanannya yang sudah mulai rusuh. Ia mencari-cari namanya. Ia mulai panik sudah 2 kali ia mengulang membacanya tidak ada namanya. Gawat. Ia mulai menyerah dan mundur perlahan.
“Apa aku benar-benar gagal? Apa-apaan ini? Aku sudah berusaha sekuat tenaga. Apa mungkin mereka salah cetak. Nggak-nggak mungkin namaku nggak ada di daftar. . . I… I… Ibu….” Gumam Obiet.
“Hey Obiet!’ sapa Ray. Setelah mengetahui wajah Obiet yang murung Ray segera bertanya. “Kenapa lo murung seperti itu? Seharusnya lo senang kan?”
“Senang? Senang gara-gara nggak lulus. Yang benar saja.”
“Nggak lulus?”
“Iya.”
“Siapa yang nggak lulus?”
“Siapa lagi kalau bukan gue.”
“Elo? Sapa bilang?”
“Tuh di madding buktinya.”
“Masak sih aku salah lihat.” Ray menggumam.
“Apa?”
“Bukannya lo lulus ya? Malah ada di peringkat pertama, gimana sih?”
“Apa? Serius lo? Masak sih? Masak iya? Beneran?”
“Iya kok, liat aja di sebelah sana.”
Obiet menurut, ternyata benar namanya terpampang jelas di urutan pertama. Ibu aku lulus! Batinnya.
“Gue pikir gue nggak bakalan ada di urutan pertama. Makanya gue nggak ngeliat lembar pertama.”
“Dasar, makannya yang teliti dong,” ucap Ray.
Senyum Obiet merekah. Ia tak mengetahui bahwa ada sepasang mata yang memperhatikannya dengan gembira.
Obiet pulang dengan hati berbunga-bunga. Tak lupa ia mengunjungi paman di kafe.
“Paman!”
“Obiet, gimana lulus?”
“Lulus paman. Berkat doa paman. Terima kasih.”
“Keponakan paman memang hebat. Oh iya kamu sudah minta tanda tangan belum? Bukannya besok sudah hari terakhir pengiriman.”
“Oh iya paman aku sampai lupa dengan hal itu. Sepertinya masih ada dalam tas. Bentar aku cari dulu.” Obiet mencari-cari suratnya. Astaga di kantung depan tidak ada. Di dalam tidak ada.
“LOH, nggak ada paman di dalam tas. Seingatku aku taruh di sini deh.”
“Siapa tahu nyelip di buku Biet?”
Obiet mencari di seluruh bukunya. Nihil.
“Kakak cari ini?” tanya seorang gadis sambil melambaikan sebuah surat.
Obiet menengok.
“Elo? B… bagaimana bisa?”
Oik memberikan suratnya. Obiet membuka surat itu dan kaget. Karena surat rekomendasinya sudah bertanda tangan pak kepsek.
“Maaf aku mencurinya dari kakak.”
“Kapan?”
“Saat kakak tertidur di taman dulu. Aku ingin buat kejutan.”
Obiet terkejut. Ia heran kenapa gadis ini selalu membuat hal-hal yang mengejutkan baginya.
Oik pergi begitu saja.
“Hey!” Obiet berlari mengejar Oik.
Oik menoleh.
“Terima kasih. Tapi siapa…” belum selesai bicara Oik telah masuk taxi dan melambaikan tangannya ke Obiet. Obiet berjalan gontai ke dalam kafe.
“Kau menyukainya?” tanya paman mengejutkan Obiet.
“Ah paman bisa aja. Hari ini biar aku yang gantiin paman main gitar ya?”
“Mengalihkan pembicaraan. Ayo jawab!”
“Paman…” kemudian Obiet meringis.
@@@
Sepatu sportnya berkilauan di sinari matahari pagi. Itu hadiah dari ayahnya karena ia lulus kemarin. Sebenarnya Ayanhnya mengharap ia minta lebih, mobil misalnya. Tapi ia bilang, “sepatuku sudah butut yah, belikan sepatu baru aja.” Dia memang sudah berubah.
Hembusan angin semakin menambah semangatnya mendrible bola. Ia bersiap memasukkannya ke ring. Seperti biasa dengan satu tangan. 1,2,3 hopz,,, tepat sasaran. Bola menggelinding pelan Obiet memperhatikan kekasih kecilnya itu. Bolanya berhenti tepat di dekat sepatu merah milik sepasang kaki putih. Obiet melihatnya kemudian memperhatikan kaki itu. Ia memandangnya dari bawah ke atas. Dan ternyata kaki cantik itu milik si terima kasih.
Obiet melemparkan senyum. Si terima kasih membalasnya dengan senyuman termanisnya.
_tAmAt_