Cahaya matahari
menembus lubang-lubang ventilasi. Tak jarang ada yang memaksa masuk dari
lubang-lubang dinding yang terbuat dari triplek itu. Menjadikan rumah 6x10 ini
terang benderang di pagi buta tanpa harus ditemani cahaya lampu.
Seorang wanita paruh
baya sedang berkutat di depan kompor gas hasil subsidi pemerintah. Sudah dua
tahun kompor ini menemaninya menyiapkan makanan untuk seluruh keluarga.
Sebelumnya ia masih menggunakan tungku untuk memasak. Di sebelahnya terlihat
seorang anak kecil berusaha memakai seragam sekolah.
“Umi, sudah rapi
belum baju Ais?”
Umi memandang putri
kesayangannya.
“Ini kerahnya belum
rapi,” kata Umi sembari membenahi kerah baju Ais.
“Nanti juga kan
ditutup pake kerudung Mi.”
“Iya, tapi walaupun
tidak kelihatan Allah juga akan melihat. Bukankah ustadzah fatimah bilang kalau
Allah menyukai kerapian dan kebersihan?”
“Oh iya,” senyum Ais
merekah membuat lesung pipinya terlihat jelas.
“Ya sudah tunggu Umi
di meja makan ya,” Umi mencium kening Ais. “Nanti kerudungmu Umi yang pakein.”
Ais berlari menuju
ruang makan yang sebenarnya hanya satu meter dari dapur, bahkan tidak terdapat
sekat. Ais sibuk memperhatikan Umi memasak. Memang selalu begitu. Rumah ini
hanya dihuni mereka berdua. Abinya Ais pergi ke Arab untuk mempertahankan
perekonomian keluarga. Seminggu sekali Abi menelfon. Sebulan yang lalu Abi
mengirimkan uang untuk dibelikan handphone. Abi sungkan kepada Pak Dhe Hasan
yang handphonenya selalu dipinjam Umi.
Ais melahap sarapan
dengan semangat. Kata ustadzah Fatimah kita harus selalu bersyukur atas makanan
yang dibuat oleh Ibu kita. “Walaupun makanan itu tidak sesuai dengan apa yang
kita harapkan, sebisa mungkin tetap menghormati perasaan Ibu yang telah
berusaha untuk memasakkan makanan buat kita, ya?” Wajah Ustadzah Fatimah lewat
dibenak Ais.
^^^
Ais selalu duduk di
depan saat kelas dimulai. Kata Umi biar bisa lebih konsentrasi. Kali ini mereka
belajar menggambar.
“Anak-anak sekarang
kalian boleh menggambar cita-cita kalian ya. Mau jadi apa sih kalian jika
kalian besar nanti?” kata Ibu Guru.
“Iyaaa Bu...”
Ibu Guru
berjalan-jalan memperhatikan gambar anak-anak. Ada yang menggambar sebuah
masjid.
“Kamu ingin jadi apa
Di?”
“Aku ingin jadi ustad
Bu!”
Ibu Guru tersenyum
dan menuju meja Ais.
“Ais, mau gambar apa?”
“Ais masih bingung
mau jadi apa Bu, tapi Ais mau Umi, Abi dan Ais bisa tinggal dirumah yang besar.
Pokoknya kita semua bisa ketemu setiap hari,” ucap Ais polos.
Ibu Guru mengelus
kepala Ais.
“Nah, anak-anak
minggu depan kan tanggal 21, siapa yang tahu hari apa itu?” tanya Ibu Guru.
Beberapa anak
bisik-bisik.
“Ais tahu?”
Ais menggelengkan
kepala.
Ibu Guru tersenyum.
“133 tahun yang lalu lahirlah seorang gadis cantik di daerah bernama Jepara. Lahir
dari sebuah keluarga bangsawan. Raden Ajeng Kartini namanya, biasa dipanggil RA
Kartini saja. Ada yang pernah dengar?”
Beberapa anak
mengangguk.
“Nah, untuk
memperingati hari Kartini yang jatuh pada 21 April minggu depan, TK kita akan
mengadakan karnaval.”
“Karnaval itu apa Bu
Guru?” tanya salah seorang anak.
Ibu Guru tersenyum.
“Karnaval nanti kita akan keliling kota bersama anak-anak dari sekolah lain.”
“Ooo....” mereka
ber’o’ ria.
“Nah, Ibu harap
kalian mempersiapkan baju untuk dipakai diacara itu. Nah, kalian pakailah baju
menurut cita-cita kalian, mengerti?”
“Mengerti Bu...”
Mereka sibuk
berbisik, menentukan akan memakai baju apa. Bahkan rela bertengkar agar pakaian
mereka tidak sama.
Sesampai di rumah,
Ais segera memberitahukan hal ini kepada Umi. Namun Umi hanya diam menunduk.
“Kenapa Umi?”
“Tidak apa-apa,
memangnya Ais mau pakai baju apa? Ais sudah menentukan ingin jadi apa?”
Ais menggeleng. “Biar
malam ini Ais fikirkan ya Umi. Atau Ais tanya sama Ayah saja ya Umi?”
“Nah, itu ide yang
bagus.”
###
Di mushala anak-anak
sibuk mendengarkan Ustadzah Fatimah bercerita. Kali ini beliau bercerita
tentang Ibnu Sina. Ilmuan terkenal dari Bukhara yang terkenal dengan
kepiawainnya dalam bidang kesehatan. Dia mendapat julukan Bapak Kedokteran
Modern. Karya-karya besar telah ia torehkan. Buku, karya ilmiah dan lain
sebagainya. Dalam ilmu
kedokteran, kitab Al-Qanun tulisan Ibnu Sina selama beberapa abad menjadi kitab
rujukan utama dan paling otentik. Kitab ini mengupas kaedah-kaedah umum ilmu
kedokteran, obat-obatan dan berbagai macam penyakit. Beliau
sangat rajin membaca.
“Di sini siapa yang
rajin membaca?”
Semua anak
mengacungkan tangan.
“Bagus, dipertahnkan
ya. Agar kelak kalian bisa seperti Ibnu Sina, menolong sesama dengan ilmu yang
kita dapat, dan membuktikan pada dunia bahwa kalian pantas untuk dikenang
dengan baik jika kalian sudah tidak tinggal di dunia ini lagi, seperti Ibnu
Sina.”
@@@
Saat berjalan pulang,
Ais merenungkan apa yang dikatakan Ustadzah Fatimah.
“Sepertinya jadi
ilmuan dan dokter menyenangkan. Bisa tau banyak ilmu. Bisa nyembuhin Umi dan
Abi jika mereka sakit. Yah, aku akan jadi dokter,” Ais berlari menuju rumah.
Tak sabar memberitahu Umi tentang cata-cita yang telah ia temukan.
“Jadi dokter?” tanya
Umi.
“Iya Umi, memangnya
kenapa Umi? Kan kalau Umi dan Abi sakit nggak usah capek-capek pergi. Kan ada
Ais yang jagain Umi dan Abi.”
Umi tersenyum. “Iya
Ais, Ais boleh jadi apa saja. Terserah Ais. Yang penting Ais suka dan Ais bisa
mempertanggung jawabkan pilihan Ais, yah.”
“Makasih Umi,” Ais
memeluk Umi. “Tapi Umi, Ais dapat dari mana baju dokter buat karnaval minggu
depan?”
“Iya nanti Umi
cariin, siapa tau ada.”
Keesokan harinya Ais
berangkat dengan gembira seperti biasanya. Ais terus mendesak Umi untuk segera
mencarikan baju dokternya. Maka hari ini Umi pergi ke persewaan baju yang biasa
dipakai anak-anak untuk karnaval.
“Semoga uangnya
cukup. Sepertinya mahal. Ah, aku coba saja.”
Namun, ternyata
firasat Umi benar satu set baju seharga 75.000 ditambah riasan wajah semuanya
jadi 130.000. Sedangkan uang Umi hanya cukup untuk makan satu bulan ini. Abi
rencananya akan mengirimkan uang bulan depan.
Umi mencari ke tempat
lain. malah ada yang lebih mahal. Kalau beli baru bisa berlipat-lipat harganya.
“Apa yang harus aku
katakan pada Ais,” gumam Umi.
Ais sudah bercerita
banyak kepada Tera, teman sebangkunya tentang cita-citanya menjadi seorang
ilmuan dan dokter seperti Ibnu Sina.
“Wah, hebat. Semoga
benar-benar terjadi ya Is. Jadi kalo aku sakit tinggal datang ke rumahmu.”
Ais mengangguk dengan
semnagat. “Dengan senang hati.”
Umi masih degeluti
perasaan bersalah. Kemana lagi Umi mencari pinjaman. Umi sudah banyak meminjam
kesana kemari. Umi memutuskan untuk menelfon Abi.
“Maaf Umi, tapi uang
Abi baru bisa keluar dua minggu lagi. Kemarin teman satu kamar Abi kecelakaan,
jadi Abi pinjamkan untuk berobat. Katakan saja pada Ais untuk memakai baju yang
paling bagus yang Abi belikan. Bilang saja, jadi dokter itu tidak seterusnya
memakai seragam. Maafin Abi ya Umi.”
Umi menghela nafas.
“Ya Allah, mudahkanlah jalan kami.”
***
Ais membantu Umi
menyapu lantai depan. Sedari tadi ia mengoceh tentang cita-citanya yang ingin
menjadi dokter.
“Gimana Umi, baju Ais
udah dapat?”
Umi menghentikan
pekerjaannya.
“Sini nak,” Umi
memanggil Ais ke kursi kayu buatan Abi.
“Maafkan Umi ya, uang
kita tidak mencukupi untuk membeli bahkan menyewa pakaian itu.” Umi memeluk
Ais.
Ais diam saja.
Sebenarnya ia juga takut hal ini terjadi. Sebab salah satu temannya pernah
mengejeknya tidak mampu menyewa pakaian untuk karnaval.
“Ya sudah Umi, Ais
tidak ikut saja. Lagi pula Ais masih bisa menonton mereka kan Umi?”
Umi merasa sangat
bersalah. Betapa mulianya hati anak ini.
“Ais masih bisa ikut.
Siapa bilang kalau nggak punya kostum Ais tidak boleh ikut. Kata Abi, lagipula
dokter bisa kan berpakaian biasa seperti kita sehari-hari. Tinggal pilih baju
Ais yang paling bagus. Nanti untuk rias wajahnya, biar Umi yang merias yaa.”
“Atau Ais pindah
cita-cita saja umi? Jadi seperti Umi.”
Umi tersenyum dan
membelai rambut Ais. “Semua anak perempuan pasti jadi seperti Umi kelak nak.
Jadi seperti Umi bukanlah cita-cita. Kamu harus memikirkan yang lebih baik lagi
dripada Umi.”
“Terus cita-cita itu
apa Umi?”
“Emm.. Cita-cita itu
impian yang kita inginkan kelak di masa depan, hal yang akan kita lakukan untuk
memenuhi ibadah kita kepada Allah. Seperti impian Ais jadi dokter. Dokter
adalah sebuah profesi yang mulia sekali. Umi senang Ais ingin menjadi dokter.”
Ais menatap jauh ke
langit. Ia memikirkan semua perkataan Umi. Jadi sekarang apa keputusan Ais. Ia
masih terlalu kecil untuk memikirkan sebuah cita-cita. Lagi pula cita-cita bisa
berubah sepanjang waktu bukan? Tergantung nanti kita menjalani cita-cita kita
seperti apa.
***
Satu hari sebelum
karnaval, anak-anak satu kelas Ais sibuk membicarakan perhelatan besar ini. Ada
yang sengaja membawa kostum mereka ke sekolah untuk diperlihatkan ke
teman-teman. Ada yang membawa aksesorisnya. Dan semua ini membuat kelas ricuh.
“Ais, kamu jadi pakai
kostum dokter? Sudah dapat?” tanya Tera.
Ais menggeleng.
“Loh kok belum? Kan
karnavalnya besok?”
“Umi Ais tidak punya
uang untuk menyewa. Jadi daripada Ais tidak memakai kostum, lebih baik Ais
tidak ikut saja.”
Ibu guru yang tidak
sengaja mendengarkan pembicaraan kanak-kanak manis ini memanggil Ais.
“Ais!”
“Iya Bu Guru.”
“Sini nak.”
Ais mendekat ke Bu
Guru.
“Ais, cita-cita
merupakan hal paling penting yang harus dimiliki setiap orang supaya dia bisa
semangat untuk menuntut ilmu, beribadah kepada Allah dan selalu berjuang keras.
Mengerti?”
Ais mengangguk.
“Lalu, cita-cita bisa
berubah kapan saja. Mereka yang memakai kostum cita-cita mereka saat ini juga
belum tentu akan menjadi kenyataan. Maka untuk besok, Ais bolehlah ikut, Ais
jadi seperti siapa saja terserah Ais.”
“Tapi kata Umi, saat
Ais mau jadi seperti Umi, Umi melarang.”
Ibu Guru tersenyum.
“Itu karena Umi menginginkan Ais menjadi lebih dari Umi. Menjadi anak yang bisa
membanggakan Umi. Nah, jadi dokter misalnya seperti cita-cita Ais.”
“Tapi Ais tidak punya
kostumnya.”
“Memangnya Ibu Guru
mewajibkan? Tidak kan Is. Ais bisa memakai apa saja. Nanti Ais bisa menjelaskan
kepada penonton bahwa Ais ingin jadi dokter. Yaa...”
Ais berfikir dan
mengangguk. “Terima kasih Bu Guru. Nanti Ais bilang sama Umi.”
***
Keesokan harinya Ais
memilih baju yang paling bagus di almari. Mengenakan jilbab hijau cantik yang
di jahit oleh Umi sendiri.
“Ais sudah siap?”
Ais mengangguk.
Hirik pikuk
masyarakat yang haus akan hiburan membanjiri alun-alun kota. Mereka ingin
menyaksikan acara yang telah mereka tunggu-tunggu tiap tahunnya. Berbagai acara
dihelat. Salah satunya karnaval yang akan diikuti oleh anak-anak Taman
Kanak-Kanak satu kota. Para orang tua yang harap-harap cemas mengenai keadaan
anaknya. Ada yang ngambek gara-gara tidak nyaman dengan kostum yang mereka
pakai.
Ada yang menagis
meminta ice cream padahal wajahnya
sudah cantik dihias make up. Anak-anak memang selalu seperti itu. Lucu dan
menggemaskan. Kelakuan mereka selalu alami dan tidak dibuat-buat. Itulah yang
membuat mereka berhak disayang oleh semua orang.
Ais sudah berbaris
rapi dengan teman-temannya.
“Ais, kamu sekarang
jadi apa?”
Ais tersenyum.
“Ayo anak-anak. Kita
sudah harus jalan. Nanti di alun-alun pak Walikota akan memilih salah satu dari
kalian utuk mengetahui cita-cita kalian. Siap?”
“Siap Bu Guru!!!”
Lambaian hangat dari
kerabat di tepi-tepi jalan mereka smabut dengan senyuman hangat. Ais melihat
Umi berada diantara penonton. Melemparkan senyum bahagia ke Ais.
Tibalah di puncak
acara, setelah berkeliling alun-alun dengan semangat anak-anak berbaris rapi di
halaman alun-alun. Pak Walikota menyapa anak-anak. Beliau segera berkeliling
memilih anak yang beruntung.
Pak Walikota tertarik
dengan seorang anak. Yang tampak berbeda sekali dengan yang lainnya. Biasa.
Namun yang biasa itulah yang membuatnya nampak berbeda.
“Siapa namamu?”
“Aisyah Pak!” jawab
Aisyah.
“Nama yang bagus.”
“Terima kasih Pak.”
Umi terlihat semakin
merapat ke tengah, ingin melihat anaknya bersama pak Walikota. Umi tersenyum
senang.
“Bapak penasaran,
kamu menjadi apa sekarang nak?”
Ais tersenyum.
“Saya menjadi Siti
Aisyah Pak.”
“Siti Aisyah, istri
nabi?”
“Iya Pak, Siti
Aisyah. Istri nabi kita nabi Muhammad SAW.”
“Mengapa kamu menjadi
beliau? Bukankah semuanya memakai baju cita-cita masing-masing. Seperti dokter,
guru, polisi dan lainnya?”
“Saya ingin menjadi
seperti Siti Aisyah...
Malam sebelum
karnaval dimulai, Ais mengaji seperti biasa bersama ustadzah Fatimah di
mushala. Kali ini ustadzah Fatimah bercerita tentang Siti Aisyah, isteri nabi.
“Beliau adalah isteri
termuda nabi. Namun kepintaran beliau luar biasa. Hafal Al-Quran pada usia
muda. Mampu menghafal banyak hadist. Aisyah ra menjunjung tinggi sekali
kebenaran. Aisyah juga guru yang baik. ia tidak pernah bosan untuk menjawab
semua pertanyaan yang diajukan kepadanya. Beliau selalu menebar kedamaian dan cinta
kepada siapa saja. Sebuah hadis dari (HR Bukhari,
Muslim, Tirmidzi, dan Ibnu Majah dijelaskan ‘Banyak laki-laki
yang sanggup mencapai kesempurnaan. Tetapi hanya ada beberapa perempuan yang
bisa mencapai hal yang sama, yaitu maryam binti imran dan asiyah, istri firaun.
Sungguh keutamaan Aisyah apabila dibandingkan dengan perempuan-perempuan lain
sama seperti keutamaan tsarid ‘makanan yang terbuat dari daging dicampur dengan
roti yang dipotong-potong’ dibandingkan dengan seluruh makanan lainnya’. Jadi
maksudnya Aisyah merupakan wanita yang mulia dimata Allah.”
Ais tersentuh dengan
cerita ustadzah Fatimah. Ia berfikir ingin menjadi seperti Aisyah saja, yang
cerdas dan berkemampuan lebih, bahkan termasuk wanita yang mulia dimata Allah.
Dengan kecerdasan seperti Siti Aisyah ia akan bisa mewujudkan cita-citanya yang
ingin menjadi seorang dokter. Ais pun tak perlu menyewa pakaian. Ia memang
tidak tahu seperti apa Siti Aisyah. Tapi karena namanya sendiri juga Aisyah, ia
tak fikir panjang.
“Namaku kan juga
Aisyah, jadi aku memakai bajuku sendiri aja, yang dibelikan Abi. Aisyah
tersenyum.”
“Wah, hebat sekali
nak, boleh kita menjadi apa saja. Kita juga perlu seseorang untuk dijadikan
teladan, supaya kita bisa menjalani hidup dengan baik. Seperti idolamu Siti
Aisyah. Kamu bisa menjadikan beliau sebagai teladan.”
“Pak Walikota, boleh
juga kan Umi Ais jadi teladan?”
Pak Walikota
tersenyum. “Boleh saja Ais, Ais bebas meilih siapa saja. Tidak Cuma Ais. Bapak
ingin tahu alasan Ais menjadikan Umi Ais sebagai teladan.”
“Karena Umi sangat
sayang sama Ais dan Abi. Umi juga seperti Siti Aisyah tau apapun yang Ais
tanyakan. Umi tidak pernah terlambat bangun. Umi juga selalu menemani Ais
sebelum tidur dan membacakan cerita buat Ais.”
Umi Ais meneteskan
air mata disela-sela penonton yang juga memperlihatkan reaksi yang sama.
“Umi Ais ada si sini?
Mana Pak Walikota ingin lihat.”
Ais mencari-cari.
Kemudian ia menemukan sesosok wanita bergamis biru anggun, dengan wajah basah
oleh air mata.
“Umiiii!!!!” Ais
berlari menuju Umi.
“Umi Pak walikota
ingin bertemu Umi.”
Umi mengangguk dan
mengikuti buah hatinya.
Karnaval kali ini
memiliki makna yang berbeda. Sebuah kasih sayang seorang anak kepada Ibunya
serta kasih sayang Ibu kepada anaknya akan menjadikan kekuatan besar bagi siapa
saja yang memiliki keinginan. Dan pemandangan yang lebih mengejutkan anak-anak
berlari menuju Ibu masing-masing dan memeluk Ibu mereka. Karnaval hari Kartini
ini seperti berubah menjadi hari Ibu sepertinya. Tidak masalah karena setiap
saat kita bisa mencurahkan kasih sayang kita kepada Ibu. Tidak harus menunggu
hari Kartini ataupun hari Ibu.
......................TAMAT.................
lucu-lucu banget adek2 nii...
Naik becak biar ga panass...
dirapiin dulu sebelum mulaiii...
eleuh... eleuh... ayu tenan adik2 e,, semoga kelak menjadi Kartini selanjutnya yaahhhh