“Zaa... kamu ngapain duduk di pinggir?”
Aku
menoleh.
“Hehe...
Tadi ada cicak nongkrong di situ. Nggak tega aku ngusirnya,” jawabku asal.
"Kamu
ini, sukanya bercanda mulu. Bangku lebar kyak gt kok milih duduk di pinggir.
Yaudah yuk, kamu nunggu lama ya? Sorry ya bro, tadi dosen ngaret."
Aku hanya nyengir.
Aku hanya nyengir.
Sebenarnya
sih bukan cicak atau bahkan semut. Ular aja bakalan aku usir. Tapi ada sesuatu
di sana. Yang hanya aku yg tau.
Aku
dikaruniai kelebihan ini, tunggu. . . Ini sebuah kelebihan atau kekurangan ya?
Aku sebut kelebihan saja. Karunia Allah tepatnya. Karena apa? Jarang sekali
orang yang mempunyai bakat seperti ini. Awalnya ngeri emang.
Lima
belas tahun yang lalu, aku sakit sakitan karena telah diberi 'sesuatu' ini.
Entah apa alasanya, mungkin supaya aku bisa membantu 'mereka'. Umurku tiga
waktu itu. Aku sakit selama satu bulan. Panas dingin panas dingin seluruh
tubuhku. Orang tuaku sampai kewalahan membawaku ke dokter seminggu 3 kali.
Namun hari itu,tiba tiba aku sembuh. Otomatis orang tuaku senang akan hal itu.
Tapi,
masalah muncul. Kata mama, aku sering berbicara sendiri. Padahal aku tahu aku
sedang bermain bersama anak tetangga sebelah. Aku tak menghiraukan mama.
Suatu hari, aku mengajaknya bermain bola bersama anak anak yang lain. Hal yang sama terjadi.
Suatu hari, aku mengajaknya bermain bola bersama anak anak yang lain. Hal yang sama terjadi.
"Kak
Obiet! Aku bawa teman nih, biar dia ikut main ya?"
Obiet menghampiriku.
Obiet menghampiriku.
"Mana?"
"Ini,”
aku memperkenalkan anak tetangga itu.
"Ndak
ada siapa siapa kawan, kau jangan bercanda."
Kak Ru membisikkan sesuatu ke kak Obiet.
Kak Ru membisikkan sesuatu ke kak Obiet.
"Yaudah
kau boleh main sma teman hayalanmu itu."Bingunglah aku. Keanehan keanehan
ini aku ulang beberapa kali. Sampai beberapa anak memanggilku gila. Belakangan
aku tahu bahwa memang tidak ada anak tetangga itu. Kata mama, ketika aku
mengoceh terus tentang anak tetangga itu, ia sudah meninggal 5 tahun yg lalu.
Aku baru sadar.
Ternyata
aku punya ‘sesuatu’. aku juga melihat banyak ketika di sekolah dasar dulu.
Ngeri? Sebenaranya tidak. Mereka terlihat biasa saja.
“Zaa..”
“Eh...”
“Mulai
aneh lagi ni anak. Obat udah di minum? Hahaha...”
Aku menjitak kepala Jay. Aku memang
tidak pernah menggembor geborkan kelebihanku ini kepada orang-orang. Ayah Ibuku
pun nggak tahu. Mereka hanya tahu bahwa mereka punya anak yang suka sekali
berimajinasi memikirkan teman hayalan. Maklumlah anak tunggal.
Sempat mereka ingin membuatkan adik
untukku, tapi sepertinya Allah belum mengijinkan. Aku harus sendirian menjaga
mereka. Dan akau tidak boleh lelah.
Sesampainya di sanggar –kami
menyebut basecamp teater kami dengan sebutan sanggar- kami segera membicarakan
topik terhangat satu bulan ini, pentas tahunan. Yah, untuk menjaga agar unit
kegiatan mahasiswa ini tidak hilang ditelan jaman, setiap tahun kami mengadakan
pentas tahunan. Acaranya diselenggarakan lusa. Beberapa persiapan sudah matang.
Seperti dana, kesiapan mental pemain, aransemen musik, dan lain lain. Sekarang
yang kita fikirkan adalah mematangkan bagaimana dekorasi panggung.
***
Aku berjalan pulang. Lagi-lagi tidak
sendirian. Sudah dua hari ini aku dibuntuti. Ingin sekali mengusirnya. Tapi apa
daya, sudah berkali-kali mencoba. Dia sangat keras kepala. Aku berhenti di
halte. Ia tetap saja mencuri pandang. Huft...
Ia berjalan mendekatiku. Aku santai
saja, pura-pura tidak tahu.
“Ayolah kak, kakak jangan
berpura-pura tidak melihatku. Aku tahu kakak orang itu, kakak harus membantuku,
kakak sudah ditakdirkan untuk itu,” ia mencoba merayuku.
“Apa maksudmu? Aku tidak mengerti,”
aku mencoba meredam emosiku. Aku sedang tidak ingin diganggu. Apalagi dia,
kata-katanya sungguh aneh, emang aku siapa? Reza, hanya manusia biasa.
“Setidaknya kakak bertanya bisa
bertanya, bantuan apa yang bisa kakak berikan untukku. Ayolah kak!”
“Sudah aku bilang aku tidak mau
berurusan denganmu atau yang lain!” suaraku meninggi. Orang-orang memandangku.
Kalau aku tidak segera pergi dari sini bisa-bisa disangka orang gila. Lebih
baik aku pergi saja.
“Kakak!!! Tunggu!”
Aku mempercepat langkahku. Setidaknya
aku mencari tempat yang sepi untuk leluasa memarahinya. Sebenarnya, aku
mempunyai ‘sesuatu’ (lagi). Aku bisa membaca pikirannya, Jay, Ayah, Ibu dan
yang lainnya. Aku pura-pura saja tidak tahu. Aku tidak mau dia tahu.
Akhirnya aku berhenti.
“Kak, aku mohon bantu aku.”
“Apa untungnya buatku?”
Ia diam sejenak.
Aku meneruskan jalan.
“Kakak kan bisa mendapat pahala dari
membantuku.”
Aku berhenti dan berbalik.
“Hhh... Siapa namamu? In... In...”
bahkan aku lupa namanya, memang sengaja nggak aku ingat-ingat sih.
“Inay kak Inay!”
“Ya Inay, Inay urusan kamu sudah
selesai. Kamu seharusnya hidup tenang di sana. Bukan malah membuntutiku seperti
ini.”
“Kakak salah, urusanku belum selesai.
Makanya aku minta bantuan kakak. Hanya kakak yang bisa, aku sudah mencari-cari
kakak, kata mereka kakak bisa membantu.”
“Mereka? Mereka siapa?”
“Yang ada di kampus kakak. Tak sengaja
aku ingin bermain dikampus kakak, siapa tahu menemukan orang seperti kakak. Dan
mereka bilang, kakak adalah orangnya. Ayolah kak, bantu aku, aku akan pergi
setelah semuanya selesai.”
bersambung...