Pada
suatu malam, entah awalnya ngomongin apa lupa, Ibu bercerita tentang sepenggal
kisah mbah Kung dulu. Begini ceritanya.
Hari itu mbah Kung –sekarang
sebut saja Sugeng kecil, bertengkar hebat dengan Ayahnya. Kenapa? Karena Sugeng
kecil tak diperbolehkan melanjutkan sekolah setelah sekolah dasar. Ayahnya
menginginkan dia cukup menjadi polotikus lokal, atau istilah sederhananya
perangkat desa saja seperti Ayahnya yang seorang kepala desa. Otomatis anak
laki-laki yang haus akan pengetahuan ini ingin mencicip dunia luar. Naluri
lelakinya keluar. Ingin berpetualang, ingin mencari sesuatu di luar sana,
mencari segudang ilmu yang menantinya di sana. Diluar desa di atas gunung, yang
dikelilingi hutan lebat, bahkan kalau mau ke jalan besar harus jalan kaki jauh
sekali, lebih dari lima kilometer.
Wajar kan, kalau Sugeng kecil
ingin mencoba hal baru? Pertengkaran itu berakhir dengan kepergian Sugeng kecil
dari rumah. Ya, dia lari dari rumah, minggat. Entah kemana ia pun tak tahu.
Sampai pada akhirnya ia bertemu sebuah rombongan sirkus, bukan lebih tepatnya
rombongan penari reog yang sering mengadakan pentas keliling. Karena tak tahu
mau kemana lagi, Sugeng kecil memberanikan diri untuk bergabung dengan mereka.
Naas, walaupun ia diterima, namun
ia tak diperlakukan sepantasnya pemain lain. Memang ia diberi makan, tapi tak
se sen pun diberi gaji. Betapa kelelahannya ia pergi ke sana kemari, menari
dengan semangat namun hasilnya nol besar. Mau gimana lagi, ia tak mungkin kan
pulang kerumah. Bukankah ia sedang kabur? Ia tak pernah tahu Ayahnya sangat
mengkhawatirkan anaknya ketiganya itu.
Suatu hari rombongan berhenti di
Mantingan, daerah dekat rumahnya. Tepatnya di bawah gunung tempat dimana ia
tinggal. Setelah melakukan pertunjukan, Sugeng kecil tertidur di bawah pohon
dengan nyenyaknya. Lagi-lagi ia tak beruntung, rombongan reog itu pun
meninggalkannya yang sedang tertidur pulas. Entahlah disengaja atau memang
pemimpinnya nggak tahu. yang jelas sore itu sugeng kecil sendirian di bawah
pohon. Beruntunglah ada seorang penjaga kolam renang dekat situ menemukannya.
Sugeng meminta pekerjaan kepada
bapak penjaga yang baik hati itu.
“Kau bisa bersih-bersih?”
tanyanya.
Sugeng kecil mengangguk dengan
semangat. Keesokan harinya, ia mulai bertugas menyapu dan merapikan halaman
sekitar kolam renang. Sampai pada suatu hari datanglah seorang petinggi
perhuani yang melakukan pemeriksaan rutin apakah kolam renang milik perhutani
ini terjaga dengan baik. Beliau herang melihat halaman sekitar kolam renang
bersih. Kerja Sugeng kecil memang bagus. Kemudian Sugeng ditawari bekerja di
rumah Mandor itu. Membantu menjaga hutan gitu.
Beberapa hari kemudian sang
Mandor mempunyai tamu. Nah, tamu itu kenal dengan Sugeng kecil.
“Sugeng? Anaknya pak Soleman?”
Sugeng dengan gigihnya
menolak mentah-mentah. Beberapa kali adu
mulut Sugeng tetap menolak pernyataan itu. Sang Mandor bertanya kemudian,
Sugeng juga tidak mengakuinya.
Hari berikutnya tamu sang Mandor
membawa Ayah Soleman. Sugeng juga menolak mentah-mentah ajakan pulang Ayah. Ia
tetap akan tinggal di rumah Mandor dan membantu Mandor menjaga hutan. Ayah
Soleman tak bisa berkutik atas keras kepala yang dimiliki Sugeng.
Sugeng tinggal beberapa bulan di
rumah sang Mandor, kemudian pulang ke rumah setelah ayahnya membebaskan dia mau
menjadi apa. Menjadi Mandor penjaga hutan merupakan pekerjaan menarik yang ia
pilih dan dilakoni sampai akhir hayatnya. Menjaga hutan dari serangan
maling-maling kayu ilegal dan bahaya lainnya.
Minggu, 2012-12-09