Rabu, 26 Juni 2013

In memoriam


Pagi, 25 Juni 2013. Setelah shalat Subuh aku memang tidak tahan untuk tidur lagi. Sekitar pukul 05.30 WIB hapeku berbunyi. Aku fikir alarm ulang tahun atau apa, aku males ngangkatnya. Kemudian aku berniat untuk mematikan, setelah aku lihat dengan mata seperti bulan sabit, ternyata sebuah telfon dari Audri. Ada apa? Batinku. Tumben anak ini telfon pagi-pagi. Ah mungkin mau nanyain bisa latihan tari nanti sore apa enggak. Setelah aku angkat, nada suara yang berbeda muncul.
“Riz, yusifa..”
Iya, jawabku.
“Yusifa udah nggak ada.”
Sontak kuucapkan kalimat tahmid. Innalillahi wainailaihi rajiun. Begitu shocknya. Audri panik, nelfonin teman-teman tutoo 3 nggak diangkat. Cuman aku sama Tami yang merespon. Segera disusun rencana untuk pergi ke sana. Sukolilo, Pati. Aku yang tahu dimana rumahnya otomatis ikut anak-anak.
Segera beli sarapan, siap-siap kumpul di kampus. Sampai di sana jemput Maika dulu. Ternyata di kampus masih sepi, nggak ada orang. Masalahnya kalo nggak segera berangkat , kita akan ketinggalan pemakaman jam 9 pagi. Sedangkan sudah jam 06.30 di kampus nggak ada orang. jarak Solo-Sukolilo bisa 3 jam kalo keadaan macet seperti itu.
Satu persatu teman datang. Bingung lagi mau naik apa. Mau naik travel, kemudian Ragil bilang mau mengusahakan bus kampus. Ribet lagi urusan. Hafizh belum bisa dihubungin. Soalnya dia yang bawa uang HMP. Setelah menunggu seperti penumpang terlantar selama tiga jam. Akhirnya bus kampus nggak bisa dipake, karena nanti siang mau di pake. Hafizh punya rencana nyewa bus dishub Surakarta. Nyampe jam 10.30, kabar bus hanya berpenumpang 25 orang. Sedangkan yang mau ikut 31 orang. Fadel memutuskan membawa mobil Tami berisikan 5 orang. Ada beberapa teman yang mundur juga. Setelah perdebatan sengit antar dosen, drg Ariyani dan drg Nila yang berangkat menemani kita.
Cuss.. berangkat pukul 11.00. Dengan segala daya upaya bertahan nyampe Sukolilo. Mulai dari dimasukin pedagang asongan, jerit-jerit nggak jelas kayak naik roler coaster, kepanasan karena bus nggak berAC. Akhirnya nyampe rumah Yusifa. Suasana langsung berubah abu-abu. Ibunda Yusifa semakin nangis melihat kedatangan kita. Setelah sambutan-sambutan –setelah sambutan dari drg Ariyani langsung berderai air mata-, kita minta ijin untuk pergi ke makam. Rasanya tuh nggak percaya aja gitu di ada di sana sekarang.
Yusifa yang ceria, nyebelin, suka bantah, kalo jadi scriber sukanya menang sendiri. Pede abis. Lucu, kadang guyonannya garing sih. Tapi itu yang membuat kita semua akan merindukannya. Pernah jadi korum juga, aktif banget futsal. The best lah pokoknya.
Kanker Rabdomyo Sarcoma ini sudah menyerangnya sejak SMP. Sempat cuti juga kelas 2 SMP. Namun kemudian berangsur membaik hingga kuliah karena rajin kemo. Pertama sih nggak ngeh nama Fbnya itu Yusifa Edo Rabdomyo Sarcoma, kirain nama apa gitu. Eh ternyata kata Nia itu nama kanker yang ia derita. Pas ospek dia juga diberi pita merah, supaya nggak di bully ama kakak-kakak.
Waktu makrab, kita mempunyai sebuah even yaitu membacakan kesukaan dan ketidaksukaan antara satu teman dengan teman lainnya. Di salah satu kertas ada tulisan mengenai seseorang mahasiswa kita yang menderita RS. Awalnya kita juga nggak tahu siapa itu, tapi adda yang pernah lihat Yusifa nulis banyak di balik kertasnya. Ditambah nama Fbnya yang seperti itu, otomatis tertuju padanya.
Dia tidak terlihat sakit sama sekali. Hanya beberapa praktikum terakhir dia ijin. Kata teman-teman berangkat kemo ke Semarang. Menginjak tahun kedua, dia sama seperti biasanya. Aktif pake banget. *ya Alloh, bayangannya masih terngiang-ngiagn* Semester genap ia mulai nggak masuk, hingga memutuskan untuk cuti. Kami ingin menengoknya, tapi bingun karena ada yang bilang, dia itu nomaden, maksudnya kadang di rumah, di rumah pak dhe nya, di rumah sakit macem-macem. Belum sempat nih nengokin, belum sempat say hai untuk terahir kali, dan pemakaman pun kita terlambat. Maaf ya Yusifa. :’)  tanggal 24 sore, dia sempet sms-an sama Dias, nanya jadwal KRS. Tapi ya umur siapa yang tahu. Pukul 1 pagi biasanya di bangun tahajud, tapi kali ini nggak. Bapaknya ngecek ke kamar. Dia tidur, di cek nadi masih ada. Namun setengah jam kemudian di cek nadi sudah nggak ada. Saudaranya bilang ia turun BB 20 kilo. Pasti kurus banget tuh anak. Dasar, nggak mau nemenin koas sama kita ya? Nggak mau nemenin sumpah dokter bareng-bareng ya?!
Yang kuat ya Yus. Alloh akan menempatkanmu di tempat yang sangat indah. Doakan kami ya, supaya sukses jadi doktr gigi yang bermanfaat.
in memoriam 25-6-13

Jumat, 21 Juni 2013

Mbah Kung's Story


                Pada suatu malam, entah awalnya ngomongin apa lupa, Ibu bercerita tentang sepenggal kisah mbah Kung dulu. Begini ceritanya.
Hari itu mbah Kung –sekarang sebut saja Sugeng kecil, bertengkar hebat dengan Ayahnya. Kenapa? Karena Sugeng kecil tak diperbolehkan melanjutkan sekolah setelah sekolah dasar. Ayahnya menginginkan dia cukup menjadi polotikus lokal, atau istilah sederhananya perangkat desa saja seperti Ayahnya yang seorang kepala desa. Otomatis anak laki-laki yang haus akan pengetahuan ini ingin mencicip dunia luar. Naluri lelakinya keluar. Ingin berpetualang, ingin mencari sesuatu di luar sana, mencari segudang ilmu yang menantinya di sana. Diluar desa di atas gunung, yang dikelilingi hutan lebat, bahkan kalau mau ke jalan besar harus jalan kaki jauh sekali, lebih dari lima kilometer.
mbah Sugeng
Wajar kan, kalau Sugeng kecil ingin mencoba hal baru? Pertengkaran itu berakhir dengan kepergian Sugeng kecil dari rumah. Ya, dia lari dari rumah, minggat. Entah kemana ia pun tak tahu. Sampai pada akhirnya ia bertemu sebuah rombongan sirkus, bukan lebih tepatnya rombongan penari reog yang sering mengadakan pentas keliling. Karena tak tahu mau kemana lagi, Sugeng kecil memberanikan diri untuk bergabung dengan mereka.
Naas, walaupun ia diterima, namun ia tak diperlakukan sepantasnya pemain lain. Memang ia diberi makan, tapi tak se sen pun diberi gaji. Betapa kelelahannya ia pergi ke sana kemari, menari dengan semangat namun hasilnya nol besar. Mau gimana lagi, ia tak mungkin kan pulang kerumah. Bukankah ia sedang kabur? Ia tak pernah tahu Ayahnya sangat mengkhawatirkan anaknya ketiganya itu.
Suatu hari rombongan berhenti di Mantingan, daerah dekat rumahnya. Tepatnya di bawah gunung tempat dimana ia tinggal. Setelah melakukan pertunjukan, Sugeng kecil tertidur di bawah pohon dengan nyenyaknya. Lagi-lagi ia tak beruntung, rombongan reog itu pun meninggalkannya yang sedang tertidur pulas. Entahlah disengaja atau memang pemimpinnya nggak tahu. yang jelas sore itu sugeng kecil sendirian di bawah pohon. Beruntunglah ada seorang penjaga kolam renang dekat situ menemukannya.
Sugeng meminta pekerjaan kepada bapak penjaga yang baik hati itu.
“Kau bisa bersih-bersih?” tanyanya.
Sugeng kecil mengangguk dengan semangat. Keesokan harinya, ia mulai bertugas menyapu dan merapikan halaman sekitar kolam renang. Sampai pada suatu hari datanglah seorang petinggi perhuani yang melakukan pemeriksaan rutin apakah kolam renang milik perhutani ini terjaga dengan baik. Beliau herang melihat halaman sekitar kolam renang bersih. Kerja Sugeng kecil memang bagus. Kemudian Sugeng ditawari bekerja di rumah Mandor itu. Membantu menjaga hutan gitu.
Beberapa hari kemudian sang Mandor mempunyai tamu. Nah, tamu itu kenal dengan Sugeng kecil.
“Sugeng? Anaknya pak Soleman?”
Sugeng dengan gigihnya menolak  mentah-mentah. Beberapa kali adu mulut Sugeng tetap menolak pernyataan itu. Sang Mandor bertanya kemudian, Sugeng juga tidak mengakuinya.
Hari berikutnya tamu sang Mandor membawa Ayah Soleman. Sugeng juga menolak mentah-mentah ajakan pulang Ayah. Ia tetap akan tinggal di rumah Mandor dan membantu Mandor menjaga hutan. Ayah Soleman tak bisa berkutik atas keras kepala yang dimiliki Sugeng.
lima dari enam anak mbah Kung.
Sugeng tinggal beberapa bulan di rumah sang Mandor, kemudian pulang ke rumah setelah ayahnya membebaskan dia mau menjadi apa. Menjadi Mandor penjaga hutan merupakan pekerjaan menarik yang ia pilih dan dilakoni sampai akhir hayatnya. Menjaga hutan dari serangan maling-maling kayu ilegal dan bahaya lainnya.
Minggu,  2012-12-09

Rabu, 19 Juni 2013

Kekuatan Basmalah


Kekuatan basmalah

Hari ini saya mendapatkan sebuah pencerahan yang sangat super. Awalnya sih, kami (baca: aku, maika dan sakeenah) belajar buat ujian blok (baca: remed ujian blok), kemudian berganti profesi dari mahasiswa menjadi ibu-ibu rumpi, selanjutnya kembali ke jalan yang benar. Mahasiswa.
Ini adalah sebuah kisah inspiratif dari sebuah daerah di negeri seberang, thailand –tempat my tutorialmate, sakeenah tinggal-. Sebuah daerah yang penghuninya sebagian besar adalah muslim. Ayah sakeenah adalah seoramg dokter gigi. Dan beliau adalah satu dari sedikit dokter gigi muslim di sana.
Suatu hari -saat itu sakeenah masih duduk di kelas dua sma- petugas administrasi sedang pergi istirahat makan. Sakeenah kemudian menggantikan petugas admin tersebut. Beberapa menit kemudian datanglah seorang nenek yang ingin memeriksakan giginya yang bermasalah. Nenek tersebut sudah kelihatan kesakitan. Ia ingin segera mendapatkan penanganan dari ayah sakeenah –telah diketahui ayah sakeenah sudah 20th menjadi dokter gigi-. Menurut pengalaman-pengalaman dari dokter gigi senior, seorang dokter gigi mempunyai lima pasien dalam sehari sudah mencapai ambang batas maksimal kekutan mereka. Dikarenakan bahwa, setiap pasien selalu membutuhkan tindakan yang lama dan menguras tenaga dokter gigi. Jadi, dalam sehari seorang dokter gigi rata-rata hanya menjadwalkan lima sampai tujuh pasien setiap harinya.
Tidak beruntung bagi si nenek yang akan memeriksakan giginya. Beliau harus datang untuk periksa sekitar dua bulan lagi, karena jadwal ayah sakeenah sudah penuh untuk dua bulan ke depan. Lebih parahnya lagi, si nenek datang dari desa terpencil yang sangat jauh dari klinik tempat ayah sakeenah bekerja. Sakeenah merasa iba kepada nenek tersebut kemudian ia menyarankan untuk pindah ke dokter lain atau ke tempat pemeriksaan gigi gratis yang kebetulan sedang berkeliling di kota tersebut.
Namun si nenek menolak dan bersikukuh ingin diperiksa ayah sakeenah saja. Ia rela menunggu dua bulan, asal ia diperiksa oleh ayah sakeenah. Kemudian sakeenah bertanya apa alasannya. Si nenek menjawab, “karena saya lebih tenang dan lebih nyaman jika yang memeriksa gigi saya adalah seorang dokter muslim. Mereka selalu mengawali semua kegiatan dengan basmalah. Mereka selalu mengingat allah ketika mereka akan melakukan tindakan apapun terhadap pasien mereka. Itulah yang membedakan dokter muslim dan nonmuslim.” Begitulah kira-kira jawaban si nenek kepada sakeenah, dengan sedikit perubahan bahasa menjadi lebih sopan untuk menghindari konflik antar umat beragama. Karena islam mencintai perdamaian.
Sakeenah sangat tersentuh dengan jawaban dari sang nenek. Ia juga teringat beberapa kesan terhadap dokter muslim di sana. Selain selalu mengucap basmalah, mereka tidak membeda-bedakan derajat pasien. Mau yang miskin, berduit, sampai pejabat, semuanya sama. Dilayani dengan penuh kesabaran. Pemikiran pasien yang menginginkan diperiksa dokter muslim disana, mereka nyaman dan tidak takut sama sekali membiarkan sang dokter muslim memeriksa dan mengobati mereka. Bahkan kalaupun mereka akhirnya tidak tertolong, merekapun ikhlas, karena mereka percaya para dokter muslim akan selalu mengingat allah di setiap tindakan yang akan dilakukan serta memberikan yang terbaik bagi pasien.
Sakeenah memberitahukan hal ini kepada ayahnya. Awesomenya adalah, ayah Sakeenah memperbolehkan si nenek periksa hari itu namun setelah jam praktik selesai.
Nah, sobat, ajaib sekali kan kekuatan basmallah? Hanya sepenggal kalimat, tapi bisa membuat kepercayaan banyak orang tertuju kepadamu. Sobat, awalilah semua kegiatanmu dengan bacaan basmallah. Jikalau kegiatan tersebut berjalan kurang lancar dan kurang sesuai dengan apa yang sobat rencanakan, yakinlah ada campur tangan dari allah di dalamnya. Saya sedikit mengutip pernyataan favorit saya dari om Darwis Tere Liye, “Tidak semua yang kita alami harus dipahami segera. Tidak semua yang kita lewati harus segera ada penjelasannya. Penjelasan itu boleh jadi sudah datang lebih dulu sebelum kejadian, juga bisa jadi ‘amat terlambat’. ” Apabila sebuah kejadian itu sobat anggap sebagai kejadian buruk dan sangat fatal untuk anda maupun pasien, padahal sobat sudah berusaha sekuat tenaga, yakinlah ada penjelasannya dan ada alasannya mengapa Allah ‘membuatnya’ seperti itu. Setiap kejadian selalu memiliki teori sebab-akibat. Bisa jadi akibat yang didapat dari kejadiaan naas tersebut sangatlah besar dan bermanfaat bagi kedua belah pihak.
Semangat sobat! Bagi para calon dentist, densitykan destinymu di dentistry! Salam 52!



zya
rabu 06-02-13