Senin, 26 Agustus 2013

Berkibarlah Bendera Percaku


Angin semilir mengibaskan bendera kecil yang ia pegang. Bendera dari kain perca itu hasil jahitan tangan sendiri. Jahitannya terlihat tak rapi. mingser sana-sini. Dipandanginya bendera itu dengan saksama, seperti melihat benda keramat yang tak boleh rusak.
“Obiiieeet!!! Sini nak, Ibu perlu bantuan!”
Obiet meletakkan sang saka di sela-sela dinding kayu rumahnya.
“Baik-baik di sini ya, jangan pergi kemana-mana. Hanya kau yang kupunya. Mengerti!” katanya.
Kemudian ia berlari menemui sumber suara. Membantu Ibunya menimba air untuk mencuci pakaian. Ia berhenti setelah melihat pakaiaan Bapaknya.
“Kok berhenti nak? Ayo airnya ditambah!”
“Obiet inget Bapak. Bapak akan pulang kan Bu?” Ia menatap Ibunya, berharap ada jawaban seperti yang ia inginkan.
Ibu menghentikan pekerjaannya dan menghela nafas. “ Pasti nak, pasti. Bapak kan sudah janji to sama Obiet, kalau Bapak akan segera pulang.” Ibu memaksa tersenyum.
“Nanti Obiet nggak mau jadi tentara!”
“Memangnya kenapa Biet? Tugas tentara itu banyak pahalanya lho. Bisa melindungi bangsa dan negara kita ini.”
“Obiet nggak mau anak Obiet nanti berharap-harap Obiet untuk pulang, tapi belum tentu akan pulang. Hidup ataupun mati.”
Ibu tersenyum dan memberi isyarat untuk kembali menimba air. Obiet kembali melakukan aktifitasnya dengan kesal. Kesal karena tangan kecilnya sudah harus dipekerjakan menimba air, kesal karena Bapak tak kunjung pulang. Padahal Bapak janji akan segera pulang. Dan membawakan hadiah untuk Obiet. Sebuah bendera merah putih besar untuk dikibarkan di depan rumah seperti yang ada di depan markas Bapak.
Saat Obiet sedang sibuk dan tenggelam dalam pemikirannya tentang bendera merah putih besar, seorang anak iseng mengambil bendera kecil kain perca milik Obiet yang ia sematkan di tembok kayu. Ia memainkannya, membawanya pergi berlarian.
Beberapa saat kemudian Obiet muncul. Ia melihat anak itu menjadikan benderanya sebagai pembungkus buah sawo milik tetangga depan rumah Obiet. Sesaat ia tak menyangka kalau itu adalah bendera miliknya, kemudian ia menengok ke arah tempat dimana bendera ia sematkan sebelumnya. Kosong.
“Ya,, tak salah lagi, itu pasti benderaku. Pasti!”
“Hoi! Kembalikan benderaku!” teriaknya sambil menghampiri si pencuri bendera.
Anak kecil itu menyembunyikan bendera Obiet di belakang punggung. “Tidak, tidak, ini punyaku!”
“Kamu dapat darimana ha? Dari rumahku kan?” Obiet menyeringai galak. Wajar kalau ia semarah itu, bendera perca itu ia jahit sendiri. Kainnya ia dapat dari sobekan bendera di jalan besar. Sepertinya Belanda lah yang telah menyobek bendera itu dan seenaknya saja mereka buang di tanah. Obiet memungut sisa sobekan dan menjahitnya hingga menjadi bendera yang lebih kecil.
Anak kecil itu lari menjauhi Obiet, yang kemudian dikejar balik oleh Obiet.
“Tunggu!!! Serahkan benderaku!”
Beberapa meter kemudian anak itu tertangkap. Namun kembali lepas karena badannya yang licin karena keringat. Ia bertelanjang dada, hanya memakai celana pendek lusuh banyak tambalan. Namun beberapa langkah berlari anak kecil itu jatuh terperosok. Obiet segera datang membantunya berdiri.
“Nah ketangkap kau sekarang. Sini kembalikan benderaku.”
“Tapi.. Tapi.. Bagaimana caranya aku membawa sawo-sawo ini pulang ke rumah?”
Obiet mengamati penampilan anak itu. Ia memandang beberapa sawo yang dibungkus bendera. Obiet melepas baju dan memberikannya kepada si anak.
“Ini, pengganti bendera punyaku. Bungkus saja dengan ini.” Diserahkanlah bajunya.
Anak kecil itu ragu-ragu menerima dan memindahkan semua sawo ke baju Obiet.
“Sudah, sana pulang! Jangan sampai aku melihat kau mencuri barang yang bukan milikmu!”
Anak kecil itu mengangguk mengerti dan segera mengambil langkah seribu. Sesampainya di rumah, Ibu menanyakan kemana perginya kaos anaknya. Obiet menjawab seenaknya.
“Hanyut di kali.” Ia langsung masuk kamar.
***
Malam ini Ibu mengajak Obiet ke sebuah pertunjukan wayang, tentunya setelah rengekan Obiet yang tak teredamkan. ia harus datang, karena semua teman sepermainannya datang melihat. Tak lupa bendera kesayangannya ia bawa. Di sana, banyak sekali orang yang menonton, dari pejabat desa, orang-orang Belanda sampai pribumi-pribumi biasa.
“Idiihh... apaan tuh kusut amat? Sapu tangan?” seorang anak sebaya dengan Obiet berpenampilan rapi menghampirinya.
“Enak aja, kau tak tahu ini apa? Bendera merah putih! !!” Obiet mengangkat tinggi-tinggi benderanya.
“Hahaha... Eh, anak perwira! asal kau tahu saja ya, kau telah menjelek-jelekkan negara kita dengan masih menyimpan kain kusut seperti itu. Apa perlu aku mintakan ayahku uang untuk membelikan bendera untukmu. Ayahku kan jenderal, jadi ia bisa beli apa saja!”
“Ini adalah milikku yang berharga, aku mendapatkannya dengan jerih payahku sendiri, aku menjahitnya dengan tanganku sendiri, dan aku mempertahankannya dengan tanganku sendiri. Itu sudah lebih dari cukup daripada kau yang suka minta-minta sama Ayah jenderalmu itu!”
“Dibilangin nyolot ya!”
Anak itu melayangkan pukulan ke pipi Obiet. Ibu yang tadi sedang mengobrol kaget anaknya tersungkur ke tanah.
“Nak Cakka! Cukup, apa yang kamu lakukan pada Obiet!”
Obiet berdiri dan memeluk Ibunya. “Ia mengejek benderaku Bu!” katanya.
“Nak Cakka, kamu tidak boleh kasar kepada teman sendiri,” nasihat Ibu.
“Dia bukan temanku! Dia hanya anak seorang perwira!”
“Walaupun Ayahnya seorang perwira, Obiet akan tetap bangga. Karena tanpa perwira-perwira siapa yang akan bertempur melawan Belanda? Memang Jenderal adalah pangkat tinggi, seperti Ayah nak Cakka, tapi kalau Jenderal berperang sendirian, tak akan kuat melawan penjajah negeri ini. Dengan kepintaran Jenderal ditambah keahlian perang perwira, merdekalah Indonesia kita ini, dan mereka akan segera pergi dari sini.”
Cakka kehabisan kata-kata dan segera pergi meninggalkan Ibu dan Obiet. Ibu mengajak Obiet pulang.
“Ibu, apakah Bapak pintar dan hebat?” tanya Obiet di perjalanan.
“Tentu.”
“Tapi kenapa Bapak tidak jadi jenderal?”
“Biet, Bapak kan baru bergabung dengan tentara, tidak semudah itu, butuh perjuangan dan ketekunan. Ayah Cakka dulu juga seperti itu.”
“Obiet akan belajar dengan tekun.”
“Bagus itu, memangnya kenapa?”
“Obiet nggak mau anak Obiet nanti di ejek sama teman-temannya.”
Ibu tertawa kecil.
“Pangkat yang lebih tinggi dari jenderal apa Bu?”
“Emm.. apa ya? Ah,, Presiden.”
“Obiet mau jadi presiden aja.”
“Biet, cita-cita itu harus ditemukan dari dalam hati, bukan hanya sekedar memenuhi dendam. Kelak seiring berjalannya waktu kamu pasti menemukan sesuatu yang kau sukai. Tapi kalau mau jadi presiden juga boleh, asal dapat memakmurkan negara kita ini, membantu orang-orang yang membutuhkan dan menjalankan pemerintahan dengan jujur dan adil.”
Obiet mengangguk, sesampainya di rumah ia langsung pergi ke kamar tidur.
“Eh, cuci kaki dulu, calon presiden juga harus menyukai kebersihan.”
*** 
Obiet berlarian di sebuah tanah kosong di dekat markas tentara yang tak jauh dari rumahnya. Kemudian ia melihat Cakka duduk sendirian di sebuah pohon tumbang. Ia kelihatan sedih. Obiet ragu-ragu menghampiri.
Merasa ada yang datang, Cakka menoleh.
“Sedang apa kau?” tanya Obiet.
Cakka diam, ia kembali menatap semut yang berjalan rapi seperti tentara.
Obiet memutuskan untuk duduk.
“Tak bisa bertemu Pak Jenderal?”
Cakka mengangguk. “ia tak pernah mengurusiku. Selau dan selalu orang lain yang ia urus, aku berharap para penjajah itu segera pergi dari sini, sehingga aku akan selalu bisa bermain dengan Ayahku.”
“Kau tahu Cak, kita sama.”
“Tidak, kau anak perwira, aku anak Jenderal!”
“Aku tak pernah bisa main dengan Bapak, aku tak pernah tidur dipeluk Bapak. Bapak juga selalu mengurus para penjajah itu. Jadi kita sama kan?’’
“Tapi, kelihatannya kau baik-baik saja. Tak pernah sedih.”
“Itu karena aku banyak teman yang aku ajak bermain. Cobalah main dengan anak-anak lain.”
“Mereka tak sederajat denganku.”
“Kalau kau mencari teman dengan seperti itu, kau tak akan pernah punya teman.”
Cakka diam. Ia terlihat berfikir. Di sela-sela ia berfikir, tiba-tiba suara dentuman keras terdengar. Dan asap keluar dari belakang markas tentara.
“Ayo lariiiiiii!!!” Obiet menarik lengan Cakka.
“Biar, biar aku mati. Kalau aku hidup pun aku tak punya teman!”
“Kau gila? Ayoo cepat!” Caka tak bergeming. Suara tembakan mulai terdengar. “Baiklah, kalau aku mau jadi temanmu kau mau pergi dari sini?”
Cakka menoleh ke Obiet. Obiet segera menarik Cakka kuat-kuat. Mereka berlari sekuat tenaga menghindari pertempuran itu. Suara meriam dan tembakan-tembakan semakin mendekat. semua warga berhamburan menyelamatkan diri. mereka berdua berada di tengah-tengah kerumunan.
DUAAARRR... DUARRRR... DOORRRR... DOOORRR...
“BAGAIMANA INII?? KITA HARUS KEMANA??” tanya Cakka.
“AKU TAK TAHU! AKU HARUS MENCARI IBUKU!” jawab Obiet.
“TAK MUNGKIN BIET! IBUMU PASTI SUDAH MENYELAMATKAN DIRI ENTAH KEMANA! SEBAIKNYA KITA CARI TEMPAT YANG AMAN!”
“TAPIII...”
Cakka menarik Obiet menuju jalan kecil. Tiba-tiba ada seorang tentara belanda yang membawa senapan muncul beberapa meter dari mereka. Mereka panik dan berjalan mundur mencari tempat yang aman. Namun kemudian ada tangan yang menari mereka dari dalam rumah.
“Cepat ikut aku!” Mereka bertiga berlari. Masuk kedalam sebuah lubang di tanah. Anak yang menarik Obiet dan Cakka kemudian menutup lubang itu.
“Kita aman di dalam sini. Ayahku sudah membuatnya. Berjaga-jaga kalau ada Belanda datang.”
“Kau... Kau  pencuri benderaku ini kan?” Obiet bertanya pada penyelamatnya sambil mengeluarkan benderanya dari celana.
“Ssstt...” kata anak itu setelah mendengar derap langkah. Mungkin tebtara Belanda. Setelah suara langkah kaki menjauh ia menjawab, “ Iya. Maafkan aku.” Penampilannya tetap sama, bertelanjang dada dan hanya memakai celana pendek yang kemarin.
“Kau tak punya baju?” tanya Cakka.
“Ayahku seorang perwira dan telah gugur setahun yang lalu. Ibuku meninggal beberapa bulan kemudian karena kelaparan. Semua makanan yang kami dapat selalu Ibu berikan kepadaku. Setelah itu tak ada yang menjahitkan baju untukku lagi.”
Ternyata ada yang bernasip lebih menyedihkan daripada aku, batin Cakka. “Kau tidak kesepian?” tanya Cakka pada anak itu.
“Aku punya banyak teman. Kambing-kambing pak Yanto, ayam-ayam pak Surono, dan beberapa anak di desa ini.”
“Kau mau jadi temanku?” tanya Cakka. “Kau juga Biet!”
Mereka bertiga tersenyum.
“Sepertinya perang telah usai,” kata Obiet setelah mereka menunggu berjam-jam. Cakka tertidur lelap. Obiet membangunkannya. Mereka keluar dari tempat persembunyian. Saat mereka menuju ke jalan, mayat berserakan dimana-mana. Tentara Indonesia, tentara Belanda, penduduk sipil. Banyak sekali. Obiet mengamati satu persatu korban. Siapa tahu Ibunya ada diantara mereka.
“OBIIIIIIIIIIIIIIEEEEEEETTTTTTTTT!!!” Ada yang berteriak memanggil Obiet.
Obiet mencari sumber suara. Di kejauhan Obiet melihat sosok wanita yang ia kenal berjalan terseok-seok menuju Obiet.
“IBUUUU!!” Obiet berlari diikuti kedua teman barunya.
Obiet memeluk Ibu.
“Kau tak apa-apa nak?”
“Ibu tak papa?”
Ibu mengangguk. Hanya serempetan peluru yang mampir ke kaki kanan Ibu.
Mereka pulang ke rumah Obiet. Walaupun sedikit berantakan, namun Ibu masih bisa memasak air untuk mereka minum.
Terdengar suara ketukan pintu dari luar. Ibu panik.
“Jangan-jangan Belanda?” sangka Cakka.
“Bu Amir Bu Amir! Ini saya Dayan!” teriak suara dari luar.
“Bukankah dayan adalah nama teman Bapak Bu?” kata Obiet.
Ibu pergi menuju pintu dan membukanya.
“Dayan? Ada apa? Mas Amir mana?”
“Amirr,, Amiir,, itulah yang akan saya katakan, mengenai Amir, beliau.. beliau telah gugur di Jogjakarta.”
“Apa? Kau tak bercanda kan?” tanya Ibu.
Dayan menggeleng. “Ini titipan dari Amir.” Dayan menyerahkan sebuah kain merah putih dan di atasnya ada sebuah tanda pangkat.
Obiet yang melihat itu segera berlari menuju Ibunya.
“Baaapaaak... Bapaaakk.. Bapaakk...” ia menangis tersedu-sedu sambil mengambil bendera merah putih besar yang ia impi-impikan.
“Ini...” Ibu menunjukkan sebuah tanda pangkat ke Dayan.
“Sehari sebelum beliau terbunuh, beliau telah diangkat menjadi Letnan satu. Beliau gugur dengan gelar Letnan satu Amir, Bu.”
Ibu meneteskan air mata dan jatuh ke tanda pangkat Letnan suaminya. Kemudian ia memeluk Obiet yang masih sesenggukan memeluk bendera. Beberapa saat kemudian terdengar sebuah pengumuman.
“Merdeka!! Merdeka!! Belanda telah Berhasil di pukul mundur!! Merdeka!! Indonesia Merdekaa!!”
 “Bapakmu tidak gugur sia-sia Biet. Letnan Amir tidak gugur sia-sia.” kata Ibu sambil terus memeluk Obiet.
Cakka meneteskan air mata. Ia jadi tahu, para perwira telah sangat membantu kemerdekaan negara ini. Ia tak akan lupa itu.
***
Obiet, Cakka dan si anak lusuh sibuk memotong bambu. Obiet mengeluarkan bendera besar dari Bapak. Ia, Cakka dan si anak lusuh menalikan bendera merah putih besar ke bambu. Kemudian mereka menanam bambu itu di halaman rumah Obiet. Bendera merah putih besar itu pertama kalinya berkibar di depan rumah Obiet. Berkibar dan terus berkibar. Si anak lusuh berlari ke belakang. Ia mengambil satu bambu, namun lebih kecil. Ia menarik bendera perca dari saku Obiet dan memasangnya di bambu kecil. Kemudian ia tanamkan di sebelah tiang bambu besar. Kedua bendera itu berkibar dengan gagahnya.
“Kenapa diam saja?” tanya Ibu yang keluar dari rumah.
Obiet dan Cakka saling memandang. Cakka mempersilahkan Obiet.
“Kepada bendera merah putih, hormaaaaaaaaaaatttt graaaaaakkk!!!”
Sebuah penghormatan besar untuk kedua bendera pusaka mereh putih yang berkibar gagah di udara. Semoga tak hanya berkibar di udara, namun tetap berkibar di hati putra bangsa. Menjadikan motivasi untuk selalu menjaga tanah air tercintaa.

 zya
17 Agustus 2013

Dalam Diamku


Dalam diamku
Dalam diam aku berdoa
Dpilih olehmu adalah sebuah kado terindah
nanti...
biarlah...
Aku tidak memaksa
Dalam diamku aku berharap
Engkau juga menjaga hatimu untukku
Jangan khawatir, aku juga akan menjaganya untukmu
Biarkan cerita cinta ini di pending sampai waktu yang tepat
aku rela..
Apakah rasa ini akan tetap ada atau pudar
Waktu yang akan menjawab
biarlah..
Dalam diamku
Menunggumu dengan berusaha memperbaiki diri
supaya aku pantas untukmu
dalam diamku
aku mengagumimu...

zya
Mei 2013

Twenty's diary


            Ah... Finally.. I am 20 Years Old. Arti dari 20 tahun itu ... menurutku adalah, udah siap nikah *eh. Ini mah menurut pemerintah. Menurutku, di usia 20 itu harus bisa mandiri, nggak bergantung sama orang tua lagi, bisa jadi panutan yang baik bagi adek, sepupu, keponakan dan warga sekitar. Apalagi, sudah mendapat image yang baik. Dapetin itu gampang, menjaganya yang susah. Jadi sebisa mungkin tambah memperlihatkan action jadi makhluk Alloh yang bermanfaat bagi sekitar.

Dua puluh tahun itu harusnya sudah bisa meninggalkan jejak-jejak yang baik di hati orang-orang yang kita temui, orang-orang yang kita kenal, keluarga kita. Ada yang bilang, kalau kita mau tahu seberapa banyak orang yang tulus mencintai kita, dan seberapa baiknya kita di dunia. Maka lihatlah seberapa banyak orang yang datang saat raga ini berpisah dengan  jiwa ini.

Tinggalkanlah fikiran-fikiran buruk yang masih mengganjal, melupakan masa lalu yang tak enak untuk diingat. Sebisa mungkin menghasilkan hormon serotonin dengan baik. Bersama keluarga, Ayah, Ibu, Adek, mbah Uti, keponakan, sepupu, pak dhe, bu dhe, bulek, om semuanyaa. Masih panjang insya Alloh saya hidup. Masih banyak hal-hal yang harus dilakukan selama itu. Seharusnya tak ada waktu untuk memikirkan masa yang lalu.

Belajar jadi dokter gigi yang bermanfaat bagi orang lain, ramah pada pasien, tepat dalam menganamnesis, jangan pelit, berbagi selalu kepada yang membutuhkan. Aamiin. Semua ini akan berjalan dengan baik, pabila saya bekerja keras menatap ke depan! Bersama teman-teman sejawat, meraih cita setinggi angkasa.
Di duapuluh ini saya bahagia, ada ayah yang siap nganter kemana-mana. Ada ibuk yang siap masakin apa ajaaa, ada adek yang siap di ajak main dan di ajak berantem, ada sahabat-sahabat yang senantiasa saya repotkan, pipit, desta, mbak naph, anggi, fiska, ninik, vera, lia, chana, yuli, maika, ama, dan yang lainnya.. Saya bahagia, di dua puluh ini ada kalian. Dan semoga di duapuluh yang akan datang mereka tetap dalam komposisi yang sama. Kalo bisa tambah satu lagi, pemilik tulang rusuk yang hilang. :D aamiin ya Alloh

salam duapuluh
Minggu 28 Jul. 13