Rabu, 05 Februari 2014

Kisah Untuk Sang Putri episode 1 - another secret admirer story

Dia datang. Benar dia sudah datang. Tak biasanya dia datang jam segini. Biasanya sepuluh menit lebih lama dari pada ini. Ah untunglah aku sudah ada di sini sejak tadi. Jadi aku bisa bebas memperhatikannya. Dari jauh. Hanya ini yang bisa aku lakukan. Ya mau ngapain lagi, toh dia juga tidak mengenalku. Siapa aku. Aku hanya laki-laki biasa yang tidak ada apa-apanya dibandingkan sang putri.
Ia telah memasuki sanggar. Sudah beberapa minggu ini aku mengetahui bahwa dia setiap hari Rabu dan Jumat mengikuti unit kegiatan mahasiswa tari di kampus. Aku bisa tahu karena ada temanku -lumayan dekat dengannya- yang juga ikut UKM tari. Dia dengan senang hati memberiku kabar ini, jadi aku bisa melihatnya sebentar sebelum masuk ke kantor majalah kampus yang aku ikuti. Kebetulan di hari yang sama ada jadwal ngantor untuk mengumpulkan artikel ataupun rapat rutin di kantor.
Aku keluar dari persembunyian, menutup buku –biasa aku gunakan untuk pengalihan perhatian jika diketahui orang-. Kemudian berjalan menuju kantor yang berjarak satu koridor dari UKM tari. Dengan semangat pastinya. Sudah mendapat suplemen.
“Obiet!”  panggil seseorang sesampainya di pintu kantor.
“Hey Syad,” sapaku.
“Aku nungguin kamu, nggak datang-datang. Ini anak-anak sudah pada ngumpulin artikelnya ke aku. Tinggal tugasmu sebagai editor untuk bekerja. Ohya jangan lupa cerbungnya jangan panjang-panjang. Kemaren pimrednya marah, gara-gara kelebihan satu halaman. Kamu ini kalau bikin cerbung mbok ya jangan panjang-panjang,” jelas Irsyad panjang lebar.
“Hehe... maaf tadi ada urusan sebentar. Ohya? Kayaknya sudah cukup 700 kata deh. Kenapa bisa kelebihan?”
“Mana kutahu. Itu majalahnya masih di ruang komputer. belum didistribusikan. Kata si Agni besok aja dibagiin ke anak-anak.”
Aku mengangguk-angguk. “Oke.”
“Ohya, ini yang belum ngumpulin Bagas, Difa sama Rafli. Sms mereka. Biar majalah terbitnya nggak mundur kayak kemarin.”
“Siap bos!”
Setelah Irsyad pamit, aku segera ke ruang komputer dan mengambil satu majalah. Kucari cerbungku di sana. Wah, aku salah memasukkan cerbung rupanya. Memang yang ku buat bener 700 kata tapi malah yang aku kumpulkan yang belum aku edit, mana isinya kurang memuaskan. Tapi ya gimana sudah terlanjur cetak. Ya sudah lanjut aja episode 5nya.
source: google
Aku selalu senang melihat wajah lembutnya. Aku ingin memasuki dunianya. Dunia yang membuatnya nyaman. Namun, aku takut. Bilamana aku memasuki dunia itu, akankah dia bertambah nyaman atau dia akan berpindah ke zona yang lain. Aku sangat takut. Aku memang pengecut. Sampai kapan aku hanya bisa menjadi pengagum rahasia. Aku tidak tahu. Karena zona ini juga sudah nyaman buatku, aku merasa tidak perlu bergerak lebih jauh lagi.
Sudah cukup 700 kata yang mewakili sebagian dari perasaanku. Entah sang putri membaca kolom cerbung yang aku buat ini atau tidak. Aku tidak punya cukup mata-mata untuk ini. Biarlah. Toh aku tidak mengharapkannya secara berlabihan. Ada yang pernah bilang, jangan terlalu mencintai sesuatu. Kelak kamu tidak akan pernah tahu apa yang terjadi dengan perasaan itu. Biarlah rasa itu mengalir apa adanya seiring berjalannya waktu. Entah dia akan memudar atau akan tetap bertahan. Tunggu sampai saat yang tepat untuk memetiknya.
Kemudian aku tenggelam dalam lautan tulisan teman-teman yang harus segera kuedit.
***  
Kemarin aku baru saja diterima di sebuah mini market. Part time ini aku ambil karena aku ingin membeli gadget baru yang beberapa bulan ini nangkring di etalase toko sebelah kost. Seakan-akan dia berteriak memanggil-manggilku mesra. Ah, jaman sekarang semua serba canggih memang. Apa salahnya juga menambah pengalaman kerja part time, siapa tahu nanti lebihnya bisa ditabung untuk keperluan yang lain. Lagi pula aku sudah berjanji pada Ayah kalau pekerjaanku ini tak akan mengganggu kuliah. Kebetulan ada kekosongan pegawai untuk enam bulan ke depan. 

Hari ini ada training dulu dari senior-senior Mickey market –nama mini market tempat aku bekerja-. Aku mengerti dengan cepat apa-apa saja yang harus aku lakukan. Jam kerjaku jam 3 sore sampai jam 9 malam setiap hari Senin sampai Rabu. Semoga kali ini berkah.
Hari hari berikutnya terasa mudah dan sudah biasa. Hari ini banyak sekali pembeli. Ah iya benar, ini awal bulan. Ya pastilah rame, orang-orang pada belanja bulanan. Satu persatu pelanggan mengantri membayar. Mataku semakin ijo ngeliat duit banyak di depan mataku. Kemudian jari-jari lentik itu menyodorkan keranjang belanjaan. Siapa gerangan pemilik jemari cantik ini? Terdengar jelas lagu di sound sistem mini market sedang memutar ost Laskar Pelangi yang jari-jari cantik. Kenapa bisa pas begini. 
Profesional bro profesional, aku meneriaki mataku.
"Ada kartu pelang...gannya.." suaraku tersendat di tenggerokan. Lihat siapa yang ada di depanku.
Ia memberikanku sebuah kartu pelanggan Mickey Market sembari tersenyum. Gila, apakah ini takdir? A fate? Neila, sang putri cantik, tidak kurang 1 meter ada di depanku. Aduh, ini jantung mana bersisik banget pula. Dag dig dug nya sampai ke telinga. 
Profsional Biet, profesional. Aku kemudian menutup mulut sesegera mungkin, karena tadi hampis menganga beberapa detik. Kemudian menghitung semua belanjaan putri cantikku ini.
"Tiga puluh enam ribu tiga ratus rupiah mbak," oke aku berhasil menyembunyikan kegugupanku. 
Ia mengambil uang di dompet. Lama, lumayan lah, bisa sedikit curi curi pandang. Kemudian ia menyodorkan uang, pas sebesar apa yang aku bilang tadi. Aku menerimanya dengan senang hati.
"Ini mbak, belanjaannya, terima kasih sudah belanja," kataku kemudian sok manis.
"Mas.."
Dia ngomong sama aku, iya dia manggil aku. "Iya mbak," jawabku sambil tersenyum seganteng mungkin.
"Kartu pelanggannya bisa saya ambil?" tanyanya dengan polos.
Deg. Pyaarrr..... Ah, iya lupa, aduh padahal udah berusaha nggak grogo lho.
"Eh iya, ini," aku memberikan kartu pelanggannya.
"Mas baru ya di sini?"
"Eh, iya mbak. Maaf kalau tadi kelupaan, maklum pegawai baru." aku nge-les.
"Bukan masalah itu sih sebenernya, itu cara masang co-card nya salah." Ia mengambil belanjaan dan segera pergi sambil tersenyum.
Eh, aku reflek melihat co-card, emang sih aku nggak nanya cara masang co-card nya gimana. Aduh, bodoh. Eh, tapi dia segitu perhatiannya, sampe tau aku salah pasang co-card. Atau mungkin emang kesalahanku memasang co-card fatal sehingga bisa mudah diketahui. hhhh...
#bersambung