Senin, 26 Januari 2015

Bagaimana Hukum Belajar ke Negeri Kafir?


Tentang masalah safar ke negeri kafir, aku berpendapat tidak diperbolehkan, kecuali dengan beberapa syarat :

Fatwa Syaikh 'Ustaimin rahimahullah Bagi yang Ingin Thalabul 'Ilmi di Negeri Kafir.
بعض الشباب يريدون أن يتعلموا الطب وبعض العلوم الأخرى ولكن هناك عوائق مثل الاختلاط والسفر إلى بلاد الخارج فما الحل؟ وما نصيحتكم لهؤلاء الشباب ؟
“Sebagian pemuda ingin belajar ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu yang lain, akan tetapi di situ terdapat beberapa hambatan misalnya ikhtilaath dan safar ke luar negeri. Bagaimana solusinya ? Dan apa nasihat Anda pada para pemuda itu ?”.
Jawab :
نصيحتي لهؤلاء أن يتعلموا الطب لأننا في بلادنا في حاجة شديدة إليه، وأما مسألة الاختلاط فإنه هنا في بلادنا والحمد لله يمكن أن يتقي الإنسان ذلك بقدر الاستطاعة.
وأما السفر إلى بلاد الكفار فلا أرى جواز السف إلا بشروط :
الأول: أن يكون عند الإنسان علم يدفع به الشبهات ؛ لأن هناك في لبلاد الكفار يوردون على أبناء المسلمين الشبهات حتى يردوهم عن دينهم.
الثاني: أن يكون عند الإنسان دين يدفع به الشهوات، فلا يذهب إلى هناك وهو ضعيف الدين ، فتغلبه الشهوات فتدفع به إلى الهلاك.
الثالث: أن يكون محتاجاً إلى السفر بحيث لا يوجد هذا التخصص في بلاد الإسلام.
فهذه الشروط الثلاثة إذا تحققت فليذهب، فإن تخلف واحد منها فلا يسافر،لأن المحافظة على الدين أهم من المحافظة على غيره
“Nasihatku kepada para pemuda itu agar mereka tetap mempelajari ilmu kedokteran, karena negeri kita sangat membutuhkannya. Adapun masalah ikhtilaath, maka di negeri kita – alhamdulillah – memungkinkan bagi seseorang untuk menghindarinya sesuai kadar kesanggupannya.

Pertama, hendaknya seseorang mempunyai bekal ilmu (syar’iy) yang akan melindunginya dari berbagai macam syubhat, karena di negeri kafir, mereka (orang-orang kafir) menghembuskan berbagai macam syubhat kepada anak-anak kaum muslimin hingga mengeluarkannya dari agama mereka (Islam).

Kedua, hendaknya seseorang mempunyai bekal agama yang akan melindunginya dari berbagai macam syahwat. Maka, bagi orang yang lemah agamanya tidak boleh pergi ke sana, karena syahwat akan menguasai dirinya sehingga menyeretnya ke lembah kebinasaan.

Ketiga, hendaknya orang tersebut benar-benar mempunyai keperluan yang mengharuskannya untuk safar, dimana spesialisasi ilmu itu tidak didapatkan di negeri kaum muslimin.

Apabila ketiga syarat di atas terpenuhi, silakan ia pergi. Namun apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, ia tidak boleh pergi, karena menjaga agama lebih penting daripada menjaga hal-hal selainnya”.


Sabtu, 03 Januari 2015

Bolehkah Aku Mengkhawatirkanmu?

Asap mengepul di atas segelas kopi hitam pekat yang ada di sudut meja. Kontras dengan kertas putih yang berserakan di sekitarnya. Sesekali kertas-kertas itu bergerak tertiup angin dari jendela. Seseorang duduk sambil memperhatikan laptopnya. Ia sudah berada di posisi itu sejak setengah jam yang lalu. Hanya menggerakkan tangan untuk mengusap dagu. Ia tampak berpikir keras.

"Kau akan membiarkan kopi itu dingin Dean?" Seseorang sudah duduk di seberang mejanya.
"Heemm..." hanya itu jawaban yang keluar dari mulutnya. Dean masih sibuk memandangi layar monitor.
"Apa yang sedang kau kerjakan? Bukankah semua tugasmu sudah kau selesaikan?"
"Tck... Masih ada projek yang harus aku kerjakan."
"Baiklah, aku tak akan mengganggu," Ia pergi menuju meja kerja miliknya. 
"Sedang apa dia Rin?" tanya kawan yang duduk di sebelahnya. 
Rin mengangkat bahu, namun di matanya tersirat kekhawatiran. Ia memandang Dean beberapa lama. Kenapa aku harus mengkhawatirkannya? Rin kembali bekerja. 

Rin berlari menuju halte. Ini sudah hampir pukul tiga sore, bus yang ia tumpangi segera lewat. Ia tak mau tertinggal lagi. Ia sudah ada janji mengantar neneknya berobat. 

Sesampainya di halte, ia melihat Dean sedang melamun duduk di  kursi. Seperti banyak sekali beban yang mengantri masuk ke dalam kepalanya.
"Dean," sapa Rin.
Dean menoleh, "Rin," ia tersenyum.
"Kenapa kau akhir-akhir ini? Nggak enak badan?"
"Enggak kok, banyak pekerjaan aja. Bus kamu sudah datang tuh," Dean menunjuk bus yang akan Rin tumpangi. Rin menoleh.
"Ya sudah, aku pulang dulu ya, bye!" 
Dean mencoba tersenyum dengan hangat. Rin dengan berat hati meninggalkannya dan memasuki bus.
"Aku yakin ada yang tidak beres dengannya. Tak biasanya ia mendiamkanku seperti tadi," Rin memikirkan Dean sepanjang jalan.

Rin menghidupkan lampu kamar. Ini hari ketiga ia melihat Dean murung. Dan ia belum mendapatkan jawaban dari masalah apa yang dihadapi Dean. Tiga hari ini Dean selalu muncul dikepalanya. Entah apa perasaan itu, Rin tak tahu. Ia beberapa kali menganggap bahwa ini hanya simpati. Ia merasakan kesedihan bila melihat wajah pria berkacamata itu murung. Sebelum Rin menutup mata, mengakhiri hari yang melelahkan ini, Dean masih menempel diingatannya.

"Dean nggak masuk?" tanya Rin.
Salah satu teman kantornya mengangguk. "Aku kemarin melihat Dean kena omel sama manager, mungkin dia membuat kesalahan."
Rin merasa ada yang tidak beres, ia memutuskan untuk menelfon Dean.
"Kau dimana?" tanyanya setelah terdengar suara Dean mengangkat telfon.
Dean diam sejenak.
"Dean? Kau masih di sana kan?" tanya Rin.
"A...Aku di rumah sakit."
"Rumah sakit? Kau sakit? Sakit apa?" Rin menghujani pertanyaan.
"Bukan.." jawab Dean lirih.
"Lalu siapa yang sakit?"
"Ayahku."
Tanpa pikir panjang, Rin pergi ke rumah sakit tempat ayah Dean dirawat. 

Rin berlari menyusuri koridor, ia terlihat khawatir. Dean mengatakan bahwa ayahnya sedang menjalani operasi. Ia mencemaskan Dean.

Ia menemukan Dean berdiri mondar-mandir di depan ruang operasi. Rin mempercepat langkah. Wajah yang ingin ia temui, wajah yang ingin ia hibur, sudah ada di depan mata.

"Dean."
"Airin..."
"Bagaimana? Belum selesai?" tanya Rin.
Dean menggeleng.
"Bagaimana bisa terjadi, bukankah ayahmu sangat sehat?"
"Dia.. diaa... merahasiakan penyakitnya dariku. Dia, menganggap aku masih anak kecil yang tak tahu apa-apa," mata Dean berkaca-kaca. "Ia bilang tak ingin membuatku sedih, tapi apa akibatnya, hal ini lebih membuatku sedih," Dean telah mengeluarkan air matanya.
"Dean...." panggil Rin lirih. Ia ingin sekali memeluk Dean saat ini. Mungkin pelukan akan sedikit membantu menghangatkan perasaannya kali ini. Tapi apa daya, Rin bukan siapa-siapa yang berhak menyentuh tubuh Dean seenaknya. Keyakinannya memiliki batasan. 
Rin menjulurkan sapu tangan untuk Dean. Rin tak menyukai pria cengeng, namun kali ini, ia telah di buat sedih oleh Dean. Ia ingat perkataan teman sekantornya yang menceritakan bahwa Dean kena marah oleh manager. Betapa terluka hatinya saat ini. Hal ini semakin membuat Rin sesak.

Rin kembali membawa dua teh panas menuju ruang tunggu operasi. 
"Ini minum dulu Dean. Tenangkan harimu."
Dean yang sedari tadi duduk melamun menerima minuman yang Rin berikan.
"Terima kasih."
"Kau tahu, aku pernah mengalami hal yang sama denganmu," Rin memulai percakapan setelah hening beberpa saat.
Dean berhenti meminum tehnya.
"Saat itu, aku sedang sibuk dengan skripsiku. Aku menghiraukan semua sms, yang masuk. Aku punya target. Aku harus segera lulus dan menyelesaikan skripsiku. Sering aku mneghiraukan telepon dari Ibuku. Aku pikir, nanti saja nanti saja, tanggung belum selesai. Dan aku melewatkan semuanya. Suatu hari aku sempat mengangkat telepon dari Ibu, namun kabar buruk yang aku terima. Ibu masuk UGD. Kau tahu rasanya seperti tertimpa batu besar di kepalamu. Ternyata ibuku sudah sakit sejak lama. Aku tak mempedulikannya."
Rin diam sejenak, mengumpulkan tenaga. 
"Hal yang paling kusesali di dunia ini adalah tidak menghiraukan panggilan ibuku. Aku hanya bisa bersamanya di saat-saat terakhirnya saja. Kau beruntung, tidak pernah jauh dari orang tua.Jadi jangan beranggapan kau adalah makhluk paling merana di dunia ini. Terus berdoa untuk kesehatan Ayahmu. Allah pasti memberikan kembuhan baginya." Rin melebarkan senyuman di akhir kalimatnya.
Dean membalas senyuman hangat itu.
Dokter dan perawat keluar dari ruang operasi. Dean segera menghampiri dan memberikan pertanyaan bertubi-tubi kepada dokter yang merawat.
Rin masih duduk memperhatikan. Dokter menjelaskan bahwa ayah Dean sudah melewati masa kritis. Ah, leganya. Ia meninggalkan ruang tunggu operasi. Tugasnya sudah selesai. Ia sudah melihat Dean tersenyum bahagia. Sudah cukup untuknya. 
Selesai berbicara dengan dokter Dean menyadari bahwa Rin sudah tidak ada di tempat.
"Bodoh, kau meninggalkanku seperti ini? By the way, terima kasih untuk semangatnya Rin." 
***   
Ayah Dean semakin membaik. Dean bisa bekerja kembali. Belakangan Rin tahu alasan kenapa manager memarahi Dean. Ia tidak konsentrasi dalam membuat artikel tentang berita yang ia tulis. Sehingga ada kesalahpahaman yang mengakibatkan beberapa pelanggan yang komplain. 
Hari ini Dean ditugaskan untuk meliput jatuhnya pesawat Air Asia beberapa waktu yang lalu. Pimred memutuskan menjadikan berita ini sebagai headline news majalah tempat Dean dan Rin bekerja. 
Beberapa staff juga ikut pergi dengan Dean. Manager berharap Dean melakukan tugas ini dengan baik untuk menebus kesalahannya yang lalu.
"Ini..." Rin menyerahkan tas kertas kecil kepada Dean yang sedang memasukkan peralatan menulisnya ke dalam tas.
"Apa ini?" tanyanya.
"Snack, bekal perjalanan untukmu. Siapa tahu di sana kau kelaparan." 
Dean menerima pemberian Rin. "Makasih ya."
"Sama-sama. Hati-hati di jalan."
Rin kembali menuju meja kerjanya.
Anak itu semakin aneh. Kenapa juga ia harus memberikan snack ini kepadaku? Hanya kepadaku? Mungkinkah? Dean menggumam.
Tidak bolehkah aku mengkhawatirkanmu? Rin berbicara di dalam hati.
source: google
***
Beberapa hari sangat menyiksa Rin. Perasaan itu bukan semakin menghilang tapi semakin kuat. Rin tak pernah memintanya. Hanya mengalir begitu saja menempati lekukan-lekukan otaknya. Sesak. Jika kau merindukan seseorang yang tak akan pernah menoleh padamu. Sesak. Mengkhawatirkan seseorang yang tak akan pernah mengkhawatirkanmu. Beberapa kali ia membuka hp hendak menanyakan kabar. Tapi apa haknya? Kenapa harus tahu kabarnya? Rin bukan siapa-siapanya Dean. Mereka hanya partner kerja. Tak lebih. Jadi apa Rin berhak merindukan bahkan mengkhawatirkan Dean?


Rindu ini semakin memuncak. Rin harus menahan perasaannya sekuat tenaga. Melakukan hal-hal yang membuatnya sibuk. Untuk apa ia menghabiskan waktunya untuk memikirkan seseorang yang bukan siapa-siapa untuknya. Benar bahwa Rin memiliki perasaan yang lebih dari sekedar partner kerja. Kebaikan Dean, ketegasan Dean, dia yang memiliki kasih sayang besar ke orang tuanya, dan banyak hal dari Dean yang membuat Rin jatuh. Benar sekali kata pepatah yang bilang kita akan tahu apakah kita menyayangi seseorang bila seseorang itu meninggalkan kita.

Beberapa kali Rin mencoba untuk mendaftar keburukan-keburukan Dean, untuk menghilangkan rasa suka yang ia miliki. Rin tak boleh menyukai Dean.

Tepat dua minggu kepergian Dean, dengan usaha keras yang Rin miliki, ia berhasil untuk tidak menghubungi Dean. Ia sedikit bisa meredam perasaannya yang beberapa hari lalu berapi-api. Hanya tinggal menunggu waktu. Karena waktu yang akan mengobati segalanya.

Hari ini Dean kembali ke kantor. Ia menyapa Rin yang sedang duduk santai di lobi. tentu saja Rin sudah menyiapkan hatinya untuk tidak jatuh terlalu dalam. Karena sesungguhnya teramat mencintai itu tidak baik. terlalu banyak bumbu akan membuat suatu masakan menjadi eneg.

"Hai Rin, apa kabar? Ditinggal dua minggu udah makin gendut aja. Hahaha..." tanya Dean.
"Ih, enak aja tambah gendut. Ini sehat namanya. Kamu sendiri gimana?"
"Haha.. Aku baik. Ini oleh-oleh untukmu. Anggap saja pengganti snack yang kau kasih," Dean menyerahkan tas kertas yang ia dapat dari Rin dua minggu yang lalu.
"Wah.. makasih ya.."
"Dan ini," Dean menyerahkan sebuah amplop berwarna hijau muda.
"Apa ini?" tanya Rin sambil membuka amplop.
UNDANGAN PERNIKAHAN
Rin hampir menjatuhkan oleh-oleh yang ia dapatkan. Undangan pernikahan. Tertera nama Dean dan tunangannya, yang sebentar lagi menjadi istrinya. Inilah alasan Rin tak boleh menyukai Dean. Dean sudah memiliki perempuan. Mereka berdua bertunangan sejak lima bulan yang lalu.
"Rin... Airin?"
"Eh... iya..." Rin tersadar dari lamunannya.
"Datang kan? Acaranya tiga minggu lagi," Dean memberikan senyuman.
"E..I..Iiyaaa lah pasti. Selamat ya. Semoga langgeng." Rin membalas senyuman Dean dengan berat.
"Oke sipp. Aku ke atas dulu ya. Mau bagi-bagi undangan buat yang lain. Bye!"
Rin mengangguk dan tersenyum. Senyum itu berubah menjadi kesedihan setelah ia melihat punggung Dean semakin menjauh. Ia sudah tak punya kesempatan lagi. It's over. Dean sempurna milik orang lain. Air mata Rin jatuh tepa di undangan yang ia bawa. Mungkin hidup ini tidak adil, kenapa cinta bertepuk sebelah tangan itu ada. Namun Rin mengerti, kita tak boleh rakus dalam meminta. Menunggu datangnya doa yang dikabulkan dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat. Seperti menahan kerinduan akan kehadiran Dean dengan tetap mengerjakan pekerjaan kantornya. Ia menunggu dengan sukses. Walaupun yang dinanti ternyata membawa berita buruk, setidaknya penantiannya tidak sia-sia. Ia masih harus tetap hidup dengan baik.

Tiba-tiba seseorang menjulurkan sapu tangan di depan wajahnya. Rin menoleh. Seorang laki-laki berambut cepak berdiri menatapnya sambil menjulurkan sapu tangan. Rin mengambil sapu tangan dengan ragu-ragu dan menghapus air matanya.

"Terima kasih, akan saya cuci dulu. Saya bisa mengembalikannya dimana nanti?" tanya Rin.
laki-laki itu tersenyum menyebabkan lesung di pipi kirinya terlihat jelas. "Kapan saja, restoran saya ada di sebelah gedung ini."
Rin mengangguk.
"Ngomong-ngomong ruang manajer sebelah mana ya? Beliau memesan beberapa makanan," kata lelaki itu sambil menunjuk kardus makanan yang ada di sebelah kakinya.
"Ada di atas, mari saya antar."
----TamaT----