Kamis, 14 Januari 2016

Matahari di Jalur Gaza

            Terik matahari pagi ini sangat mematikan. Tak peduli siapa yang berada dibawahnya, pak Ahsan, pak Jon, dan semua anak-anak yang sekarang berada di halaman sekolah. Peluh menetes seperti air terjuan disetiap baju siswa-siswa ini. Beberapa memicingkan mata, takut air terjun keringat itu akan masuk ke dalam mata mereka. Sudah satu jam mereka berada di sana. Tetap tidak ada yang mengaku. Pak Ahsan sudah berkali-kali menanyai mereka. Walaupun ini bulan puasa, pak Ahsan tidak main-main apabila ada kasus pencurian seperti ini di sekolah. Beliau tetap harus menemukan siapa pelakunya. Para siswa tidak akan pernah dibubarkan sebelum ada yang mengaku.
Kaki salah satu siswa mulai gemetaran. Ia hendak protes, namun apa daya, pak Ahsan masih tetap mengomel tiada henti, tak ada celah sedikit pun untuk menyela.
“Kau tahu siapa dalang dibalik semua ini?” tanya siswa itu.
Yang ditanya menggeleng sambil menyeka peluh.
“Aku sudah tak kuat ini, kakiku gemeteran sejak tadi,” katanya lagi.
“Lah gimana lagi…”
“Siapa sih yang berani-beraninya mencuri obat-obatan di UKS. Kurang kerjaan aja.”
“Yaudah sih Biet, kita tunggu saja. Pasti ada yang ngaku.”
“Tapi Ik, mau sampai kapan. Lagi pula kamu puasa kan? Kamu nggak lemes?”
Siswi itu nyengir.
“Masih pada bungkam ha? Bapak sudah bersabar, bukannya bapak ingin menyiksa kalian di bawah matahari ini. Tolonglah, mengaku saja. Bapak tidak akan marah. Mungkin kalian yang mencuri mempunyai alasan tersendiri. Tersangkanya pasti salah satu diantara kalian. Menurut keterangan pak Jon, kalianlah yang berlalu-lalang kemarin di UKS.”
Pak Ahsan masih memberikan petuah-petuahnya. Para siswa hanya menunduk kepanasan. Belum ada tanda-tanda ada yang mengaku.
“Ayolah kawan, mengaku saja, tidak kasihan apa dengan yang tidak bersalah. Menanggung hukuman ini! Masih bulan puasa pula kan?” Akhirnya Obiet bisa menyela disaat keheningan menyelimuti.
Beberapa siswa mulai berbisik-bisik.
“Mengakui kesalahan bukanlah dosa besar. Apa yang kalian takuti? Justru mengakui kesalahan adalah hal yang paling hebat di dunia ini. Berjiwa besar, jarang orang yang memiliki jiwa yang besar,” nasihat pak Ahsan. “Baiklah, sudah jam segini, kalian pasti sudah ketinggalan banyak pelajaran berharga di kelas. Mungkin salah satu kalian pelakunya malu mengakui di depan umum. Bapak tunggu hari ini setelah jam terakhir di ruang OSIS. Bapak mau tahu alasannya. Kalau sampai nanti siang tidak ada yang datang menemui bapak, besok siap-siap berdiri lagi di sini. Paham?”
“Paham...” jawab mereka serentak disertai perginya pak Ahsan dan pak Jon.
Desahan keluh kesah menggema di halaman sekolah.
“Akhirnya…. kita selamat juga. Kamu nggak papa kan?”
Oik mengangguk.
“Yuk ke kelas.”
Belum jauh mereka melangkah, Oik jatuh tersungkur di tanah.
“Oiiikkk!!!” Obiet dan beberapa teman segera menggotong Oik menuju UKS.
Obiet menunggui Oik sedari tadi yang belum sadar-sadar juga. Beberapa kali alkohol disentuhkan ke hidungnya, tapi dia belum juga sadar. Saat Obiet akan menyerah, pergi meninggalkan Oik yang sedang istirahat, Oik terbangun.
“Biet… Aku pingsan lagi?” tanyanya.
“Menurut lo?” Obiet kembali duduk di samping Oik.
“Maaf, aku menyusahkanmu terus.”
“Lagian, dibilangin nggak nurut. Ditanyain capek apa nggak bilang nggak. Salah siapa coba?” Obiet mengomel.
Oik tersenyum. “Iya, iya, bawel.”
“Aku penasaran, sebenernya motivasimu ikut PMR apa sih? Kamu sendiri sering pingsan gara-gara anemia kan. Nanti kalo nolong orang trus kamu pingsan gimana? Kan nggak lucu.”
Oik tertawa. “Suka-suka aku dong. Aku kan ingin bermanfaat bagi orang lain. Kau tahu, rasanya bisa menolong orang yang kesusahan itu seperti dapet gratisan makanan di hotel berbintang tau nggak.”
“Iya deh iya… Kamu mau batalin puasanya? Masih kuat nggak?”
Oik menggeleng. “Aku masih kuat kok.”
“Yakin?”
“Dua ratus persen!” Oik bangun dari tempat tidur.
Mereka berjalan kembali ke kelas. Sudah tahun mereka sama-sama menekuni ekskul PMR di SMA Cendekia ini. Selama dua tahun ini juga mereka bersahabat. Walaupun mereka berbeda agama, Obiet selalu menghormati Oik, begitupun juga Oik. Mereka tidak pernah menjadikan agama menjadi topik pembicaraan saat mereka bersama. Obiet selalu kagum dengan kegigihan Oik untuk membantu sesama. Ia pernah bilang ke Obiet bahwa Oik ingin menjadi seorang dokter yang hebat.
***
Sepulang sekolah, Obiet penasaran siapa kira-kira yang akan menemui pak Ahsan untuk mengakui perbuatannya. Ia perlahan-lahan berjalan menuju pohon dekat dengan ruang OSIS. Ia menginspeksi seluruh sudut-sudut depan ruang OSIS.
“Ngapain sih?” Oik muncul di depan Obiet.
“Woaaaa… Ngagetin aja sih.”
“Ngapain?”
“Ng… anu… ng… mau tahu siapa yang akhirnya ngaku nyuri obat-obatan di UKS.”
“Kepo deh, bukan urusan kamu tauk.”
“Eh, aku kan juga anggota PMR. Jadi aku berhak untuk tahu dong, siapa yang mencuri obat-obatna di UKS kita.”
“Trus, kalau sudah tahu mau apa?” tanya Oik semakin mendekat.
“Yaa…yaa… yaa… nggak apa-apa. Biar aku bisa lebih berhati-hati aja sama dia,” kata Obiet sambil mundur-mundur menjauhi muka Oik.
“Itu hanya akan menambah prasangka buruk saja kepada orang. Sudahlah, itu urusan pak Ahsan, kita tidak usah terlibat. Ngapain ikutan pusing. Yang penting kita doakan saja semoga pelakunya beneran datang menemui pak Ahsan dan masalah selesai. Misteri hilangnya obat-obatan itu akan terpecahkan. Ngerti?”
“Hhhh….” Obiet menghela napas. “Iya deh iya, ngerti.”
“Ayo pulang.”
Mereka segera meninggalkan sekolah. Obiet sesekali menengok ke belakang, namun kemudian Oik segera memalingkan muka Obiet ke depan kembali.
“Eh, ngapain kamu ikutin aku ke parkiran?” tanya Obiet.
“Mau pulang sama kamu,” jawab Oik.
“Bang Togar, supir kamu gimana?”
“Males, paling dia juga pulang sendiri kalau nunggu kelamaan.”
“Ih, gamau aku ah, nanti aku kena marah lagi. Sana bilang dulu. Aku temenin deh.”
“Nggak. kalau aku bilang mau pulang sama kamu, pasti nggak dibolehin. Apalagi naik sepeda butut kayak gini.”
“Eh enak aja butut. Ini sepeda pertama bapakku tauk. eh malah mengalihkan pembicaraan. Ayo aku temenin ke bang Togar.”
“Nggak mau, Biet, please… Aku lagi males pulang ke rumah. Paling juga gak ada orang di rumah. Simbok paling sibuk masak. Kak Hana apalagi, pulangnya selalu malem-malem. Aku ikut pulang ke rumahmu ya? Please… please…”
“Apa boleh buat, kalau ada apa-apa aku nggak mau disalahin.”
“Yess… asiik…”
“Tapi nanti aku mau ngamen dulu. Kamu mau ikut?”
Oik mengangguk. “Sekalian ngabuburit.”
“Ngabuburit kok ngamen.”
“Biarin, wee… Ayuk ah,,, kita kabur…” Oik mengambil sepeda Obiet dan segera pergi meninggalkan Obiet yang masih ada di parkiran.
“Ckckckc… ni anak puasa apa nggak sih sebenernya. Tadi pagi pingsan, eh ini main kabur aja ninggalin. Hiperaktif dasar. Hei Ik tunggu!!!” Obiet berlari menyusul Oik.
Di lain sisi, bang Togar sedang mondar-mandir di depan pagar sekolah menunggu Oik keluar.
“Aduh, kemana pula ini non Oik pergi. Pasti pergi lagi sama anak pengamen itu. Bisa gawat kalau ketahuan nyonya ini. Ah…”
Bang Togar meninggalkan sekolah Oik dengan perasaan campur aduk. Takut diarahin Mama Oik sesampainya di rumah.
Sedangkan Oik sedang sibuk mengayuh sepeda butut milik Obiet. Obiet yang  duduk membonceng dibelakang khawatir. Sejak tadi sepeda ini tidak stabil. Mungkin belum sampai rumah, mereka sudah jatuh tersungkur di jalan, akibat kayuhan Oik yang ugal-ugalan. Beberapa kali Obiet menelan ludah.
Sesampainya di rumah Obiet, Oik segera masuk ke dalam rumah tanpa permisi. Sepedanya dibiarkan begitu saja tak terurus.
“Tante… tante… Sedang apa?” Oik masuk ke dalam rumah Obiet.
Obiet menggeleng-gelengkan kepala.
Setelah Obiet bersiap-siap membawa bekal ngamennya, ia pamit kepada ibunya. Setiap hari, sepulang sekolah Obiet harus ngamen untuk menambah penghasilan keluarga mereka. Ibunya seorang penjual sayuran di pasar. Ayahnya sudah meninggal sejak ia berumur delapan tahun karena mengidap tuberculosis paru. Untuk uang pembayaran sekolah yang harus di tanggung, Obiet rela untuk mengamen setiap pulang sekolah. Lumayan cukuplah untuk memenuhi kebutuhan sekolahnya.
Siang ini yang terik Obiet masih semangat untuk menjajakan suaranya. Bisa dibilang, dia memiliki bakat menyanyi. Kalau talentanya ditemukan oleh produser musik, pasti produser itu tidak akan menyesal memilihnya. Beberapa kali Oik menyuruh Obiet merekam suaranya dan mengirimkan ke radio. Namun tak pernah ia lakukan, suaranya hanya mentok di jalan dan even-even sekolah.
Satu demi satu mobil mereka datangi. Recehan mengalir deras ke kantong plastik mereka. Oik sangat membantu. Suara lembut yang ia miliki mampu menyentuh orang-orang yang mereka datangi.
“Tiga puluh tuju tibu.. tiga ratus….Alhamdulillah,, dapet banyak Biet, kamu harus berterima kasih kepadaku,” kata Oik setelah menghitung uang hasil ngamennya di depan sebuah mushala.
“Harus gitu? Iya sih, lumayan banyak hari ini. Makasih ya,” jawab Obiet sambil merapikan topinya.
“Aku masuk shalat ashar dulu ya, tunggu di sini,” kata Oik.
Obiet mengangguk.
Selesai menjalankan kewajiban, Oik mengajak Obiet untuk membeli takjil buka puasa.
“Biar aku saja yang bayar,” kata Obiet saat Oik akan membayar belanjaannya.
“Nggak usah Biet, aku ada uang kok,” Oik menolak. “Simpan saja uangmu.”
“Eits… nggak boleh. Kamu sudah capek nemenin aku. Harus ada imbalannya. Nggak boleh nolak uang orang miskin,” Obiet menatap Oik tajam. “Ini Buk, uangnya.”
Oik tak bisa menolak. Obiet telah memberikan uangnya ke penjual takjil.
“Makasih ya,” kata Oik setelah mereka di jalan pulang.
“Aku yang berterima kasih, karena kau, hari ini aku dapet banyak,” kata Obiet sambil sesekali menengok ke belakang.
Angin senja menemani perjalanan mereka pulang. Sesampainya di depan rumah Oik, Obiet segera pamit, takut disemprot bang Togar.
“Bang, mama sudah pulang?” tanya Oik yang menemukan bang Togar sedang mengelap mobil.
“Barusan Non.”
“Nanyain aku nggak?”
Bang Togar menggeleng.
“Sudah kuduga. Mana pernah mama nanyain anak perempuannya ini.”
“Eh Non, tidak boleh berkata seperti itu. Tidak sopan. Tadi Nyonya buru-buru masuk rumah. Mungkin ada sesuatu yang harus diselesaikan.”
“Yaudah deh, aku masuk dulu ya Bang.”
“Iya Non.”
Oik memasuki rumah. Tidak ada yang menjawab salamnya. Sepi. Ia mencari-cari mamahnya. Yang ia temukan simbok seddang mencuci di belakang rumah.
“Mbok, Mama mana?”
“Ada tadi di ruang kerja Non.”
Oik mengangguk-angguk. Mungkin mama sedang ada kasus besar. Katanya dalam hati. Mama Oik seorang pengacara hebat di kota ini. Tidak pernah sekalipun hari-harinya free tanpa kasus. Mulai dari kasus sengketa tanah, pencurian uang rakyat, dan pernah sekali kasus pembunuhan.
***
Suasana meja makan masih sepi. Lima menit yang lalu adzan maghrib sudah berkumandang. Oik yang selesai shalat maghrib datang sendirian ke meja makan. Ia melihat sekeliling meja. Kosong. Padahal makanan yang ada di meja makan sudah bermacam-macam dan menari-nari menggiurkan.
Oik menghela napas. “Aku seperti hidup sendiri di dunia ini.”
Beberapa saat kemudian Mama Oik datang. “Hai sayang,” ia menyapa Oik sembari membaca kertas-kertas yang menyertainya.
“Hai Ma,” sapa Oik sambil tersenyum.
Kemudian Papa Oik datang masih memakai kemeja rapi.
“Hai Pa,” sapa Oik.
Namun, yang disapa masih sibuk menggunakan handphonenya menelepon orang.
“Iya, sudah saya bilang, jangan biarkan mereka membeli saham kita. Kita harus sebisa mungkin mempertahankannya…” Papa Oik berbicara di telepon sambil memasukkan makanan ke dalam piring.
Kemudian kak Hana datang. Ia baru pulang dari kampus. Tanpa mempedulikan yang ada di meja makan, ia segera pergi ke kamarnya yang berada di dekat ruang makan.
Oik menyantap takjil yang tadi ia beli dengan tidak semangat. Sudah lelah ia dengan semua keapatisan keluarga ini.
###
Keesokan harinya, Oik kembali ceria seperti semual. Ia tidak mau larut dalam kesedihan. Ia berjanji pada dirinya untuk melakukan hal-hal positif untuk melupakan segala kegundahan yang berasal dari rumahnya. Ia berjalan memasuki ruang kelas. Kelas sudah hampir penuh, walaupun bel masuk masih setengah jam lagi. Obiet juga sudah datang, namun hanya tasnya saja yang ada di bangku.
Hape Oik berbunyi.
From : Rahmi PMR
Diharapkan anggota PMR segera merapat di ruang UKS. Ada rapat penting.
“Ada apa ya? Jangan-jangan kasus pencurian Obat belum selesai?”
Tanpa pikir panjang Oik segera pergi menuju UKS. Di koridor ia bertemu degan Irsyad, yang juga anggota PMR.
“Ada apa sih Syad? Kau tahu?”
“Entahlah Ik, kasus yang kemarin mungkin,” jawab Irsyad.
Sesampainya di ruang UKS, sudah ada beberapa anak yang berkumpul. Menyusul beberapa lagi dibelakang Oik.
“Baik, sepertinya sudah berkumpul semua,” kata Rahmi, selaku ketua PMR membuka percakapan.
“Ada apa Mi? Kasus kemarin belum ditutup?” tanya salah seorang anggota.
“Oh iya, yang pertama yang akan saya bicarakan adalah itu. Pak Ahsan sudah bilang ke saya. Sudah ada yang mengaku kemarin. Katanya obat itu untuk dijual kembali karena ia butuh uang.”
“Oooo….” anggota yang lain serempak ber-O ria.
“Oke, yang kedua, saya ada undangan. Kalian sudah dengar saudara-saudara kita di Palestina diserang kembali?”
Bisik-bisik anggota terdengar menggema di ruang UKS yang kecil itu.
“Iya, aku lihat diberita tadi pagi, Israel melemparkan bom-bom kembali. Kasihan.”
“Iya, kasihan. Aku juga baca di media sosial.”
Oik menyimak setiap pernyataan teman-teman yang sudah melihat beritanya baik di televisi maupun media sosial.
“Pak Ahsan kebetulan mempunyai kenalan seorang relawan yang akan berangkat ke sana. Saya dimintai tolong untuk mengabarkan kepada kalian. Siapa tahu ada yang ingin ikutan. Lusa kita kan sudah libur. Nanti berangkatnya lima hari lagi. Ini brosurnya.”
Rahmi membagikan brosurnya kepada anggota yang lain. Oik membaca dengan saksama dan tampak berpikir serius.
“Gimana kawan? Ada yang mau ikut?” tanya Rahmi. “Insya Allah bekal ilmu kita sudah cukup banyak. Kalian tahu kan kalau kita tahun ini dapat predikat kelompok PMR terbaik se-provinsi. Saya beri waktu sampai besok. Kita kumpul lagi pas jam istirahat di sini besok.”
Bel masuk berbunyi. Rahmi segera menutup rapat mendadak pagi ini.
“Kau tertarik?” tanya Obiet berjalan di samping Oik.
“Entahlah Biet, aku pengen banget. Tapi pasti berbahaya. Apa orang tuaku akan mengijinkan?”
“Mmm… Iya sih, bilang saja dulu sama mereka. Siapa tahu boleh ikut. Kalau kamu ikut, aku juga ikut. Biayanya ditanggung temennya pak Ahsan kan?”
Oik mengangguk. “Tadi Rahmi bilangnya sih gitu.”
Seharian ini Oik memikirkan tawaran Rahmi. Mungkin papa mamanya tidak masalah dengan ini, mengingat kecuekan keluarganya akhir-akhir ini.
“Non Oik kenapa bengong?” tanya bang Togar saat perjalanan pulang ke rumah.
“Bang Togar tahu Palestina sekarang dalam masa kritis?”
“Tahu lah Non. Tadi pagi saya lihat beritanya di TV. Memangnya kenapa Non?”
“Aku mau jadi relawan di sana Bang.”
“Apa? Non yakin? Bahaya lho Non, pasti papa mama Non tidak membolehkan.”
Oik terdiam. Ia memandang jauh ke luar jendela. Perlahan-lahan air matanya menetes begitu saja tanpa perintah.
*** 
Malam ini perlahan-lahan Oik menuju ruang kerja Mamanya. Ia mendapati Mamanya sedang sibuk dengan berkas-berkas yang ada di meja.
“Ma…” sapa Oik pelan.
“Iya, kenapa Ik?” tanya Mamanya masih berkutat dengan berkas.
“Oik… mau ikut jadi relawan ke Palestina.”
Mama terdiam dan memandang Oik. Jantung oik semakin cepat berdebar.
“Oik yakin?”
Oik ragu-ragu menganggukkan kepala.
“Mama dukung semua apa yang Oik inginkan, asal Oik bahagia,” kata Mama.
Oik kaget. “Beneran Ma? Mama nggak marah?”
“Asalkan Oik bisa menjaga diri dengan baik. Mama setuju.”
Oik memeluk Mamanya. Ternyata ia dengan mudah mendapatkan ijin dari mamanya. Dan ternyata stelah ia datang menemui papanya, papa juga menyetujui ide Oik.
“Asal Oik suka, papa nggak masalah. Nanti papa bantu urus visanya,” kata Papa saat ditanyai.
***
Semua persiapan telah selesai. Obiet juga sudah mendapatkan pasport dan visanya atas bantuan teman pak Ahsan. Ada lima anggota PMR yang berangkat hari ini. Panggilan penerbangan mereka sudah ada. Oik dan kawan-kawan menuju bagian pemeriksaan tiket. Oik mencuri-curi pandang ke arah pintu masuk.
“Kamu cari siapa?” tanya Obiet.
“Mama dan Papa,” jawab Oik sedih.
Oik mengelus-elus pundak Oik. “Mungkin mereka tidak bisa meninggalkan pekerjaan mereka Ik. Sudahlah, kita toh juga akan kembali lagi kan. Itu wajib. Aku tak mau tim kita ada yang tertinggal di sana.”
Satu per satu memasuki pesawat. Mencari tempat duduk sesuai yang tertera di tiket. Ini pertama kali Obiet menaiki pesawat. Kelihatan gagapnya. Ia tak berhenti ber-whoa ria. Hal ini sedikit menjadi hiburan bagi Oik. Ia tertawa dengan tingkah Obiet di dalam pesawat.
“Teman-teman mari kita berdoa terlebih dahulu, semoga perjalanan kita membawa manfaat bagi mereka serta kita akan pulang dengan selamat membawa sejuta pengalaman yang tak terlupakan. Janji?” kata Rahmi sambil mengulurkan tangan.
“Janji.” Mata-mata suci itu penuh harap. Penuh semangat untuk ikut berjuang di jalan Allah Swt. Rasa takut yang menyelimuti hilang tak berbekas. Perjalanan kemanusiaan ini akan menjadikan mereka lebih memahami arti kasih sayang.
### 
Beberapa jam kemudian, perjalanan ini berakhir, setelah sempat transit di Dubai. Sesampainya di Gaza airpot anak-anak ini semakin bertambah deg-deg-an. Pak Umar, teman pak Ahsan yang tahu aura kecemasan tim ini segera memberikan nasihat-nasihat yang membuat tim kembali bersemangat. Misi kemanusiaan ini harus berakhir dengan aman. Warga Gaza menunggu bantuan kita.
Ternyata sudah ada yang menjemput mereka. Pak Ali namanya, beliau utusan dari dubes Indonesia di Palestina. Pak Ali menyambut tim ini dengan baik. Kelima anggota PMR, pak Umar beserta enam temannya segera masuk ke dalam van yang dikendarai pak Ali. Sempat terdengar suara rudal jatuh tak jauh dari airpot. Sontak mereka semua terkaget. Rahmi segera memeluk Oik.
“Ya Allah, lindungilah kami,” doa Oik dan segera diamini oleh Rahmi.
Perjalanan mereka ke penginapan sangat menyentuh hati. Di beberapa sudut bangunan, banyak sekali orang-orang yang berbalut kesedihan. Terlihat seorang wanita paruh baya yang sedang memeluk erat anak gadisnya yang sedang ketakutan. Wajah anak itu pucat. Seperti telah melihat hantu di siang bolong.
Di penginapan mereka segera beristirahat, membersihkan  badan dan mempersiapkan apa-apa yang harus dibawa besok pagi untuk menjadi relawan di sebuah rumah sakit dekat penginapan. Suasana di penginapan juga tidak kalah tegang. Kebanyakan yang tinggal di penginapan ini adalah mereka yang rumahnya sudah rata dengan tanah. Pak Umar terlihat asyik berbincang-bincang dengan beberapa orang Pakistan. Kami tahu akhirnya apa yang mereka bicarakan setelah pak Umar menceritakan terjemahannya kepada kami.
“Setiap pagi mereka tidak henti-hentinya bersyukur atas nyawa yang masih Allah berikan kepada mereka. Setiap malam, doa-doa meminta keselamatan nyawa dan meninggal dengan syahid memancar ke langit tanpa putus. Setiap terdengar suara dentuman bom, rudal, peluru dan semacamnya, kalimat tasbih tak henti-hentinya menggema diseluruh penjuru Gaza. Dan lebih menyentuh adalah, mereka tak pernah meninggalkan shalat walaupun semua kecemasan akan kehancuran tempat tinggal mereka selalu ada.
Bapak paruh baya tadi yang berbicara pada Bapak mengatakan, anaknya meninggal satu minggu yang lalu karena kejatuhan reruntuhan saat sekolahnya terkena bom. Bapak tadi tidak sempat menyelamatkan nyawa anaknya. Setelah ditemukan, sudah tidak terasa lagi nadinya. Ironis sekali. Aku harap semua kekejian ini segera berakhir,” cerita pak Umar panjang lebar.
Tim Oik mendengarkan baik-baik cerita dari pak Umar. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Mengutuki Israel yang tak sedikit pun memiliki rasa belas kasih yang sejatinya dimiliki oleh semua manusia di bumi ini. Pergi tidur adalah pilihan yang tepat untuk mengistirahatkan pikiran dan energi untuk misi kemanusiaan esok hari.
***
Makan sahur kali ini sangat berbeda bagi Oik, Rahmi dan kawan-kawan. Pengalaman yang tak terlupakan, bisa sahur bersama-sama saudara sesama muslim di negeri orang. Bahkan Obiet pun ikut makan.
“Aku nggak mau melewatkan momen-momen spesial hanya karena tidur nyenyak,” itu pembelaan Obiet saat ditanya Rahmi.
Ramai sekali restoran di lantai bawah penginapan ini. Banyak juga wajah-wajah cemas yang memaksakan diri untuk memasukkan makanan yang ada di depan mereka ke dalam mulut masing-masing. Memang rasanya tidak mengenakkan makan di saat-saat genting dan penuh kesedihan seperti ini. Tapi ya bagaimana lagi, nabi kita menyerukan perintah untuk sahur. Supaya ada energi yang dihasilkan keesokan harinya.
Pagi disambut rombongan ini dengan shalat dhuha. Semoga dua rakaat ini berkah untuk kegiatan mereka hari pertama bertugas. Mereka ditugaskan untuk membantu IGD rumah sakit As-Syifa. Pukul tujuh mereka berngakat sambil membawa ransel yang berisi perban, obat merah, dan kawan-kawan. Jalanan masih sepi. Dari saat sahur tadi belum ada bom, ataupun peluru yang masuk ke daerah ini.
Namun, di IGD RS masih banyak korban-korabn berbaring memenuhi tempat tidur. Mereka rata-rata cidera tangan, kaki dan kepala akibat kejatuhan reruntuhan bangunan. Di sebelah kanan seorang suster memperbaiki kerudung seorang anak kecil yang duduk lemas di tempat tidur. Oik tertarik mendekat. Ia memperkenalkan diri dengan bahasa Inggris. kemampuan berbahasa Inggrisnya patut diacungi jempol. Sang suster menterjemahkan kata-kata Oik kepada anak kecil itu, belakangan diketahui bernama Khumairah.
“Dia kehilangan tangan kanannya dua hari yang lalu, ia masih syok. Ayahnya pergi menjaga Hammas,” jelas Suster.
“Bagaimana dengan Ibunya?” tanya Oik.
“Suster menggeleng sedih. “Ibunya meninggal empat tahun yang lalu, saat Khumairah berumur dua tahun.”
Oik memeluk Khumairah. Ia berharap bisa menyerap sebagian kesedihan Khumairah melalui pelukannya. Khumairah tersenyum dalam pelukan Oik. Walaupun Oik tidak mengenal Khumairah, kasih sayang sesama saudara didapatkan Khumairah dari Oik, sahabat dari Indonesia.
Tak berapa lama mereka datang, pekerjaan bertubi-tubi segera mengisi tangan gesit mereka. Dengan berbekal pengetahuan, training, pengalaman yang mereka peroleh dari PMR sekolah, mereka santai saja mengobati luka, membalut luka, membantu memasang infus, dan macam-macam teknik membidai. Para suster tak segan-segan memberikan banyak pengetahuan tentang kegawatdaruratan kepada tim mereka. Beruntunglah kebanyakan suster di rumah sakit ini bisa berbahasa Inggris. Jadi mudah bagi Obiet dan kawan-kawan untuk mengerti apa komando yang ucapkan oleh suster.
Sampai siang hari, pasien yang datang lumayan berkurang daripada hari kemaren, curhat seorang suster kepada Obiet.
“Hari ini belum terdengar suara bom sama sekali. Alhamdulillah,” kata suster itu.
Memang sejak pagi tadi belum ada tanda-tanda waspada dari petugas yang berjaga di depan rumah sakit. Entahlah apa yang akan terjadi berikutnya,  hanya Allah dan niat-niat jahat para Yahudi itu yang tahu.
Obiet mengajak anggota timnya untuk berjalan mengelilingi rumah sakit. Ia ingin melihat seberapa pedulinya petugas kesehatan Palestina terhadap kesehatan warganya. Selepas shalat dhuhur, mereka mulai berkeliling. Dari satu bangsal ke bangsal yang lain. Setiap lorong terdapat wastafel dan handsanitizer, berikut perlengkapan sterilisasi lainnya. Lantai-lantai juga sangat bersih. Rumah sakit ini sangat menjaga kebersihannya. Beberapa OB sering terlihat oleh mereka sedang membersihkan lantai, kaca, halaman, sampah, dan beberapa puing-puing bangunan yang terjatuh karena bom dua hari yang lalu.
Tour rumah sakit berlantai tiga ini berakhir di lobi bawah.
“Suasananya enak ya di sini. Lihatlah tadi setiap sudut rumah sakit dihiasi oleh ayat-ayat suci Allah,” puji Rahmi.
“Iya benar, damai rasanya,” ucap Debo, salah satu anggota tim.
Tidak lama kedamaian yang mereka rasakan. Tiba-tiba datang kembali suara-suara menyeramkan itu. Suara yang membuat pilu semua rakyat Palestina. Suara kutukan yang membuat nyawa melayang dengan mudahnya. Bom-bom itu kini datang lagi. Tidak hanya sekali, dua kali sudah terdengar. Yang ketiga sangat dekat dengan rumah sakit ini.
Paramedis sontak keluar melihat keadaan di luar. Mereka segera bersiap-siap. Sebentar lagi manusia-manusia yang bercucuran darah perjuangan akan datang meminta bantuan. Tim sar dari berbagai negara yang lokasinya tak jauh dari rumah sakit ini segera berlari berhamburan menenteng tas ransel berisi perlengkapan P3K.
DUAARRRR...
Asap mengepul dari kejauhan. Entah sudah jadi apa daerah yang tertutupi asap tersebut.
DUAARRRR…
Suara ledakan itu terdengar pilu. Samar-samar terdengar suara takbir berkumandang di langit Gaza, membuat merinding bulu kuduk Oik.
“Kalian tetap di sini jangan berpikiran untuk ikut tim yang lain ke sana! mengerti!” Sebelum tim Oik tersadar dari pemandangan hebat di depan mereka, pak Umar sudah memperingatkan untuk tetap tinggal di rumah sakit.
Mereka mengangguk.
“Sebaiknya kita masuk membantu suster mempersiapkan alat-alat Ik,” ucap Rahmi. “Kalian, Obiet, Debo, Lintar, tetap di sini. Siapa tahu ada pasien datang yang membutuhkan pertolongan langsung. Jangan lupa siapkan kursi roda dan alat bantu lainnya.”
“Baik,” ucap mereka serentak.
Oik menemukan suster yang sedang kesusahan memotong kassa. Ia segera membantunya. Rahmi memilih untuk membantu menempatkan pasien-pasien yang sudah tertangani menuju bangsal-bangsal yang ada.
Setengah jam kemudian, mulai berdatangan pasien-pasien yang membutuhkan pertolongan. Pasien yang dibawa Obiet pertama kali tidak begitu parah. Luka pecahan kaca di lengan kanan pasien itu tidak terlalu dalam, setelah diperiksa oleh suster.
Oik membantu menyiapkan benang jahit dan perlangkapan balut lainnya. Pasien tersebut tak henti-hentinya beristighfar sembari menjawab pertanyaan suster lain tentang identitasnya.
Pasien kedua, ketiga datang dengan keadaan yang tak jauh berbeda. Pasien ketiga yang dibawa Debo adalah seorang ibu hamil yang terluka dibagian kaki. Sepertinya punggung kakinya kejatuhan puing-puing bangunan. Beliau merintih kesakitan sambil memegangi perutnya. Sepertinya ibu itu lebih khawatir mengenai keadaan bayinya daripada punggung kakimya yang mengeluarkan banyak darah. Ibu itu segera ditangani oleh dokter.
Bertubi-tubi pasien yang datang sore ini. Suara reruntuhan bangunan masih terdengar samar-samar dari dalam IGD. Jeritan, rintihan kesakitan menggema di seluruh ruangan. Paramedis di sini sudah tidak bisa merasakan perutnya yang kosong karena puasa seharian. Luka yang ada di depan mereka –yang mereka tangani—lebih menyayat hati. Pikiran mereka dituntut untuk memberikan penanganan yang terbaik untuk pasien-pasien ini. Bergatian mereka menunaikan ibadah shalat. Menuntun pasien yang tidak bisa shalat secara sempurna. Doa-doa perdamaian dan ketenangan menjadi doa utama mereka setelah doa kepada orang tua masing-masing tentunya.
Sampai adzan maghrib berkumandang, kegiatan di dalam IGD belum sepenuhnya selesai. Jumlah pasien yang datang sedari tadi berjumlah puluhan. Segera OB mengantarkan minuman dan buah kurma untuk mereka membatalkan puasa.
### 
Setelah seharian membantu di IGD, tim PMR dan teman-teman pak Umar beristirahat sambil berbincang di lobi dekat kamar mereka. Obiet menggebu-gebu menceritakan pasien-pasien yang ia tangani tadi sore.
“Ah, saya tak sampai hati melihat ekspresi kesakitan diwajahnya…” cerita Obiet. “Eh, Oik kemana?” tanyanya setelah kedua bola matanya berkeliling memandang semua anggota.
“Katanya tadi mau menemui Khumairah,” jawab Rahmi.
“Oo…”
Memang, Oik sekarang sedang berada di kamar Khumairah. Ia mencoba mengajak Khumairah berbicara dengan bahasa Inggris. Khumairah belajar dengan baik bersama Oik. Oik menggambarkan sesuatu, lalu menuliskan nama benda/kegiatan itu dengan bahasa Inggris. kemudian Khumairah menuliskan terjemahan bahasa Palestina dibawah teks bahasa Inggris tulisan Oik. Mereka berdua terlihat akrab.
Hari-hari berikutnya tidak kalah sibuk. Tentara Israel masih betah menyerang. Menembakkan rudal, bom, untuk menghancurkan Palestina. Untuk menaklukkan negara penjaga masjidil Aqsa ini.
Hari ini tim PMR diijinkan untuk pergi ke TKP yang kemarin terkena serangan. Mereka bertugas untuk membantu mencari korban-korban yang siapa tahu masih berada di bawah puing-puing bangunan. Gedung-gedung sudah tidak berupa gedung. Banyak sekali rumah yang kehilangan penghuninya. Palestina menangis. Warga sibuk berlalu-lalang mencari keluarga mereka. Berharap tidak ada satupun yang menginggalkannya. Setiap hari pemakaman juga tidak pernah sepi. Satu persatu pejuang kita dipanggil oleh Allah Swt. Allah terlalu menyayangi mereka hingga dipanggil lebih awal.
Puing-puing bangunan memenuhi sebagian jalanan. Transportasi lumpuh. Beberapa orang sibuk memindahkan puing-puing bangunan ke bahu jalan. Ramai sekali. Walaupun kejadian seperti ini tidak bisa dihindari, mereka masih semangat dan tidak larut dalam kesedihan. Dua korban telah berhasil diselamatkan. Satu dari mereka masih diberi kesempaan untuk menghirup udara kehidupan.
Rahmi dan Debo membantu mengantarkan korban menuju rumah sakit. Obiet sibuk membantu mengangkat puing-puing bangunan. Oik berjalan-jalan disekitar reruntuhan. Matanya menemukan sebuah binkai foto berikut fotonya. Ia mengambil bingkai yang sudah retak itu. Terlihat foto sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan lima orang anak. Senyum mereka sangat natural. Terbayang betapa bahagianya mereka saat berfoto bersama. Dan sekarang bagaimana keadaan mereka? Apakah baik-baik saja? Kapan senyum seperti ini akan kembali menghiasi rumah besar ini? Semua pertanyaan-pertanyaan itu mengganggu Oik. Ia tak tahu ada bagian puing-puing yang akan jatuh menimpanya.
Obiet yang tak sengaja melihat langsung berteriak…
“OIKKK!!!! AWAAAS!!! PERGI DARI SANA!!!”
Obiet yang berjarak sepuluh meter dari Oik mencoba berteriak.
Tak usah menunggu lama Oik berbalik dan segera menghindar dari reruntuhan. Ia tersandung kemudian terjatuh. Tetapi untunglah ia berhasil lolos dari reruntuhan itu. Oik terjatuh duduk. Nafasnya tersengal.
“OIIKK!” Obiet berlari menuju tempat Oik berada.
Oik menoleh ke Obiet dan tersenyum, mengisyaratkan bahwa ia tak apa-apa.
Namun, Allah berkehendak lain. Dari kejauhan terlihat sebuah rudal yang sepertinya mendekati tempat mereka berada. Seorang warga yang tahu akan hal itu segera menari Obiet yang sudah beberapa langkah berlari.
Obiet mencoba melepaskan pelukan orang itu. Percuma pelukannya terlalu kuat.
“OIIKK… LARI… PERGI DARI SANA LARI!!!” Teriak Obiet yang masih mencoba melepaskan diri.
Oik berdiri. Ia masih menyempatkan mengambil bingkai foto yang tadi.
DUARR…
Terlambat. Rudal itu telah jatuh tak jauh dari tempat Oik berdiri. Kembali jatuh reruntuhan-reruntuhan bangunan. Teriakan-teriakan, takbir bersama-sama asap mengepul, menyatu, menuju ke langit.
Obiet diselamatkan oleh warga Pakistan tadi. Beliau memeluk Obiet yang masih sibuk meronta-ronta.
Asap bercampur debu-debu masih berkeliling di sekitar sana. Mata belum bisa melihat secara penuh. Obiet berhasil melepaskan pegangan. Ia mencoba berdiri sambil memicingkan mata.
“OIKK!! OIKK!! OIKK!!” Kau baik-baik sajakan? Jawab aku1 Aku mohon! Jawab aku!”
Obiet kalap. Ia mencari-cari Oik ke kanan, ke kiri, ke depan, balik lagi ke belakang.
“Obiet!” seseorang memanggil.
“Lintar… Lintar…Lintar… Oik, dimana Oik?” Obiet berlari mendekat ke Lintar yang berjalan sedikit pincang. Kaki kanan Lintar mengeluarkan darah.
“Obiet, pipimu! Lihat! Berdarah.”
“Oik, Ntar, Oik…” Obiet masih belum sadar.
“Iya, aku tahu, tapi lihatlah pipimu berdarah. Apa tak sakit?”
Obiet memegang pipi kirinya. Iya ada darah disana. Persaan khawatir menghilangkan semua rasa sakit yang ia dapat. Oik sudah menjadi teman baiknya selama ini. Kepada siapa lagi ia akan menceritakan semua keingan-keinginan konyolnya.
“Ini pake sapu tanganku,” Lintar memberikan Obiet sapu tangan.  Obiet mengelap darah dipipinya. Suara reruntuhan sudah tidak ada. Asap sudah tidak mengganggu penglihatan. Obiet dan Lintar segera mencari Oik kembali.
“Oiik…. Oikk…” teriakan mereka terus menggema di sekitar TKP. Obiet tak mempedulikan korban-korban lain yang ia jumpai saat mencari Oik. Ia hanya fokus mencari Oik, sahabat tercintanya. Mereka terus mencari ke bagian bangunan tempat Oik jatuh tadi.
“Biet… Lihat!” Lintar menunjuk sebuah pohon yang jatuh. Terlihat sesorang terbaring.
Lintar dan Obiet segera berlari menuju pohon itu.
Oik di sana terbaring lemas.
“OIIK!!!” Obiet dan Lintar segera menggeser ranting pohon yang mengantam kaki Oik.
“Oik… Oik… kau tak apa-apa?” tanya Obiet sembari memeluk kepala Oik. Lintar berlari mencari bantuan.
Oik masih sadar. Ia mengangguk pelan. Namun darah yang mengucur dari kakinya tidak mau berhenti.
“Biet…” kata Oik lirih.
“Jangan bicara, diam dan tunggu di sini. Kau akan baik-baik saja. Kita akan pulang besok. Sesuai jadwal!”
“Biet… Kakiku sakit..”
“Iya aku tahu, iya, sudah diam saja jangan bicara!” Obiet tak kuasa menahan air matanya.
Oik tersenyum. “Selamat ulang tahun…” ia menatap mata Obiet.
Obiet tercengang. Ia melihat jam tangan hadiah dari Oik satu tahun yang lalu. Iya benar, ini tanggal 16, hari dimana Obiet lahir di dunia ini.
“Bahkan disaat seperti ini kamu masih ingat hari kelahiranku Ik.”
“Pasti lah, aku kan satu-satunya sahabat kamu.”
Obiet membelai rambut Oik dan tersenyum.
“Biet, aku boleh pergi kan?”
Obiet tercengang. “Apa maksudmu?”
“Ijinkan aku pergi ya. Maaf, kau harus berjuang dijalan ini sendiri sekarang.”
“Tidak, aku tidak mau. Kita sudah berjanji untuk pulang dalam keadaan baik-baik saja. Kita sudah berjanji. Paramedis yang baik harus menepati janji. Ingat itu Ik!”
Oik kembali tersenyum. “Lailahailallah.. muhammadarasulullah…”
Oik menutup matanya.
Air mata Obiet jatuh bertubi-tubi ke wajah Oik.
“Selamat jalan sahabat. Kau selalu jadi yang pertama untukku. Perjalanan ini tak akan aku lupakan begitu saja. Terima kasih atas ucapan ulang tahunnya.”
Lintar kembali membawa bantuan, Rahmi dan Debo juga turut serta.
“Biet…” sapa Rahmi.
Obiet menggeleng dan masih menitikan air mata. Rahmi jatuh terduduk di tanah. Mereka berduka. Anggota tim mereka telah mendahului pergi ke rumah Allah Swt. Oik kehabisan darah, anemia yang ia derita menjadi faktor penyebab utama. Darah yang keluar dari kakinya terlamapau banyak.
*** 
Mama dan Papa Oik sangat terpukul atas meninggalnya Oik. Anak yang selama ini jarang diberikan kasih sayang telah meninggalkan mereka. Percuma, penyesalan selalu datang di akhir. Mereka tak bisa mengulang waktu kembali. Semua sudah terjadi.
PMR berduka, SMA mereka hari ini mengadakan doa bersama untuk teman mereka yang telah berjuang demi kemanusiaan. Obiet masih menitikan air mata. Ketika foto Oik di pajang di mading. Senyum ceria Oik itu kini telah hilang. Menyisakan memori yang terlalu manis untuk dilupakan.
“Biet, aku menemukan ini di tas Oik,” kata Rahmi.
Obiet membuka kotak berwarna merah yang diberikan Rahmi. Terdapat sebuah kalung bermendel lambang kedokteran. Indah sekali. Ular yang melilit pada tongkat itu terlihat gagah. Obiet mengambil kartu yang ada di dalamnya.
Selamat ulang tahun suara emas. Makasih ya udah jadi temen baikku selama ini. Aku berikan kalung itu supaya perjuangan kita tidak berakhir setelah lulus sekolah. Aku udah bilang ke Papa, Papa mau banget bayarin kamu sekolah kedokteran. Nanti aku harap kita bisa satu kampus. Aku nggak tahu kalo nggak ada kamu hidupku bakal seru atau nggak. Yang jelas beberapa tahun lagi kita harus bisa jadi dokter yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Menghantarkan jasa selama-lamanya.
Obiet menghapus air matanya.
“Makasih banyak Ik. Aku akan menjaga amanah ini dengan baik.”
-TAMAT-



http://cdn.theatlanticwire.com/img/upload/2012/11/15/AP232392041816/
sumber: ainiamalia.blogspot.com