Dia datang.
Benar dia sudah datang. Tak biasanya dia datang jam segini. Biasanya sepuluh
menit lebih lama dari pada ini. Ah untunglah aku sudah ada di sini sejak tadi.
Jadi aku bisa bebas memperhatikannya. Dari jauh. Hanya ini yang bisa aku
lakukan. Ya mau ngapain lagi, toh dia juga tidak mengenalku. Siapa aku. Aku
hanya laki-laki biasa yang tidak ada apa-apanya dibandingkan sang putri.
Ia telah
memasuki sanggar. Sudah beberapa minggu ini aku mengetahui bahwa dia setiap
hari Rabu dan Jumat mengikuti unit kegiatan mahasiswa tari di kampus. Aku bisa
tahu karena ada temanku -lumayan dekat dengannya- yang juga ikut UKM tari. Dia
dengan senang hati memberiku kabar ini, jadi aku bisa melihatnya sebentar
sebelum masuk ke kantor majalah kampus yang aku ikuti. Kebetulan di hari yang
sama ada jadwal ngantor untuk mengumpulkan artikel ataupun rapat rutin di
kantor.
Aku keluar
dari persembunyian, menutup buku –biasa aku gunakan untuk pengalihan perhatian
jika diketahui orang-. Kemudian berjalan menuju kantor yang berjarak satu
koridor dari UKM tari. Dengan semangat pastinya. Sudah mendapat suplemen.
“Obiet!” panggil seseorang sesampainya di pintu
kantor.
“Hey Syad,”
sapaku.
“Aku nungguin
kamu, nggak datang-datang. Ini anak-anak sudah pada ngumpulin artikelnya ke
aku. Tinggal tugasmu sebagai editor untuk bekerja. Ohya jangan lupa cerbungnya
jangan panjang-panjang. Kemaren pimrednya marah, gara-gara kelebihan satu halaman.
Kamu ini kalau bikin cerbung mbok ya jangan panjang-panjang,” jelas Irsyad
panjang lebar.
“Hehe... maaf
tadi ada urusan sebentar. Ohya? Kayaknya sudah cukup 700 kata deh. Kenapa bisa
kelebihan?”
“Mana kutahu.
Itu majalahnya masih di ruang komputer. belum didistribusikan. Kata si Agni
besok aja dibagiin ke anak-anak.”
Aku
mengangguk-angguk. “Oke.”
“Ohya, ini
yang belum ngumpulin Bagas, Difa sama Rafli. Sms mereka. Biar majalah terbitnya
nggak mundur kayak kemarin.”
“Siap bos!”
Setelah Irsyad
pamit, aku segera ke ruang komputer dan mengambil satu majalah. Kucari
cerbungku di sana. Wah, aku salah memasukkan cerbung rupanya. Memang yang ku
buat bener 700 kata tapi malah yang aku kumpulkan yang belum aku edit, mana
isinya kurang memuaskan. Tapi ya gimana sudah terlanjur cetak. Ya sudah lanjut
aja episode 5nya.
![]() |
source: google |
Sudah cukup
700 kata yang mewakili sebagian dari perasaanku. Entah sang putri membaca kolom
cerbung yang aku buat ini atau tidak. Aku tidak punya cukup mata-mata untuk
ini. Biarlah. Toh aku tidak mengharapkannya secara berlabihan. Ada yang pernah
bilang, jangan terlalu mencintai sesuatu. Kelak kamu tidak akan pernah tahu apa
yang terjadi dengan perasaan itu. Biarlah rasa itu mengalir apa adanya seiring
berjalannya waktu. Entah dia akan memudar atau akan tetap bertahan. Tunggu
sampai saat yang tepat untuk memetiknya.
Kemudian aku
tenggelam dalam lautan tulisan teman-teman yang harus segera kuedit.
***
Kemarin aku
baru saja diterima di sebuah mini market. Part time ini aku ambil karena aku
ingin membeli gadget baru yang beberapa bulan ini nangkring di etalase toko
sebelah kost. Seakan-akan dia berteriak memanggil-manggilku mesra. Ah, jaman
sekarang semua serba canggih memang. Apa salahnya juga menambah pengalaman
kerja part time, siapa tahu nanti lebihnya bisa ditabung untuk keperluan yang
lain. Lagi pula aku sudah berjanji pada Ayah kalau pekerjaanku ini tak akan
mengganggu kuliah. Kebetulan ada kekosongan pegawai untuk enam bulan ke depan.
Hari ini ada
training dulu dari senior-senior Mickey market –nama mini market tempat aku
bekerja-. Aku mengerti dengan cepat apa-apa saja yang harus aku lakukan. Jam
kerjaku jam 3 sore sampai jam 9 malam setiap hari Senin sampai Rabu. Semoga kali ini berkah.
Hari hari berikutnya terasa mudah dan sudah biasa. Hari ini banyak sekali pembeli. Ah iya benar, ini awal bulan. Ya pastilah rame, orang-orang pada belanja bulanan. Satu persatu pelanggan mengantri membayar. Mataku semakin ijo ngeliat duit banyak di depan mataku. Kemudian jari-jari lentik itu menyodorkan keranjang belanjaan. Siapa gerangan pemilik jemari cantik ini? Terdengar jelas lagu di sound sistem mini market sedang memutar ost Laskar Pelangi yang jari-jari cantik. Kenapa bisa pas begini.
Profesional bro profesional, aku meneriaki mataku.
"Ada kartu pelang...gannya.." suaraku tersendat di tenggerokan. Lihat siapa yang ada di depanku.
Ia memberikanku sebuah kartu pelanggan Mickey Market sembari tersenyum. Gila, apakah ini takdir? A fate? Neila, sang putri cantik, tidak kurang 1 meter ada di depanku. Aduh, ini jantung mana bersisik banget pula. Dag dig dug nya sampai ke telinga.
Profsional Biet, profesional. Aku kemudian menutup mulut sesegera mungkin, karena tadi hampis menganga beberapa detik. Kemudian menghitung semua belanjaan putri cantikku ini.
"Tiga puluh enam ribu tiga ratus rupiah mbak," oke aku berhasil menyembunyikan kegugupanku.
Ia mengambil uang di dompet. Lama, lumayan lah, bisa sedikit curi curi pandang. Kemudian ia menyodorkan uang, pas sebesar apa yang aku bilang tadi. Aku menerimanya dengan senang hati.
"Ini mbak, belanjaannya, terima kasih sudah belanja," kataku kemudian sok manis.
"Mas.."
Dia ngomong sama aku, iya dia manggil aku. "Iya mbak," jawabku sambil tersenyum seganteng mungkin.
"Kartu pelanggannya bisa saya ambil?" tanyanya dengan polos.
Deg. Pyaarrr..... Ah, iya lupa, aduh padahal udah berusaha nggak grogo lho.
"Eh iya, ini," aku memberikan kartu pelanggannya.
"Mas baru ya di sini?"
"Eh, iya mbak. Maaf kalau tadi kelupaan, maklum pegawai baru." aku nge-les.
"Bukan masalah itu sih sebenernya, itu cara masang co-card nya salah." Ia mengambil belanjaan dan segera pergi sambil tersenyum.
Eh, aku reflek melihat co-card, emang sih aku nggak nanya cara masang co-card nya gimana. Aduh, bodoh. Eh, tapi dia segitu perhatiannya, sampe tau aku salah pasang co-card. Atau mungkin emang kesalahanku memasang co-card fatal sehingga bisa mudah diketahui. hhhh...
#bersambung
#bersambung