"Lagi kenapa sih?"
Aku mendengarnya bertanya, tapi aku masih sibuk menatap bulir bulir hujan di jendela. Banyak orang yang bilang, hujan bisa membawa kesedihan, kerinduan, dan mengingatkanmu atas masa lalu.
Maka untuk itu, jangan pernah jatuh cinta dan patah hat saat hujan, jikalau semua berakhit buruk, kau akan terus teringat saat ada hujan. Padahal hampir separuh tahun adalah musim pemnghujan. Kau mau mengenang hal itu setengah tahun penuh? Huh...
"Cerita dong, jangan bikin aku tambah sedih ngeliat kamu kek gini Ge," bujuk Lili.
Memang, aku yang menyuruhnya datang kemari, tapi aku masih menikmati rintik hujan yang turun, bergulir pelan di kaca jendela.
"Kau tahu, bagaimana rasanya saat kau rindu tapi tidak bisa mengatakannya? Tercekat di tenggorokan. Semacam nanah yang akan ke luar dari bisul. Mau pecah tapi terhalang lapisan kulit."
"Kau terlalu puitis Gea, lebih lebih saat kau jatuh cinta seperti ini, bikin aku mau muntah," katanya mencibir.
"Ah, kau hanya tidak mengerti."
"Aku tahu rasanya. Kalau rindu, tinggal bilang. Beres kan?"
"Tidak sesederhana itu, agamaku membatasinya, agama kita."
"Well yah, itu pilihan."
"Terlebih lagi, kau tidak tahu, orang yang kau rindukan itu, apakah juga sedang merindukanmu? Orang yang kau rindukan tiap detik, apakah juga memiliki perasaan yang sama," mataku berasa panas dan berair.
"Gea? Kau menangis?" Tatapan Lili semakin serius. "Hei, katakan saja padanya, kalau kau menyukainya. Tidak ada yang melaranh, bahkan Khadijah pun mengatakan duluan kepada Nabi Muhammad."
"Tapi Li, banyak hal yang harus difikirkan. Jika aku mengungkapkannya, aku harus bisa mempertanggungjawabkannya Li, dan aku belum siap. Ah, aku hanya letih, menyimpan perasaan ini, tapi aku harus menyimpannya demi diriku sendiri. Setiap detik membunuh semua rasa rindu itu, menghapus wajahnya dari ingatanku."
Lili memelukku. Aku tidak bisa membiarkan air mata ini terlalu lama menggenang.
"Jadi, apa yang ingin aku lakukan untukmu?"
"Tidak ada, aku sudah khatam quotes quotes tentang cinta, sudah kuhafal semua, buku buku tentang cinta sudah aku baca semua, ya mungkin belum semua, tapi aku sudah paham semua isi buku buku itu. Kau tahu, ini yang namanya teori tidak sesuai dengan praktiknya. Aku hanya ingin kau, di sini, sebagai sahabat, mendengarkanku, menghapus air mataku, dan membuatku tersenyum lagi."
"Pasti, as always, insya Allah."
"Biarkan rindu ini disampaikan oleh bulan di atas sana. Malam ini biarlah aku tidur berselimutkan rindu. Aku ingin menikmati prosesnya. Apakah menunggunya akan sesulit ini, aku rela. Aku akan belajar ikhlas, jika ia tidak memperjuangkanku. Biarkan waktu yang akan menjawab, mungkin esok, lusa, lima tahun lagi? Entahlah, aku akan berusaha tetap tegar seperti Gea biasanya. Berjalan ke depan meski terseok seok, asalkan ada kamu yang membantuku berjalan," aku menghapus air mataku.
"Geaaa... Aku harus berterima kasih kepada Allah yang telah memberikan wanita hebat yang ada di depanku ini sebagai sahabat."
Malam itu, aku biarkan bulan yang menyimoan semua rinduku. Entah akan disampaikan padanya atau tidak, aku pasrah saja. Terima kasih Bang, sudah mengajarkanku menununggumu dengan sabar. Aku akan menunggumu untuk datang ke rumah membawa rombongan keluarga. Itu doaku.
Fiksi
Zya 21.25 - 19/12/16
Sebuah penerangan yang akan selalu datang kepada orang yang tepat, saat yang tepat,dan benar benar membutuhkan. Ini bukan sekedar kebetulan anda masuk ke dalam dunia yang saya buat. Selamat berimajinasi.
Senin, 19 Desember 2016
Kamis, 15 Desember 2016
Merindu
Untuk kesekian detik
Aku masih mengingatmu
Sebenarnya aku tidak tahu
Apa kelebihanmu
Tapi kau tahu
Kau selalu terselip dalam ruang rinduku
Bagaimana ini bisa disebut sengaja?
Aku tidak bisa menahannya
Kau muncul begitu saja
Tidak pernah sekalipun aku mengundangmu datang
Apa yang harus aku lakukan
Kau masih suka basa basi sepertinya
Aku hanya wanita biasa
Yang ingin mendapatkan jawaban
Sesegera mungkin
Yah, entah itu akan menyakitkan
Atau menyembuhkan
Aku ingin kau segera memutuskan
Entah
Mungkin keadaan yang membuat aku semakin gelisah
Memikirkanmu, itu menyakitkan
Dimana saat merindu, namun tak bisa bertemu
Karna iman kita membatasinya
Aku tahu itu, sangat tahu
Maka untuk itu
Aku ingin membunuh tiap detik dimana aku merindu
Rindu akan dirimu
Menikam rindu hingga ia menghilang
Berusaha memenangkan pertarungan ini
Tunggu, tapi apa aku yang sedang berjuang sendirian?
Batinku tidak setuju,
Yang kau lakukan selama ini berbeda
Kau tahu, teman biasa tidak seperti itu
Aku rasa
Eh, atau spekulasiku saja?
Intuisi yang tak pasti?
Diagnosa yg keliru?
Aku ingin segera mendapatkan jawabannya
Segera
Atau mungkin saja Allah sedang mengujiku sekali lagi
Mengenai mu, aku akan terus berusaha memperbaiki diri
Untukmu, yah kalau tidak
Untuk siapa lah nanti
Dia yang akan berlabuh di hati yang telah lama berlumut ini
Zya
22.42 // 121216
Aku masih mengingatmu
Sebenarnya aku tidak tahu
Apa kelebihanmu
Tapi kau tahu
Kau selalu terselip dalam ruang rinduku
Bagaimana ini bisa disebut sengaja?
Aku tidak bisa menahannya
Kau muncul begitu saja
Tidak pernah sekalipun aku mengundangmu datang
Apa yang harus aku lakukan
Kau masih suka basa basi sepertinya
Aku hanya wanita biasa
Yang ingin mendapatkan jawaban
Sesegera mungkin
Yah, entah itu akan menyakitkan
Atau menyembuhkan
Aku ingin kau segera memutuskan
Entah
Mungkin keadaan yang membuat aku semakin gelisah
Memikirkanmu, itu menyakitkan
Dimana saat merindu, namun tak bisa bertemu
Karna iman kita membatasinya
Aku tahu itu, sangat tahu
Maka untuk itu
Aku ingin membunuh tiap detik dimana aku merindu
Rindu akan dirimu
Menikam rindu hingga ia menghilang
Berusaha memenangkan pertarungan ini
Tunggu, tapi apa aku yang sedang berjuang sendirian?
Batinku tidak setuju,
Yang kau lakukan selama ini berbeda
Kau tahu, teman biasa tidak seperti itu
Aku rasa
Eh, atau spekulasiku saja?
Intuisi yang tak pasti?
Diagnosa yg keliru?
Aku ingin segera mendapatkan jawabannya
Segera
Atau mungkin saja Allah sedang mengujiku sekali lagi
Mengenai mu, aku akan terus berusaha memperbaiki diri
Untukmu, yah kalau tidak
Untuk siapa lah nanti
Dia yang akan berlabuh di hati yang telah lama berlumut ini
Zya
22.42 // 121216
Minggu, 20 November 2016
Satu persatu Menikah #episodeAnggidanMasPram
Ah, akhirnya kamu menikah Nggi. Happy wedding, semoga selalu bahagia, langgeng, dan cepet dapet momongan. Hihihi.. 😊😊😊
Dari kita berlima, kamu Olyvia Heranggi Kristi si cewek cerewet, tengil, gaul, suka sama matematika ini nyoling start. Kami sih dulu ga ada perjanjian apapun siapa yang bakal nikah duluan. Ngga nyangka aja kamu duluan. Hihi... Memang kalau jodoh ga bakal kemana. Dulu kamu yg suka cerita cerita tentang cowok begitu hebohnya, masih ingat dulu kamu nangis di kamar mandi hanya karena mamah kamu lebih menyayangi mas Angga (menurut versi kamu), rasanya itu baru sebentar saja. Dan sekarang kamu sudah harus hidup bersama orang lain.
Biarlah nanti selanjutnya biar waktu yang akan menjawab. Siapa rangking kedua selanjutnya. Karna jodoh itu misteri. Misteri yang sebenernya ingin segera aku pecahkan. Gimana ya, semakin banyak teman teman yang menikah, semakin gundah gulana hati ini. Huft, , , Apalagi yang menikah teman dekat.
Melihat Anggi dan mas Pram di pelaminan aku jadi berfikir macam macam. Ah, prasangka, segala macam prasangka itu tidak baik. Salah salah bisa bikin kita terjerumus prasangka itu dan sakit hati sendiri. Semoga saja kalau si dia entah siapa itu adalah lelaki yang berani, memperjuangkan, dan bertanggung jawab atas perasaannya. Menjaga hatinya untukku nanti, eh sebenarnya ga boleh egois. Kita titipkan sajalah hati ini kepada Sang Pemilik Hati yang sesungguhnya ya Mas. Sabar, jangan datang sekarang tak apa, aku sedang membersihkan hati untukmu. Jadi kelak kalau kau datang semoga hatiku sudah bersih. Aku tunggu ya Mas, di rumah. Mas entah siapa namamu dan bagaimana rupamu 😂 Hari ini diampuni bapernya ya ya Allah?
Minggu malam,
Zya
19.21 // 20-11/16
Dari kita berlima, kamu Olyvia Heranggi Kristi si cewek cerewet, tengil, gaul, suka sama matematika ini nyoling start. Kami sih dulu ga ada perjanjian apapun siapa yang bakal nikah duluan. Ngga nyangka aja kamu duluan. Hihi... Memang kalau jodoh ga bakal kemana. Dulu kamu yg suka cerita cerita tentang cowok begitu hebohnya, masih ingat dulu kamu nangis di kamar mandi hanya karena mamah kamu lebih menyayangi mas Angga (menurut versi kamu), rasanya itu baru sebentar saja. Dan sekarang kamu sudah harus hidup bersama orang lain.
Biarlah nanti selanjutnya biar waktu yang akan menjawab. Siapa rangking kedua selanjutnya. Karna jodoh itu misteri. Misteri yang sebenernya ingin segera aku pecahkan. Gimana ya, semakin banyak teman teman yang menikah, semakin gundah gulana hati ini. Huft, , , Apalagi yang menikah teman dekat.
Melihat Anggi dan mas Pram di pelaminan aku jadi berfikir macam macam. Ah, prasangka, segala macam prasangka itu tidak baik. Salah salah bisa bikin kita terjerumus prasangka itu dan sakit hati sendiri. Semoga saja kalau si dia entah siapa itu adalah lelaki yang berani, memperjuangkan, dan bertanggung jawab atas perasaannya. Menjaga hatinya untukku nanti, eh sebenarnya ga boleh egois. Kita titipkan sajalah hati ini kepada Sang Pemilik Hati yang sesungguhnya ya Mas. Sabar, jangan datang sekarang tak apa, aku sedang membersihkan hati untukmu. Jadi kelak kalau kau datang semoga hatiku sudah bersih. Aku tunggu ya Mas, di rumah. Mas entah siapa namamu dan bagaimana rupamu 😂 Hari ini diampuni bapernya ya ya Allah?
Minggu malam,
Zya
19.21 // 20-11/16
Jumat, 18 November 2016
Siapkah ku jatuh cinta?
Seperti lirik lagu HiVi memang,
Meski bibir ini tak berkata
Bukan berarti ku tak merasa ada yg berbeda diantara kita
Dan tak mungkin ku melewatkanmu
Hanya karna diriku tak mampu untuk bicara
Bahwa aku inginkan kau ada di hidupku..
Siapkah kau tuk jatuh cinta lagi?
Kira kira begitulah sepenggal lirik lagunya
Jika kita jatuh cinta, harus siap menanggung semua resikonya. Bergulat dengan perasaan rindu. Bertengkar dengan logika atas kesimpulan kesimpulan imajinatif yang kita ciptakan. Belum tentu kesimpulan kita mengenai sebuah kejadian itu benar adanya. Jika menyangkut sang pujaan hati, maka selesai sudah, pasti kita memganggap semua itu benar adanya.
Namun, siapkah kita melewati hal hal seprti itu? Tanyakan kepada diri sendiri. Siapkah kita akhirnya tahu bahwa kesimpulan imajinatif kita tidak sepenuhnya benar? Patah hati. Siapkah kita akhirnya tahu bahwa dia bersikap seperti ini kepada siapa saja? Remuk hati. Siapkah kita akhirnya tahu bahwa yang dia pilih ternyata wanita lain, yang lebih dari kita, bahkan malah memilih teman sendiri? Hancur berkeping keping hati ini.
Konsekuensi berikutnya, apakah kita mampu mempertanggungjawabkan rasa ini lepada Sang Pemilik Hati? Perasaan ini tumbuh dimasa yang kurang tepat. Kita masih belum melewati ijab dan qabul. Langkah yang akan kita ambil apalah benar? Mencintai dia, memikirkan dia yang bukan siapa siapa? Yang masih haram kita sentuh?
Siapkah ku tuk jauth cinta? Entahlah... Sekuat tenaga aku menjaga benteng ini, namun bukan untuk menutup hati, hanya membiarkannya sedikit terbuka. Aku sudah dewasa, seharusnya bisa memanage perasaan itu dg benar. Sudah sekian tahun hanya jadi secret admirer, gampang saja kali ini. Hanya jadi pengamat. Bukan kepoers, semakin kepo, nanti semakin rindu, semakin bahaya perasaan yg blm halal ini. Pembatasan itu perlu dilakukan. Walaupun sering masih tergoda oelh setan setan virus merah jambu, sebisa munkin berinteraksi dg lawan jenis dibatasi. Sehingga dalam proses penantian ini, aku tetap menjaga diri, menjaga cintaNya, tidak menduakanNya, ampuni aku ya Rabbi 😥😥😥
Maafkan atas waktu lebih untuk mendoakannya di shalatku
Maafkan atas waktu lebih untuk sekedar memikirkannya
Hambamu ini hanyalah manusia biasa
Yang tak luput dari dosa
Jumat pagi,
07.21 -- 18/11/93
Meski bibir ini tak berkata
Bukan berarti ku tak merasa ada yg berbeda diantara kita
Dan tak mungkin ku melewatkanmu
Hanya karna diriku tak mampu untuk bicara
Bahwa aku inginkan kau ada di hidupku..
Siapkah kau tuk jatuh cinta lagi?
Kira kira begitulah sepenggal lirik lagunya
Jika kita jatuh cinta, harus siap menanggung semua resikonya. Bergulat dengan perasaan rindu. Bertengkar dengan logika atas kesimpulan kesimpulan imajinatif yang kita ciptakan. Belum tentu kesimpulan kita mengenai sebuah kejadian itu benar adanya. Jika menyangkut sang pujaan hati, maka selesai sudah, pasti kita memganggap semua itu benar adanya.
Namun, siapkah kita melewati hal hal seprti itu? Tanyakan kepada diri sendiri. Siapkah kita akhirnya tahu bahwa kesimpulan imajinatif kita tidak sepenuhnya benar? Patah hati. Siapkah kita akhirnya tahu bahwa dia bersikap seperti ini kepada siapa saja? Remuk hati. Siapkah kita akhirnya tahu bahwa yang dia pilih ternyata wanita lain, yang lebih dari kita, bahkan malah memilih teman sendiri? Hancur berkeping keping hati ini.
Konsekuensi berikutnya, apakah kita mampu mempertanggungjawabkan rasa ini lepada Sang Pemilik Hati? Perasaan ini tumbuh dimasa yang kurang tepat. Kita masih belum melewati ijab dan qabul. Langkah yang akan kita ambil apalah benar? Mencintai dia, memikirkan dia yang bukan siapa siapa? Yang masih haram kita sentuh?
Siapkah ku tuk jauth cinta? Entahlah... Sekuat tenaga aku menjaga benteng ini, namun bukan untuk menutup hati, hanya membiarkannya sedikit terbuka. Aku sudah dewasa, seharusnya bisa memanage perasaan itu dg benar. Sudah sekian tahun hanya jadi secret admirer, gampang saja kali ini. Hanya jadi pengamat. Bukan kepoers, semakin kepo, nanti semakin rindu, semakin bahaya perasaan yg blm halal ini. Pembatasan itu perlu dilakukan. Walaupun sering masih tergoda oelh setan setan virus merah jambu, sebisa munkin berinteraksi dg lawan jenis dibatasi. Sehingga dalam proses penantian ini, aku tetap menjaga diri, menjaga cintaNya, tidak menduakanNya, ampuni aku ya Rabbi 😥😥😥
Maafkan atas waktu lebih untuk mendoakannya di shalatku
Maafkan atas waktu lebih untuk sekedar memikirkannya
Hambamu ini hanyalah manusia biasa
Yang tak luput dari dosa
Jumat pagi,
07.21 -- 18/11/93
Kamis, 17 November 2016
Kau tahu kenapa kita tidak segera dipertemukan?
Mungkin hatiku masih belum sepenuhnya bersih dari masa lalu
Aku juga tak ingin menyambutmu dg hati yg masih ada ruang untuknya
Itu kesimpulanku yang pertama
Kau tahu kenapa kita tidak segera dipertemukan?
Kamu belum siap, aku belum siap
Menurut Sang Pemilik Hati
Kita mungkin masih harus terus berusaha mengambil hatiNya
Hingga waktu berlalu dan mendekat di masa itu
Masa di mana kita akan bertemu
Insya Allah
Biarlah, jangan mendekat
Aku takut jatuh lebih dalam karena perhatianmu
Aku juga tidak bisa memastikan perasaanmu kepadaku
Jadi tetaplah seperti ini
Jangan biarkan aku jatuh lebih dalam
Dan jika di masa penantian ini kau mendapatkan dia yg lebih baik
Aku tidak akan jatuh sakit memikirkanmu
Begitu juga sebaliknya
Tidak ada sesal, tidak ada sesak di dada
Aku hanya akan mendoakan siapa yang menurutNya, terbaik untuk kita
Kamis pagi yang berembun,
Zya
06.49 - 17/11/16
Mungkin hatiku masih belum sepenuhnya bersih dari masa lalu
Aku juga tak ingin menyambutmu dg hati yg masih ada ruang untuknya
Itu kesimpulanku yang pertama
Kau tahu kenapa kita tidak segera dipertemukan?
Kamu belum siap, aku belum siap
Menurut Sang Pemilik Hati
Kita mungkin masih harus terus berusaha mengambil hatiNya
Hingga waktu berlalu dan mendekat di masa itu
Masa di mana kita akan bertemu
Insya Allah
Biarlah, jangan mendekat
Aku takut jatuh lebih dalam karena perhatianmu
Aku juga tidak bisa memastikan perasaanmu kepadaku
Jadi tetaplah seperti ini
Jangan biarkan aku jatuh lebih dalam
Dan jika di masa penantian ini kau mendapatkan dia yg lebih baik
Aku tidak akan jatuh sakit memikirkanmu
Begitu juga sebaliknya
Tidak ada sesal, tidak ada sesak di dada
Aku hanya akan mendoakan siapa yang menurutNya, terbaik untuk kita
Kamis pagi yang berembun,
Zya
06.49 - 17/11/16
Jumat, 11 November 2016
Rasa
Jatuh untuk kesekian kalinya
saya harap ini yang terkhir kalinya
Terjadi begitu saja
Tanpa saya sadari
Terjadi begitu saja
Tanpa saya sadari
tidak nampak seperti apa prognosisnya
Ingin rasanya menyembelih rasa ini
begitu menyakitkan
ketika saya harus selalu memikirkanmu
begitu menyesakkan ketika memikirkanmu dilarang oleh sang pemilik hati
DIA akan cemburu berat
ketika kita dekat tanpa adanya ikatan yang sah
saya hanya meminta,
kuatkan hati yang lemah ini
agar selalu berada dalam jembatan AlQuran dan AsSunah
hingga waktu yang tepat
ingin rasanya menyembelih rasa ini
menggantinya sepenuhnya hanya untukMu
Rabbku :')
zya
21.10
11/11/16
Selasa, 08 November 2016
Penjelasan
Jantungku sudah ingin keluar sepertinya. Suara lup dup lup dup ini semakin jelas. Setiap dia menyapa, setiap dia mulai bercakap, bahkan hanya dengan melihatnya. Dia selalu memberiku semangat disetiap momen aku merasa sedih dengan semua aktivitasku. Tapi yang masih menjadi misteri adalah apakah dia memiliki perasaan yang sama kepadaku? Aku tidak yakin. Aku belum pernah memiliki pengalaman mencintai seseorang ataupun dicintai seseorang spesial.
"iya ini ada maksud mengarah ke situ nih, dia udah nanya basa basi gini,"
"beda beda, dia keliatan ini kalo suka sama kamu,"
"di tunggu aja, ga perlu buru buru menyimpulkan, siapa tahu banyak pancingannya,"
Begitulah kira kira pendapat beberapa sahabat yang aku mintai pemdapat.
Aku masih takut, jujur. Takut patah hati. Takut keGRan, dan hasilnya nihil. Nothing. Membuang buang waktu saja. Inginku, kejelasan. Aku ga mau berlama lama begini. Takut, takut dosa. Karena agamaku jelas membatasi hubungan dengan lawan jenis. Aku tidak sabar. Kalau dia ada niatan baik denganku kuharap dia segera memberikan penjelasan. Mungkin harus aku yang turun tangan bertanya kepadanya.
Satu momen itu kurasa pas. Aku bertemu dengannya di sebuah book cafe, dia yanga menyapaku duluan dan meminta ijin untuk duduk di mejaku. Beberapa pembahasan mengenai buku yang aku baca menjadi topik awal perbincangan kami. Sebenarnya aku ga fokus, aku deg deg an ingin bertanya kepadanya. Semoga suara jantung ini tidak terdengar olehnya.
"sebagian besar novel ini sih tentang jatuh cinta diam diam." aku diam sejenak. "kamu pernah kayak gitu?"
"pernah. Sampe sekarang."
"trus? Diem aja? Kamu kan laik laki."
"aku masih ragu."
"ragu kenapa?"
"ada dua hal. Yang pertama aku tidak yakin dia juga menyukaiku, fans nya banyak sih. Dia juga terlihat sangat menarik, teman temannya banyak, mungkin aku tidak pantas bersamanya."
"yang ke dua?" tanyaku penasaran. Aku tidak bisa menyimpulkan siapa wanita yg disukainya.
"menikah, aku ingin langsung mengajaknya menikah. Namun, menikah tidak segampang membalikkan telapak tangan. Tidak sesederhana membuat vanilla latte. Persiapan yang matang dari psikologi maupun fisik sangat diperlukan. Aku hanya belum mempersiapkan sejauh itu."
"nanti kalo wanita itu diambil orang gimana? Kamu sih kelamaan."
"simpel, dia bukan jodohku."
"kalau dia masih tetap menunggumu dan butuh kepastian segera? Wanita itu butuh kepastian. Kalau lama lama digantungin ya capek. Fikirannya akan terbagi. Ini fakta. Normal terjadi kepada wanita."
Dia diam.
"bilang aja dulu, siap tidak siap bisa dibicarakan kedua belah pihak. Niat baik insya Allah selalu ada jalan." tambahku.
Percakapan sore itu sangat serius. Aku masih belum bisa menebak. Sampai beberapa hari ini sih tidak ada kabar darinya. Aku belum bertemu lagi dengannya. Status nya di media sosial pun hanya seputar kegiatannya sehari hari. Jikalau mungkin bukan aku, aku akan berusaha lapang menerima. Karena hatiku sepenuhnya adalah milikNya. Sang Maha Pengasih lagi Penyayang.
Fiksi
07.42
8/11/16
"iya ini ada maksud mengarah ke situ nih, dia udah nanya basa basi gini,"
"beda beda, dia keliatan ini kalo suka sama kamu,"
"di tunggu aja, ga perlu buru buru menyimpulkan, siapa tahu banyak pancingannya,"
Begitulah kira kira pendapat beberapa sahabat yang aku mintai pemdapat.
Aku masih takut, jujur. Takut patah hati. Takut keGRan, dan hasilnya nihil. Nothing. Membuang buang waktu saja. Inginku, kejelasan. Aku ga mau berlama lama begini. Takut, takut dosa. Karena agamaku jelas membatasi hubungan dengan lawan jenis. Aku tidak sabar. Kalau dia ada niatan baik denganku kuharap dia segera memberikan penjelasan. Mungkin harus aku yang turun tangan bertanya kepadanya.
Satu momen itu kurasa pas. Aku bertemu dengannya di sebuah book cafe, dia yanga menyapaku duluan dan meminta ijin untuk duduk di mejaku. Beberapa pembahasan mengenai buku yang aku baca menjadi topik awal perbincangan kami. Sebenarnya aku ga fokus, aku deg deg an ingin bertanya kepadanya. Semoga suara jantung ini tidak terdengar olehnya.
"sebagian besar novel ini sih tentang jatuh cinta diam diam." aku diam sejenak. "kamu pernah kayak gitu?"
"pernah. Sampe sekarang."
"trus? Diem aja? Kamu kan laik laki."
"aku masih ragu."
"ragu kenapa?"
"ada dua hal. Yang pertama aku tidak yakin dia juga menyukaiku, fans nya banyak sih. Dia juga terlihat sangat menarik, teman temannya banyak, mungkin aku tidak pantas bersamanya."
"yang ke dua?" tanyaku penasaran. Aku tidak bisa menyimpulkan siapa wanita yg disukainya.
"menikah, aku ingin langsung mengajaknya menikah. Namun, menikah tidak segampang membalikkan telapak tangan. Tidak sesederhana membuat vanilla latte. Persiapan yang matang dari psikologi maupun fisik sangat diperlukan. Aku hanya belum mempersiapkan sejauh itu."
"nanti kalo wanita itu diambil orang gimana? Kamu sih kelamaan."
"simpel, dia bukan jodohku."
"kalau dia masih tetap menunggumu dan butuh kepastian segera? Wanita itu butuh kepastian. Kalau lama lama digantungin ya capek. Fikirannya akan terbagi. Ini fakta. Normal terjadi kepada wanita."
Dia diam.
"bilang aja dulu, siap tidak siap bisa dibicarakan kedua belah pihak. Niat baik insya Allah selalu ada jalan." tambahku.
Percakapan sore itu sangat serius. Aku masih belum bisa menebak. Sampai beberapa hari ini sih tidak ada kabar darinya. Aku belum bertemu lagi dengannya. Status nya di media sosial pun hanya seputar kegiatannya sehari hari. Jikalau mungkin bukan aku, aku akan berusaha lapang menerima. Karena hatiku sepenuhnya adalah milikNya. Sang Maha Pengasih lagi Penyayang.
Fiksi
Jangan seperti hujan, yg tidak jelas kapan akan turun dan kapan akan reda 😢
Zya07.42
8/11/16
Minggu, 09 Oktober 2016
Anamnesa
![]() |
source: google |
Aku tidak bisa menyebutnya cinta
karena aku tidak mengerti cinta yang sesungguhnya
yang aku tahu hanya
kabarmu
ingin tahu kepribadianmu
ingin tahu perasaanmu
Aku tidak bisa menyebutnya cinta
kau datang di saat diagnosa ku kepadanya salah
dia lebih memilih orang lain daripada aku
Ketika aku jatuh, kau hadir membantuku bangkit
Membuatku nyaman
Ah, apa mungkin hanya ilusi?
Mungkin aku harus lebih dalam menganamnesa
Untuk tahu diagnosa sebenarnya
Diagnosa banding juga diperlukan
karena setiap ekspektasi tidak selalu sesuai realita
Harapan bisa menyakiti kita akhirnya
Ya Rabbiku, kenaapa urusan perasaan ini sangatlah rumit?
hanya coretan imajinasi
Zya
8/10/2016
Kamis, 29 September 2016
Sajak Hujan
source: rohmat.biz |
Tak ada yang bisa menebak kehendak langit
Peramal sekalipun,
Karena Dia yang maha Tinggi yang mengatur segalanya
Bulir bulir yang jatuh sore ini, datang secara tiba-tiba
Saat matahari setinggi gedung pencakar langit kala itu ia bersinar menyengat
Tidak ada yang bisa menebak kehendak langit
Biarlah bulir bulir itu jatuh sederas derasnya
Biar ada yang bisa menghapus jejak jejak kakinya di tanah
Aku sudah lelah melihat jejak jejak itu
Aku serahkan padamu hujan
Hapus lah
Biarlah bulir bulir itu jatuh sederas derasnya
Aku telah siap membuka babak baru
Setelah jejak jejak itu sempurna hilang
Aku akan sekuat tenaga tidak membolehkan ia menjejak kembali
Dengan bantuanMu aku meminta
Dengan seijinMu ya Rabbi
Kuserahkan diri ini, kupasrahkan diri ini
Aku telah siap membuka babak baru
Zya
08.44 WIB
29/09/2016
Rabu, 27 Juli 2016
Sajak Menunggu
Siapa yang tak bosan menunggu?
Siapa yang tak sabar menunggu?
Apa sebenarnya hakikat menunggu?
Entah itu lama atau hanya sekian menit
Banyak sekali pepatah memberi nasihat
gunakan waktumu sebaik-baiknya
waktu yang kau gunakan menunggu itu
gunakan sebaik-baiknya
Telah tercantum dalam kitab suci orang muslim
barang siapa yang menolong agamaNya
maka Dia akan memudahkan jalannya
maknanya luas, bisa kita pakai sembari menunggu
Gunakan sebaik-baiknya
waktu mu untuk hal-hal baik
menolong sesama, bersedekah, bahkan berdakwah
Gunakan sebaik-baiknya agar kau lupa
bahwa kau sedang menunggu
hingga tiba saatnya datang hal yang luar biasa
ketika waktu kita habis dengan selalu bermunajad kepadaNya
zya
Kamis, 21 April 2016
Kesimpulan Kesimpulan Imajinatif
Pernah nggak sih kalian suka menarik kesimpulan sesuka hati saat melihat atau mendengar sesuatu? Kalo saya sering banget, ya walaupun kadang benar, tp lebih banyak ngaconya ;"D Entahlah mengapa hati dan pikiran ini rela memikirkan hal-hal sejauh itu, yg padahal ngga usah dipikirin pun bisa, eh malah kepikiran, ya jadinya nambah-nambahin pikiran.
Apa yang seharusnya dilakukan? Nggak usah dipikirin! Tapi kalau 'sepertinya' menyangkut kehidupan kita? Alias sedikit ke-PD-an gimana? Gampang sih, ini quotes favorit dari bang Tere:
Hukum GR (Gede Rasa)
Orang bawa bantal, belum tentu akan tidur. Orang bawa handuk, pun belum tentu bakal mandi. Orang bawa piring, juga belum pasti akan makan.
Di dunia ini banyak sekali yang sudah terlihat begitu, ternyata memang belum tentu akan begitu. Termasuk salahsatunya, orang-orang yang perhatian sama kita, belum tentu memang suka, memang sayang sama kita. Mungkin saja memang dia perhatian dan baik ke semua orang, atau kitanya yang korslet, merasa GR duluan.
Nah jadi gitu gengs, hukum GR. Belum tentu orang yang bawa laptop itu mau ngerjain skripsi, siapa tahu tuh laptop mau dijual wwkwkw.. :"D
![]() |
daebak-i (image.lesson.im) |
Hukum GR (Gede Rasa)
Orang bawa bantal, belum tentu akan tidur. Orang bawa handuk, pun belum tentu bakal mandi. Orang bawa piring, juga belum pasti akan makan.
Di dunia ini banyak sekali yang sudah terlihat begitu, ternyata memang belum tentu akan begitu. Termasuk salahsatunya, orang-orang yang perhatian sama kita, belum tentu memang suka, memang sayang sama kita. Mungkin saja memang dia perhatian dan baik ke semua orang, atau kitanya yang korslet, merasa GR duluan.
Nah jadi gitu gengs, hukum GR. Belum tentu orang yang bawa laptop itu mau ngerjain skripsi, siapa tahu tuh laptop mau dijual wwkwkw.. :"D
* Zya 21 April 2016
Eh selamat hari kartini :)
Eh selamat hari kartini :)
Kamis, 03 Maret 2016
Masalah? Sini kalo berani!
Sudah lama tidak posting di blog kesayangan. Kali ini hanya sekedar menulis keluh-kesah saja (baca: nyampah). Akhir-akhir ini bisa dibilang sibuk bisa, dibilang santai bisa. Pekerjaan mahasiswa tingkat akhir memang luntang-luntung kampus-kos kampus-kos-pulang kampung. Mata akan lebih lelah dari biasanya, laptop akan sering hang dari biasanya, makan tapi tetep doyan seperti biasanya.
Cerita sedikit tentang skripsi. Tunggu, sebelumnya ada pertanyaan yang paling penting, siapa sih yang pertama bikin skripsi? Sangat merepotkan sekali, wkkk... Yah walaupun sebenernya demi kebaikan kita juga sih, belajar penilitian, menjadi civitas akademia sejati. Jalan menuju sarjana itu tidak gampang, apalagi bagi kita yang seorang mahasiswa kedokteran (terutama dental school). Penuh perjuangan-perjuangan yang itu sangatlah berat (hiperbola banget kayaknya). Tapi bener kan? Mungkin ini pembelaan bagi orang pemalas kayak saya :D
Pertama kali nyari judul, bingungnya melebihi nyari jawaban ujian blok. Cari sana-sini di internet. Labil. Pengennya kesmas, trus ragu jadi milih laboratorium, ragu lagi gara-gara pengen joinan sama temen penelitian di lapas. Dan, finally, saya memutuskan untuk mengambiln penelitian lab saja. Setelah dapet judul pun masih galau. Karena setelah saya cari di internet, semua ide yang keluar dari kepala saya ini sudah dilakukan semua oleh mahasiwa kedokteran gigi yang lain. Bang!!! Suer, ini bikin saya pusing kepala. Beruntungnya setelah tidak menyerah mencari-cari saya menemukan judul yang cocok juga, membandingkan kekuatan transversal bahan reparasi gigi tiruan. Bismillah...
Permasalahan ternyata tidak hanya sampai di sini pemirsa. Setelah beberapa kali konsultasi skripsi, akhirnya di acc untuk lanjut ke pembimbing kedua, alhamdulillah. Saatnya cari-cari bahan untuk penelitian. Bang!!! Bang!!! Nggak nemu! Betapa frustasinya. Curhat sana-sini, pergi kesana-ke sini, cari di online shop, berharap nemu, tapi hasilnya nihil. Kemudian ketemulah salah satu toko di jogja yang jual. Yaudah deh akhirnya coba ke sana dengan bermodal alamat yang nggak tahu asli apa hoax :D. Mungkin cerita nyari bahan ini bisa saya bikin di post selanjutnya.
Singkat cerita nggak dapet. Sampai sempet mau import ke Malaysia. Beneran ini seru banget perjuangannya. Dibikin asik aja sih kata temen-temen. Itung-itung buat cerita ke anak cucu. Cerita tentang bahan sampai di sini dulu. Perkembangannya adalah sampai detik ini, saya belum dapat :D
Tapi sedikit lega, Jumat depan insya Allah sudah menuju seminar proposal. Semoga Allah menempatkan takdir yang baik. Aamiin ya Rabb...
Sempet down banget, sempet suka nangis gaje pas sendirian di kamar (alay, ya saya tahu). Tapi ya begitulah sifat golongan darah O, katanya sih diluar berusaha tegar. Tapi bener, saya memang berusaha tegar untuk bisa menyebarkan kebahagiaan disekitar saya (baca: kok pencitraan banget). Nggak juga sih, tapi faktanya emang gitu. Coba aja kalian liat orang yang selalu cemberut, auranya suram, nggak enak diliat kan? Nah, saya nggak mau memberikan beban seperti itu kepada sahabat-sahabat saya. Energi positif itu harus selalu dipancarkan, biar kitanya juga nggak stress sih menurutku.
Degerin curhatan-curhatan sahabat, selain bikin saya tambah pusing tujuh keliling (kidding, tp iya bener sih) bisa bikin kita jadi mikir, bukan hanya kamu di dunia ini yang punya masalah. Bahkan orang sepinter dia, seperfect dia, secantik dia, sekaya dia juga punya masalah. Kadang lebih berat daripada kita malah. Kemudian ingat apa yang Allah bilang, Allah tidak akan memberikan cobaan lebih berat dari kemampuan hambaNya. Yep itu benar. Kalau menilik cobaan-cobaan yang telah saya, kalian, lewati, coba deh direnungin. Walaupun itu berat pasti terlewati kan? Nyatanya saya, kalian, masih bisa bernafas lega sampai saat ini. Situasi krisis itu pasti akan berlalu, seiring berjalannya waktu, keyakinan kita, keteguhan hati kita, dan ditambah dengan keikhlasan dari hati kita untuk menerima. Gimana dengan luka? Luka akan disembuhkan oleh sang waktu. Waktu adalah penyembuh yang hebat. Lakukan pekerjaan yang bermanfaat bagi orang lain, menciptakan senyum untuk orang lain, menyenangkan orang tua dan hal-hal bermanfaat lainnya. Ia akan sembuh seiring berjalannya waktu. Terlebih lagi ada pasangan halal yang bisa menemani sampai luka itu tersembuhkan oleh sang waktu (malah baper gini).
Tulisan ini bukan bermaksut untuk membuat anda-anda sedih, tapi semoga sedikit membuat anda-anda tersenyum, karena senyum itu ibadah bukan? ;) Sebarkan semua senyumanmu ke seluruh dunia!!! Tetep semangat untuk terus hidup! Orang tua kita ingin kita jadi orang yang sukses! Sempatkan sejenak pulang untuk menjenguk mereka! Yeay, weekend ini saya mau pulang :) ihihi...
*zya, 3 Maret 2016
Cerita sedikit tentang skripsi. Tunggu, sebelumnya ada pertanyaan yang paling penting, siapa sih yang pertama bikin skripsi? Sangat merepotkan sekali, wkkk... Yah walaupun sebenernya demi kebaikan kita juga sih, belajar penilitian, menjadi civitas akademia sejati. Jalan menuju sarjana itu tidak gampang, apalagi bagi kita yang seorang mahasiswa kedokteran (terutama dental school). Penuh perjuangan-perjuangan yang itu sangatlah berat (hiperbola banget kayaknya). Tapi bener kan? Mungkin ini pembelaan bagi orang pemalas kayak saya :D

Permasalahan ternyata tidak hanya sampai di sini pemirsa. Setelah beberapa kali konsultasi skripsi, akhirnya di acc untuk lanjut ke pembimbing kedua, alhamdulillah. Saatnya cari-cari bahan untuk penelitian. Bang!!! Bang!!! Nggak nemu! Betapa frustasinya. Curhat sana-sini, pergi kesana-ke sini, cari di online shop, berharap nemu, tapi hasilnya nihil. Kemudian ketemulah salah satu toko di jogja yang jual. Yaudah deh akhirnya coba ke sana dengan bermodal alamat yang nggak tahu asli apa hoax :D. Mungkin cerita nyari bahan ini bisa saya bikin di post selanjutnya.
Singkat cerita nggak dapet. Sampai sempet mau import ke Malaysia. Beneran ini seru banget perjuangannya. Dibikin asik aja sih kata temen-temen. Itung-itung buat cerita ke anak cucu. Cerita tentang bahan sampai di sini dulu. Perkembangannya adalah sampai detik ini, saya belum dapat :D
Tapi sedikit lega, Jumat depan insya Allah sudah menuju seminar proposal. Semoga Allah menempatkan takdir yang baik. Aamiin ya Rabb...
Sempet down banget, sempet suka nangis gaje pas sendirian di kamar (alay, ya saya tahu). Tapi ya begitulah sifat golongan darah O, katanya sih diluar berusaha tegar. Tapi bener, saya memang berusaha tegar untuk bisa menyebarkan kebahagiaan disekitar saya (baca: kok pencitraan banget). Nggak juga sih, tapi faktanya emang gitu. Coba aja kalian liat orang yang selalu cemberut, auranya suram, nggak enak diliat kan? Nah, saya nggak mau memberikan beban seperti itu kepada sahabat-sahabat saya. Energi positif itu harus selalu dipancarkan, biar kitanya juga nggak stress sih menurutku.
Degerin curhatan-curhatan sahabat, selain bikin saya tambah pusing tujuh keliling (kidding, tp iya bener sih) bisa bikin kita jadi mikir, bukan hanya kamu di dunia ini yang punya masalah. Bahkan orang sepinter dia, seperfect dia, secantik dia, sekaya dia juga punya masalah. Kadang lebih berat daripada kita malah. Kemudian ingat apa yang Allah bilang, Allah tidak akan memberikan cobaan lebih berat dari kemampuan hambaNya. Yep itu benar. Kalau menilik cobaan-cobaan yang telah saya, kalian, lewati, coba deh direnungin. Walaupun itu berat pasti terlewati kan? Nyatanya saya, kalian, masih bisa bernafas lega sampai saat ini. Situasi krisis itu pasti akan berlalu, seiring berjalannya waktu, keyakinan kita, keteguhan hati kita, dan ditambah dengan keikhlasan dari hati kita untuk menerima. Gimana dengan luka? Luka akan disembuhkan oleh sang waktu. Waktu adalah penyembuh yang hebat. Lakukan pekerjaan yang bermanfaat bagi orang lain, menciptakan senyum untuk orang lain, menyenangkan orang tua dan hal-hal bermanfaat lainnya. Ia akan sembuh seiring berjalannya waktu. Terlebih lagi ada pasangan halal yang bisa menemani sampai luka itu tersembuhkan oleh sang waktu (malah baper gini).
Tulisan ini bukan bermaksut untuk membuat anda-anda sedih, tapi semoga sedikit membuat anda-anda tersenyum, karena senyum itu ibadah bukan? ;) Sebarkan semua senyumanmu ke seluruh dunia!!! Tetep semangat untuk terus hidup! Orang tua kita ingin kita jadi orang yang sukses! Sempatkan sejenak pulang untuk menjenguk mereka! Yeay, weekend ini saya mau pulang :) ihihi...
*zya, 3 Maret 2016
Kamis, 21 Januari 2016
Kamis, 14 Januari 2016
Matahari di Jalur Gaza
Terik matahari pagi ini sangat mematikan. Tak peduli
siapa yang berada dibawahnya, pak Ahsan, pak Jon, dan semua anak-anak yang
sekarang berada di halaman sekolah. Peluh menetes seperti air terjuan disetiap
baju siswa-siswa ini. Beberapa memicingkan mata, takut air terjun keringat itu
akan masuk ke dalam mata mereka. Sudah satu jam mereka berada di sana. Tetap
tidak ada yang mengaku. Pak Ahsan sudah berkali-kali menanyai mereka. Walaupun
ini bulan puasa, pak Ahsan tidak main-main apabila ada kasus pencurian seperti
ini di sekolah. Beliau tetap harus menemukan siapa pelakunya. Para siswa tidak
akan pernah dibubarkan sebelum ada yang mengaku.
Kaki
salah satu siswa mulai gemetaran. Ia hendak protes, namun apa daya, pak Ahsan
masih tetap mengomel tiada henti, tak ada celah sedikit pun untuk menyela.
“Kau
tahu siapa dalang dibalik semua ini?” tanya siswa itu.
Yang
ditanya menggeleng sambil menyeka peluh.
“Aku
sudah tak kuat ini, kakiku gemeteran sejak tadi,” katanya lagi.
“Lah
gimana lagi…”
“Siapa
sih yang berani-beraninya mencuri obat-obatan di UKS. Kurang kerjaan aja.”
“Yaudah
sih Biet, kita tunggu saja. Pasti ada yang ngaku.”
“Tapi
Ik, mau sampai kapan. Lagi pula kamu puasa kan? Kamu nggak lemes?”
Siswi
itu nyengir.
“Masih
pada bungkam ha? Bapak sudah bersabar, bukannya bapak ingin menyiksa kalian di
bawah matahari ini. Tolonglah, mengaku saja. Bapak tidak akan marah. Mungkin
kalian yang mencuri mempunyai alasan tersendiri. Tersangkanya pasti salah satu
diantara kalian. Menurut keterangan pak Jon, kalianlah yang berlalu-lalang
kemarin di UKS.”
Pak
Ahsan masih memberikan petuah-petuahnya. Para siswa hanya menunduk kepanasan.
Belum ada tanda-tanda ada yang mengaku.
“Ayolah
kawan, mengaku saja, tidak kasihan apa dengan yang tidak bersalah. Menanggung
hukuman ini! Masih bulan puasa pula kan?” Akhirnya Obiet bisa menyela disaat
keheningan menyelimuti.
Beberapa
siswa mulai berbisik-bisik.
“Mengakui
kesalahan bukanlah dosa besar. Apa yang kalian takuti? Justru mengakui
kesalahan adalah hal yang paling hebat di dunia ini. Berjiwa besar, jarang
orang yang memiliki jiwa yang besar,” nasihat pak Ahsan. “Baiklah, sudah jam
segini, kalian pasti sudah ketinggalan banyak pelajaran berharga di kelas.
Mungkin salah satu kalian pelakunya malu mengakui di depan umum. Bapak tunggu
hari ini setelah jam terakhir di ruang OSIS. Bapak mau tahu alasannya. Kalau
sampai nanti siang tidak ada yang datang menemui bapak, besok siap-siap berdiri
lagi di sini. Paham?”
“Paham...”
jawab mereka serentak disertai perginya pak Ahsan dan pak Jon.
Desahan
keluh kesah menggema di halaman sekolah.
“Akhirnya….
kita selamat juga. Kamu nggak papa kan?”
Oik
mengangguk.
“Yuk
ke kelas.”
Belum
jauh mereka melangkah, Oik jatuh tersungkur di tanah.
“Oiiikkk!!!”
Obiet dan beberapa teman segera menggotong Oik menuju UKS.
Obiet
menunggui Oik sedari tadi yang belum sadar-sadar juga. Beberapa kali alkohol
disentuhkan ke hidungnya, tapi dia belum juga sadar. Saat Obiet akan menyerah,
pergi meninggalkan Oik yang sedang istirahat, Oik terbangun.
“Biet…
Aku pingsan lagi?” tanyanya.
“Menurut
lo?” Obiet kembali duduk di samping Oik.
“Maaf,
aku menyusahkanmu terus.”
“Lagian,
dibilangin nggak nurut. Ditanyain capek apa nggak bilang nggak. Salah siapa
coba?” Obiet mengomel.
Oik
tersenyum. “Iya, iya, bawel.”
“Aku
penasaran, sebenernya motivasimu ikut PMR apa sih? Kamu sendiri sering pingsan
gara-gara anemia kan. Nanti kalo nolong orang trus kamu pingsan gimana? Kan
nggak lucu.”
Oik
tertawa. “Suka-suka aku dong. Aku kan ingin bermanfaat bagi orang lain. Kau
tahu, rasanya bisa menolong orang yang kesusahan itu seperti dapet gratisan
makanan di hotel berbintang tau nggak.”
“Iya
deh iya… Kamu mau batalin puasanya? Masih kuat nggak?”
Oik
menggeleng. “Aku masih kuat kok.”
“Yakin?”
“Dua
ratus persen!” Oik bangun dari tempat tidur.
Mereka
berjalan kembali ke kelas. Sudah tahun mereka sama-sama menekuni ekskul PMR di
SMA Cendekia ini. Selama dua tahun ini juga mereka bersahabat. Walaupun mereka
berbeda agama, Obiet selalu menghormati Oik, begitupun juga Oik. Mereka tidak
pernah menjadikan agama menjadi topik pembicaraan saat mereka bersama. Obiet
selalu kagum dengan kegigihan Oik untuk membantu sesama. Ia pernah bilang ke
Obiet bahwa Oik ingin menjadi seorang dokter yang hebat.
***
Sepulang
sekolah, Obiet penasaran siapa kira-kira yang akan menemui pak Ahsan untuk
mengakui perbuatannya. Ia perlahan-lahan berjalan menuju pohon dekat dengan
ruang OSIS. Ia menginspeksi seluruh sudut-sudut depan ruang OSIS.
“Ngapain
sih?” Oik muncul di depan Obiet.
“Woaaaa…
Ngagetin aja sih.”
“Ngapain?”
“Ng…
anu… ng… mau tahu siapa yang akhirnya ngaku nyuri obat-obatan di UKS.”
“Kepo
deh, bukan urusan kamu tauk.”
“Eh,
aku kan juga anggota PMR. Jadi aku berhak untuk tahu dong, siapa yang mencuri
obat-obatna di UKS kita.”
“Trus,
kalau sudah tahu mau apa?” tanya Oik semakin mendekat.
“Yaa…yaa…
yaa… nggak apa-apa. Biar aku bisa lebih berhati-hati aja sama dia,” kata Obiet
sambil mundur-mundur menjauhi muka Oik.
“Itu
hanya akan menambah prasangka buruk saja kepada orang. Sudahlah, itu urusan pak
Ahsan, kita tidak usah terlibat. Ngapain ikutan pusing. Yang penting kita
doakan saja semoga pelakunya beneran datang menemui pak Ahsan dan masalah
selesai. Misteri hilangnya obat-obatan itu akan terpecahkan. Ngerti?”
“Hhhh….”
Obiet menghela napas. “Iya deh iya, ngerti.”
“Ayo
pulang.”
Mereka
segera meninggalkan sekolah. Obiet sesekali menengok ke belakang, namun
kemudian Oik segera memalingkan muka Obiet ke depan kembali.
“Eh,
ngapain kamu ikutin aku ke parkiran?” tanya Obiet.
“Mau
pulang sama kamu,” jawab Oik.
“Bang
Togar, supir kamu gimana?”
“Males,
paling dia juga pulang sendiri kalau nunggu kelamaan.”
“Ih,
gamau aku ah, nanti aku kena marah lagi. Sana bilang dulu. Aku temenin deh.”
“Nggak.
kalau aku bilang mau pulang sama kamu, pasti nggak dibolehin. Apalagi naik
sepeda butut kayak gini.”
“Eh
enak aja butut. Ini sepeda pertama bapakku tauk. eh malah mengalihkan
pembicaraan. Ayo aku temenin ke bang Togar.”
“Nggak
mau, Biet, please… Aku lagi males pulang ke rumah. Paling juga gak ada orang di
rumah. Simbok paling sibuk masak. Kak Hana apalagi, pulangnya selalu
malem-malem. Aku ikut pulang ke rumahmu ya? Please… please…”
“Apa
boleh buat, kalau ada apa-apa aku nggak mau disalahin.”
“Yess…
asiik…”
“Tapi
nanti aku mau ngamen dulu. Kamu mau ikut?”
Oik
mengangguk. “Sekalian ngabuburit.”
“Ngabuburit
kok ngamen.”
“Biarin,
wee… Ayuk ah,,, kita kabur…” Oik mengambil sepeda Obiet dan segera pergi
meninggalkan Obiet yang masih ada di parkiran.
“Ckckckc…
ni anak puasa apa nggak sih sebenernya. Tadi pagi pingsan, eh ini main kabur
aja ninggalin. Hiperaktif dasar. Hei Ik tunggu!!!” Obiet berlari menyusul Oik.
Di
lain sisi, bang Togar sedang mondar-mandir di depan pagar sekolah menunggu Oik
keluar.
“Aduh,
kemana pula ini non Oik pergi. Pasti pergi lagi sama anak pengamen itu. Bisa
gawat kalau ketahuan nyonya ini. Ah…”
Bang
Togar meninggalkan sekolah Oik dengan perasaan campur aduk. Takut diarahin Mama
Oik sesampainya di rumah.
Sedangkan
Oik sedang sibuk mengayuh sepeda butut milik Obiet. Obiet yang duduk membonceng dibelakang khawatir. Sejak
tadi sepeda ini tidak stabil. Mungkin belum sampai rumah, mereka sudah jatuh
tersungkur di jalan, akibat kayuhan Oik yang ugal-ugalan. Beberapa kali Obiet
menelan ludah.
Sesampainya
di rumah Obiet, Oik segera masuk ke dalam rumah tanpa permisi. Sepedanya
dibiarkan begitu saja tak terurus.
“Tante…
tante… Sedang apa?” Oik masuk ke dalam rumah Obiet.
Obiet
menggeleng-gelengkan kepala.
Setelah
Obiet bersiap-siap membawa bekal ngamennya, ia pamit kepada ibunya. Setiap
hari, sepulang sekolah Obiet harus ngamen untuk menambah penghasilan keluarga
mereka. Ibunya seorang penjual sayuran di pasar. Ayahnya sudah meninggal sejak
ia berumur delapan tahun karena mengidap tuberculosis
paru. Untuk uang pembayaran sekolah yang harus di tanggung, Obiet rela untuk
mengamen setiap pulang sekolah. Lumayan cukuplah untuk memenuhi kebutuhan
sekolahnya.
Siang
ini yang terik Obiet masih semangat untuk menjajakan suaranya. Bisa dibilang,
dia memiliki bakat menyanyi. Kalau talentanya ditemukan oleh produser musik,
pasti produser itu tidak akan menyesal memilihnya. Beberapa kali Oik menyuruh
Obiet merekam suaranya dan mengirimkan ke radio. Namun tak pernah ia lakukan,
suaranya hanya mentok di jalan dan even-even sekolah.
Satu
demi satu mobil mereka datangi. Recehan mengalir deras ke kantong plastik
mereka. Oik sangat membantu. Suara lembut yang ia miliki mampu menyentuh
orang-orang yang mereka datangi.
“Tiga
puluh tuju tibu.. tiga ratus….Alhamdulillah,, dapet banyak Biet, kamu harus
berterima kasih kepadaku,” kata Oik setelah menghitung uang hasil ngamennya di
depan sebuah mushala.
“Harus
gitu? Iya sih, lumayan banyak hari ini. Makasih ya,” jawab Obiet sambil
merapikan topinya.
“Aku
masuk shalat ashar dulu ya, tunggu di sini,” kata Oik.
Obiet
mengangguk.
Selesai
menjalankan kewajiban, Oik mengajak Obiet untuk membeli takjil buka puasa.
“Biar
aku saja yang bayar,” kata Obiet saat Oik akan membayar belanjaannya.
“Nggak
usah Biet, aku ada uang kok,” Oik menolak. “Simpan saja uangmu.”
“Eits…
nggak boleh. Kamu sudah capek nemenin aku. Harus ada imbalannya. Nggak boleh
nolak uang orang miskin,” Obiet menatap Oik tajam. “Ini Buk, uangnya.”
Oik
tak bisa menolak. Obiet telah memberikan uangnya ke penjual takjil.
“Makasih
ya,” kata Oik setelah mereka di jalan pulang.
“Aku
yang berterima kasih, karena kau, hari ini aku dapet banyak,” kata Obiet sambil
sesekali menengok ke belakang.
Angin
senja menemani perjalanan mereka pulang. Sesampainya di depan rumah Oik, Obiet
segera pamit, takut disemprot bang Togar.
“Bang,
mama sudah pulang?” tanya Oik yang menemukan bang Togar sedang mengelap mobil.
“Barusan
Non.”
“Nanyain
aku nggak?”
Bang
Togar menggeleng.
“Sudah
kuduga. Mana pernah mama nanyain anak perempuannya ini.”
“Eh
Non, tidak boleh berkata seperti itu. Tidak sopan. Tadi Nyonya buru-buru masuk
rumah. Mungkin ada sesuatu yang harus diselesaikan.”
“Yaudah
deh, aku masuk dulu ya Bang.”
“Iya
Non.”
Oik
memasuki rumah. Tidak ada yang menjawab salamnya. Sepi. Ia mencari-cari
mamahnya. Yang ia temukan simbok seddang mencuci di belakang rumah.
“Mbok,
Mama mana?”
“Ada
tadi di ruang kerja Non.”
Oik
mengangguk-angguk. Mungkin mama sedang
ada kasus besar. Katanya dalam hati. Mama Oik seorang pengacara hebat di
kota ini. Tidak pernah sekalipun hari-harinya free tanpa kasus. Mulai dari kasus sengketa tanah, pencurian uang
rakyat, dan pernah sekali kasus pembunuhan.
***
Suasana
meja makan masih sepi. Lima menit yang lalu adzan maghrib sudah berkumandang.
Oik yang selesai shalat maghrib datang sendirian ke meja makan. Ia melihat
sekeliling meja. Kosong. Padahal makanan yang ada di meja makan sudah
bermacam-macam dan menari-nari menggiurkan.
Oik
menghela napas. “Aku seperti hidup sendiri di dunia ini.”
Beberapa
saat kemudian Mama Oik datang. “Hai sayang,” ia menyapa Oik sembari membaca
kertas-kertas yang menyertainya.
“Hai
Ma,” sapa Oik sambil tersenyum.
Kemudian
Papa Oik datang masih memakai kemeja rapi.
“Hai
Pa,” sapa Oik.
Namun,
yang disapa masih sibuk menggunakan handphonenya menelepon orang.
“Iya,
sudah saya bilang, jangan biarkan mereka membeli saham kita. Kita harus sebisa
mungkin mempertahankannya…” Papa Oik berbicara di telepon sambil memasukkan
makanan ke dalam piring.
Kemudian
kak Hana datang. Ia baru pulang dari kampus. Tanpa mempedulikan yang ada di
meja makan, ia segera pergi ke kamarnya yang berada di dekat ruang makan.
Oik
menyantap takjil yang tadi ia beli dengan tidak semangat. Sudah lelah ia dengan
semua keapatisan keluarga ini.
###
Keesokan
harinya, Oik kembali ceria seperti semual. Ia tidak mau larut dalam kesedihan.
Ia berjanji pada dirinya untuk melakukan hal-hal positif untuk melupakan segala
kegundahan yang berasal dari rumahnya. Ia berjalan memasuki ruang kelas. Kelas
sudah hampir penuh, walaupun bel masuk masih setengah jam lagi. Obiet juga
sudah datang, namun hanya tasnya saja yang ada di bangku.
Hape
Oik berbunyi.
From : Rahmi PMR
Diharapkan anggota PMR segera merapat di
ruang UKS. Ada rapat penting.
“Ada
apa ya? Jangan-jangan kasus pencurian Obat belum selesai?”
Tanpa
pikir panjang Oik segera pergi menuju UKS. Di koridor ia bertemu degan Irsyad,
yang juga anggota PMR.
“Ada
apa sih Syad? Kau tahu?”
“Entahlah
Ik, kasus yang kemarin mungkin,” jawab Irsyad.
Sesampainya
di ruang UKS, sudah ada beberapa anak yang berkumpul. Menyusul beberapa lagi
dibelakang Oik.
“Baik,
sepertinya sudah berkumpul semua,” kata Rahmi, selaku ketua PMR membuka
percakapan.
“Ada
apa Mi? Kasus kemarin belum ditutup?” tanya salah seorang anggota.
“Oh
iya, yang pertama yang akan saya bicarakan adalah itu. Pak Ahsan sudah bilang
ke saya. Sudah ada yang mengaku kemarin. Katanya obat itu untuk dijual kembali
karena ia butuh uang.”
“Oooo….”
anggota yang lain serempak ber-O ria.
“Oke,
yang kedua, saya ada undangan. Kalian sudah dengar saudara-saudara kita di
Palestina diserang kembali?”
Bisik-bisik
anggota terdengar menggema di ruang UKS yang kecil itu.
“Iya,
aku lihat diberita tadi pagi, Israel melemparkan bom-bom kembali. Kasihan.”
“Iya,
kasihan. Aku juga baca di media sosial.”
Oik
menyimak setiap pernyataan teman-teman yang sudah melihat beritanya baik di
televisi maupun media sosial.
“Pak
Ahsan kebetulan mempunyai kenalan seorang relawan yang akan berangkat ke sana.
Saya dimintai tolong untuk mengabarkan kepada kalian. Siapa tahu ada yang ingin
ikutan. Lusa kita kan sudah libur. Nanti berangkatnya lima hari lagi. Ini
brosurnya.”
Rahmi
membagikan brosurnya kepada anggota yang lain. Oik membaca dengan saksama dan
tampak berpikir serius.
“Gimana
kawan? Ada yang mau ikut?” tanya Rahmi. “Insya Allah bekal ilmu kita sudah
cukup banyak. Kalian tahu kan kalau kita tahun ini dapat predikat kelompok PMR
terbaik se-provinsi. Saya beri waktu sampai besok. Kita kumpul lagi pas jam
istirahat di sini besok.”
Bel
masuk berbunyi. Rahmi segera menutup rapat mendadak pagi ini.
“Kau
tertarik?” tanya Obiet berjalan di samping Oik.
“Entahlah
Biet, aku pengen banget. Tapi pasti berbahaya. Apa orang tuaku akan
mengijinkan?”
“Mmm…
Iya sih, bilang saja dulu sama mereka. Siapa tahu boleh ikut. Kalau kamu ikut,
aku juga ikut. Biayanya ditanggung temennya pak Ahsan kan?”
Oik
mengangguk. “Tadi Rahmi bilangnya sih gitu.”
Seharian
ini Oik memikirkan tawaran Rahmi. Mungkin papa mamanya tidak masalah dengan
ini, mengingat kecuekan keluarganya akhir-akhir ini.
“Non
Oik kenapa bengong?” tanya bang Togar saat perjalanan pulang ke rumah.
“Bang
Togar tahu Palestina sekarang dalam masa kritis?”
“Tahu
lah Non. Tadi pagi saya lihat beritanya di TV. Memangnya kenapa Non?”
“Aku
mau jadi relawan di sana Bang.”
“Apa?
Non yakin? Bahaya lho Non, pasti papa mama Non tidak membolehkan.”
Oik
terdiam. Ia memandang jauh ke luar jendela. Perlahan-lahan air matanya menetes
begitu saja tanpa perintah.
***
Malam
ini perlahan-lahan Oik menuju ruang kerja Mamanya. Ia mendapati Mamanya sedang
sibuk dengan berkas-berkas yang ada di meja.
“Ma…”
sapa Oik pelan.
“Iya,
kenapa Ik?” tanya Mamanya masih berkutat dengan berkas.
“Oik…
mau ikut jadi relawan ke Palestina.”
Mama
terdiam dan memandang Oik. Jantung oik semakin cepat berdebar.
“Oik
yakin?”
Oik
ragu-ragu menganggukkan kepala.
“Mama
dukung semua apa yang Oik inginkan, asal Oik bahagia,” kata Mama.
Oik
kaget. “Beneran Ma? Mama nggak marah?”
“Asalkan
Oik bisa menjaga diri dengan baik. Mama setuju.”
Oik
memeluk Mamanya. Ternyata ia dengan mudah mendapatkan ijin dari mamanya. Dan
ternyata stelah ia datang menemui papanya, papa juga menyetujui ide Oik.
“Asal
Oik suka, papa nggak masalah. Nanti papa bantu urus visanya,” kata Papa saat
ditanyai.
***
Semua
persiapan telah selesai. Obiet juga sudah mendapatkan pasport dan visanya atas
bantuan teman pak Ahsan. Ada lima anggota PMR yang berangkat hari ini. Panggilan
penerbangan mereka sudah ada. Oik dan kawan-kawan menuju bagian pemeriksaan
tiket. Oik mencuri-curi pandang ke arah pintu masuk.
“Kamu
cari siapa?” tanya Obiet.
“Mama
dan Papa,” jawab Oik sedih.
Oik
mengelus-elus pundak Oik. “Mungkin mereka tidak bisa meninggalkan pekerjaan
mereka Ik. Sudahlah, kita toh juga akan kembali lagi kan. Itu wajib. Aku tak
mau tim kita ada yang tertinggal di sana.”
Satu
per satu memasuki pesawat. Mencari tempat duduk sesuai yang tertera di tiket.
Ini pertama kali Obiet menaiki pesawat. Kelihatan gagapnya. Ia tak berhenti
ber-whoa ria. Hal ini sedikit menjadi hiburan bagi Oik. Ia tertawa dengan
tingkah Obiet di dalam pesawat.
“Teman-teman
mari kita berdoa terlebih dahulu, semoga perjalanan kita membawa manfaat bagi
mereka serta kita akan pulang dengan selamat membawa sejuta pengalaman yang tak
terlupakan. Janji?” kata Rahmi sambil mengulurkan tangan.
“Janji.”
Mata-mata suci itu penuh harap. Penuh semangat untuk ikut berjuang di jalan
Allah Swt. Rasa takut yang menyelimuti hilang tak berbekas. Perjalanan
kemanusiaan ini akan menjadikan mereka lebih memahami arti kasih sayang.
###
Beberapa
jam kemudian, perjalanan ini berakhir, setelah sempat transit di Dubai.
Sesampainya di Gaza airpot anak-anak ini semakin bertambah deg-deg-an. Pak
Umar, teman pak Ahsan yang tahu aura kecemasan tim ini segera memberikan
nasihat-nasihat yang membuat tim kembali bersemangat. Misi kemanusiaan ini
harus berakhir dengan aman. Warga Gaza menunggu bantuan kita.
Ternyata
sudah ada yang menjemput mereka. Pak Ali namanya, beliau utusan dari dubes
Indonesia di Palestina. Pak Ali menyambut tim ini dengan baik. Kelima anggota
PMR, pak Umar beserta enam temannya segera masuk ke dalam van yang dikendarai
pak Ali. Sempat terdengar suara rudal jatuh tak jauh dari airpot. Sontak mereka
semua terkaget. Rahmi segera memeluk Oik.
“Ya
Allah, lindungilah kami,” doa Oik dan segera diamini oleh Rahmi.
Perjalanan
mereka ke penginapan sangat menyentuh hati. Di beberapa sudut bangunan, banyak
sekali orang-orang yang berbalut kesedihan. Terlihat seorang wanita paruh baya
yang sedang memeluk erat anak gadisnya yang sedang ketakutan. Wajah anak itu pucat.
Seperti telah melihat hantu di siang bolong.
Di
penginapan mereka segera beristirahat, membersihkan badan dan mempersiapkan apa-apa yang harus
dibawa besok pagi untuk menjadi relawan di sebuah rumah sakit dekat penginapan.
Suasana di penginapan juga tidak kalah tegang. Kebanyakan yang tinggal di
penginapan ini adalah mereka yang rumahnya sudah rata dengan tanah. Pak Umar
terlihat asyik berbincang-bincang dengan beberapa orang Pakistan. Kami tahu
akhirnya apa yang mereka bicarakan setelah pak Umar menceritakan terjemahannya
kepada kami.
“Setiap
pagi mereka tidak henti-hentinya bersyukur atas nyawa yang masih Allah berikan
kepada mereka. Setiap malam, doa-doa meminta keselamatan nyawa dan meninggal
dengan syahid memancar ke langit tanpa putus. Setiap terdengar suara dentuman
bom, rudal, peluru dan semacamnya, kalimat tasbih tak henti-hentinya menggema
diseluruh penjuru Gaza. Dan lebih menyentuh adalah, mereka tak pernah
meninggalkan shalat walaupun semua kecemasan akan kehancuran tempat tinggal
mereka selalu ada.
Bapak
paruh baya tadi yang berbicara pada Bapak mengatakan, anaknya meninggal satu
minggu yang lalu karena kejatuhan reruntuhan saat sekolahnya terkena bom. Bapak
tadi tidak sempat menyelamatkan nyawa anaknya. Setelah ditemukan, sudah tidak
terasa lagi nadinya. Ironis sekali. Aku harap semua kekejian ini segera
berakhir,” cerita pak Umar panjang lebar.
Tim
Oik mendengarkan baik-baik cerita dari pak Umar. Mereka sibuk dengan pikiran
masing-masing. Mengutuki Israel yang tak sedikit pun memiliki rasa belas kasih
yang sejatinya dimiliki oleh semua manusia di bumi ini. Pergi tidur adalah pilihan
yang tepat untuk mengistirahatkan pikiran dan energi untuk misi kemanusiaan
esok hari.
***
Makan
sahur kali ini sangat berbeda bagi Oik, Rahmi dan kawan-kawan. Pengalaman yang
tak terlupakan, bisa sahur bersama-sama saudara sesama muslim di negeri orang.
Bahkan Obiet pun ikut makan.
“Aku
nggak mau melewatkan momen-momen spesial hanya karena tidur nyenyak,” itu
pembelaan Obiet saat ditanya Rahmi.
Ramai
sekali restoran di lantai bawah penginapan ini. Banyak juga wajah-wajah cemas
yang memaksakan diri untuk memasukkan makanan yang ada di depan mereka ke dalam
mulut masing-masing. Memang rasanya tidak mengenakkan makan di saat-saat
genting dan penuh kesedihan seperti ini. Tapi ya bagaimana lagi, nabi kita
menyerukan perintah untuk sahur. Supaya ada energi yang dihasilkan keesokan
harinya.
Pagi
disambut rombongan ini dengan shalat dhuha. Semoga dua rakaat ini berkah untuk
kegiatan mereka hari pertama bertugas. Mereka ditugaskan untuk membantu IGD
rumah sakit As-Syifa. Pukul tujuh mereka berngakat sambil membawa ransel yang
berisi perban, obat merah, dan kawan-kawan. Jalanan masih sepi. Dari saat sahur
tadi belum ada bom, ataupun peluru yang masuk ke daerah ini.
Namun,
di IGD RS masih banyak korban-korabn berbaring memenuhi tempat tidur. Mereka
rata-rata cidera tangan, kaki dan kepala akibat kejatuhan reruntuhan bangunan.
Di sebelah kanan seorang suster memperbaiki kerudung seorang anak kecil yang
duduk lemas di tempat tidur. Oik tertarik mendekat. Ia memperkenalkan diri
dengan bahasa Inggris. kemampuan berbahasa Inggrisnya patut diacungi jempol.
Sang suster menterjemahkan kata-kata Oik kepada anak kecil itu, belakangan
diketahui bernama Khumairah.
“Dia
kehilangan tangan kanannya dua hari yang lalu, ia masih syok. Ayahnya pergi
menjaga Hammas,” jelas Suster.
“Bagaimana
dengan Ibunya?” tanya Oik.
“Suster
menggeleng sedih. “Ibunya meninggal empat tahun yang lalu, saat Khumairah
berumur dua tahun.”
Oik
memeluk Khumairah. Ia berharap bisa menyerap sebagian kesedihan Khumairah melalui
pelukannya. Khumairah tersenyum dalam pelukan Oik. Walaupun Oik tidak mengenal
Khumairah, kasih sayang sesama saudara didapatkan Khumairah dari Oik, sahabat
dari Indonesia.
Tak
berapa lama mereka datang, pekerjaan bertubi-tubi segera mengisi tangan gesit
mereka. Dengan berbekal pengetahuan, training, pengalaman yang mereka peroleh
dari PMR sekolah, mereka santai saja mengobati luka, membalut luka, membantu
memasang infus, dan macam-macam teknik membidai. Para suster tak segan-segan
memberikan banyak pengetahuan tentang kegawatdaruratan kepada tim mereka.
Beruntunglah kebanyakan suster di rumah sakit ini bisa berbahasa Inggris. Jadi
mudah bagi Obiet dan kawan-kawan untuk mengerti apa komando yang ucapkan oleh
suster.
Sampai
siang hari, pasien yang datang lumayan berkurang daripada hari kemaren, curhat
seorang suster kepada Obiet.
“Hari
ini belum terdengar suara bom sama sekali. Alhamdulillah,” kata suster itu.
Memang
sejak pagi tadi belum ada tanda-tanda waspada dari petugas yang berjaga di
depan rumah sakit. Entahlah apa yang akan terjadi berikutnya, hanya Allah dan niat-niat jahat para Yahudi
itu yang tahu.
Obiet
mengajak anggota timnya untuk berjalan mengelilingi rumah sakit. Ia ingin melihat
seberapa pedulinya petugas kesehatan Palestina terhadap kesehatan warganya.
Selepas shalat dhuhur, mereka mulai berkeliling. Dari satu bangsal ke bangsal
yang lain. Setiap lorong terdapat wastafel dan handsanitizer, berikut perlengkapan sterilisasi lainnya.
Lantai-lantai juga sangat bersih. Rumah sakit ini sangat menjaga kebersihannya.
Beberapa OB sering terlihat oleh mereka sedang membersihkan lantai, kaca,
halaman, sampah, dan beberapa puing-puing bangunan yang terjatuh karena bom dua
hari yang lalu.
Tour
rumah sakit berlantai tiga ini berakhir di lobi bawah.
“Suasananya
enak ya di sini. Lihatlah tadi setiap sudut rumah sakit dihiasi oleh ayat-ayat
suci Allah,” puji Rahmi.
“Iya
benar, damai rasanya,” ucap Debo, salah satu anggota tim.
Tidak
lama kedamaian yang mereka rasakan. Tiba-tiba datang kembali suara-suara
menyeramkan itu. Suara yang membuat pilu semua rakyat Palestina. Suara kutukan
yang membuat nyawa melayang dengan mudahnya. Bom-bom itu kini datang lagi.
Tidak hanya sekali, dua kali sudah terdengar. Yang ketiga sangat dekat dengan
rumah sakit ini.
Paramedis
sontak keluar melihat keadaan di luar. Mereka segera bersiap-siap. Sebentar
lagi manusia-manusia yang bercucuran darah perjuangan akan datang meminta
bantuan. Tim sar dari berbagai negara yang lokasinya tak jauh dari rumah sakit
ini segera berlari berhamburan menenteng tas ransel berisi perlengkapan P3K.
DUAARRRR...
Asap
mengepul dari kejauhan. Entah sudah jadi apa daerah yang tertutupi asap
tersebut.
DUAARRRR…
Suara
ledakan itu terdengar pilu. Samar-samar terdengar suara takbir berkumandang di
langit Gaza, membuat merinding bulu kuduk Oik.
“Kalian
tetap di sini jangan berpikiran untuk ikut tim yang lain ke sana! mengerti!”
Sebelum tim Oik tersadar dari pemandangan hebat di depan mereka, pak Umar sudah
memperingatkan untuk tetap tinggal di rumah sakit.
Mereka
mengangguk.
“Sebaiknya
kita masuk membantu suster mempersiapkan alat-alat Ik,” ucap Rahmi. “Kalian,
Obiet, Debo, Lintar, tetap di sini. Siapa tahu ada pasien datang yang
membutuhkan pertolongan langsung. Jangan lupa siapkan kursi roda dan alat bantu
lainnya.”
“Baik,”
ucap mereka serentak.
Oik
menemukan suster yang sedang kesusahan memotong kassa. Ia segera membantunya.
Rahmi memilih untuk membantu menempatkan pasien-pasien yang sudah tertangani
menuju bangsal-bangsal yang ada.
Setengah
jam kemudian, mulai berdatangan pasien-pasien yang membutuhkan pertolongan.
Pasien yang dibawa Obiet pertama kali tidak begitu parah. Luka pecahan kaca di
lengan kanan pasien itu tidak terlalu dalam, setelah diperiksa oleh suster.
Oik
membantu menyiapkan benang jahit dan perlangkapan balut lainnya. Pasien
tersebut tak henti-hentinya beristighfar sembari menjawab pertanyaan suster
lain tentang identitasnya.
Pasien
kedua, ketiga datang dengan keadaan yang tak jauh berbeda. Pasien ketiga yang
dibawa Debo adalah seorang ibu hamil yang terluka dibagian kaki. Sepertinya
punggung kakinya kejatuhan puing-puing bangunan. Beliau merintih kesakitan
sambil memegangi perutnya. Sepertinya ibu itu lebih khawatir mengenai keadaan
bayinya daripada punggung kakimya yang mengeluarkan banyak darah. Ibu itu
segera ditangani oleh dokter.
Bertubi-tubi
pasien yang datang sore ini. Suara reruntuhan bangunan masih terdengar
samar-samar dari dalam IGD. Jeritan, rintihan kesakitan menggema di seluruh
ruangan. Paramedis di sini sudah tidak bisa merasakan perutnya yang kosong
karena puasa seharian. Luka yang ada di depan mereka –yang mereka tangani—lebih
menyayat hati. Pikiran mereka dituntut untuk memberikan penanganan yang terbaik
untuk pasien-pasien ini. Bergatian mereka menunaikan ibadah shalat. Menuntun
pasien yang tidak bisa shalat secara sempurna. Doa-doa perdamaian dan
ketenangan menjadi doa utama mereka setelah doa kepada orang tua masing-masing
tentunya.
Sampai
adzan maghrib berkumandang, kegiatan di dalam IGD belum sepenuhnya selesai.
Jumlah pasien yang datang sedari tadi berjumlah puluhan. Segera OB mengantarkan
minuman dan buah kurma untuk mereka membatalkan puasa.
###
Setelah
seharian membantu di IGD, tim PMR dan teman-teman pak Umar beristirahat sambil
berbincang di lobi dekat kamar mereka. Obiet menggebu-gebu menceritakan
pasien-pasien yang ia tangani tadi sore.
“Ah,
saya tak sampai hati melihat ekspresi kesakitan diwajahnya…” cerita Obiet. “Eh,
Oik kemana?” tanyanya setelah kedua bola matanya berkeliling memandang semua
anggota.
“Katanya
tadi mau menemui Khumairah,” jawab Rahmi.
“Oo…”
Memang,
Oik sekarang sedang berada di kamar Khumairah. Ia mencoba mengajak Khumairah
berbicara dengan bahasa Inggris. Khumairah belajar dengan baik bersama Oik. Oik
menggambarkan sesuatu, lalu menuliskan nama benda/kegiatan itu dengan bahasa
Inggris. kemudian Khumairah menuliskan terjemahan bahasa Palestina dibawah teks
bahasa Inggris tulisan Oik. Mereka berdua terlihat akrab.
Hari-hari
berikutnya tidak kalah sibuk. Tentara Israel masih betah menyerang. Menembakkan
rudal, bom, untuk menghancurkan Palestina. Untuk menaklukkan negara penjaga
masjidil Aqsa ini.
Hari
ini tim PMR diijinkan untuk pergi ke TKP yang kemarin terkena serangan. Mereka
bertugas untuk membantu mencari korban-korban yang siapa tahu masih berada di
bawah puing-puing bangunan. Gedung-gedung sudah tidak berupa gedung. Banyak
sekali rumah yang kehilangan penghuninya. Palestina menangis. Warga sibuk berlalu-lalang
mencari keluarga mereka. Berharap tidak ada satupun yang menginggalkannya.
Setiap hari pemakaman juga tidak pernah sepi. Satu persatu pejuang kita
dipanggil oleh Allah Swt. Allah terlalu menyayangi mereka hingga dipanggil
lebih awal.
Puing-puing
bangunan memenuhi sebagian jalanan. Transportasi lumpuh. Beberapa orang sibuk
memindahkan puing-puing bangunan ke bahu jalan. Ramai sekali. Walaupun kejadian
seperti ini tidak bisa dihindari, mereka masih semangat dan tidak larut dalam
kesedihan. Dua korban telah berhasil diselamatkan. Satu dari mereka masih
diberi kesempaan untuk menghirup udara kehidupan.
Rahmi
dan Debo membantu mengantarkan korban menuju rumah sakit. Obiet sibuk membantu
mengangkat puing-puing bangunan. Oik berjalan-jalan disekitar reruntuhan.
Matanya menemukan sebuah binkai foto berikut fotonya. Ia mengambil bingkai yang
sudah retak itu. Terlihat foto sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan
lima orang anak. Senyum mereka sangat natural. Terbayang betapa bahagianya
mereka saat berfoto bersama. Dan sekarang
bagaimana keadaan mereka? Apakah baik-baik saja? Kapan senyum seperti ini akan
kembali menghiasi rumah besar ini? Semua pertanyaan-pertanyaan itu
mengganggu Oik. Ia tak tahu ada bagian puing-puing yang akan jatuh menimpanya.
Obiet
yang tak sengaja melihat langsung berteriak…
“OIKKK!!!!
AWAAAS!!! PERGI DARI SANA!!!”
Obiet
yang berjarak sepuluh meter dari Oik mencoba berteriak.
Tak
usah menunggu lama Oik berbalik dan segera menghindar dari reruntuhan. Ia
tersandung kemudian terjatuh. Tetapi untunglah ia berhasil lolos dari
reruntuhan itu. Oik terjatuh duduk. Nafasnya tersengal.
“OIIKK!”
Obiet berlari menuju tempat Oik berada.
Oik
menoleh ke Obiet dan tersenyum, mengisyaratkan bahwa ia tak apa-apa.
Namun,
Allah berkehendak lain. Dari kejauhan terlihat sebuah rudal yang sepertinya
mendekati tempat mereka berada. Seorang warga yang tahu akan hal itu segera
menari Obiet yang sudah beberapa langkah berlari.
Obiet
mencoba melepaskan pelukan orang itu. Percuma pelukannya terlalu kuat.
“OIIKK…
LARI… PERGI DARI SANA LARI!!!” Teriak Obiet yang masih mencoba melepaskan diri.
Oik
berdiri. Ia masih menyempatkan mengambil bingkai foto yang tadi.
DUARR…
Terlambat.
Rudal itu telah jatuh tak jauh dari tempat Oik berdiri. Kembali jatuh reruntuhan-reruntuhan
bangunan. Teriakan-teriakan, takbir bersama-sama asap mengepul, menyatu, menuju
ke langit.
Obiet
diselamatkan oleh warga Pakistan tadi. Beliau memeluk Obiet yang masih sibuk
meronta-ronta.
Asap
bercampur debu-debu masih berkeliling di sekitar sana. Mata belum bisa melihat
secara penuh. Obiet berhasil melepaskan pegangan. Ia mencoba berdiri sambil
memicingkan mata.
“OIKK!!
OIKK!! OIKK!!” Kau baik-baik sajakan? Jawab aku1 Aku mohon! Jawab aku!”
Obiet
kalap. Ia mencari-cari Oik ke kanan, ke kiri, ke depan, balik lagi ke belakang.
“Obiet!”
seseorang memanggil.
“Lintar…
Lintar…Lintar… Oik, dimana Oik?” Obiet berlari mendekat ke Lintar yang berjalan
sedikit pincang. Kaki kanan Lintar mengeluarkan darah.
“Obiet,
pipimu! Lihat! Berdarah.”
“Oik,
Ntar, Oik…” Obiet masih belum sadar.
“Iya,
aku tahu, tapi lihatlah pipimu berdarah. Apa tak sakit?”
Obiet
memegang pipi kirinya. Iya ada darah disana. Persaan khawatir menghilangkan
semua rasa sakit yang ia dapat. Oik sudah menjadi teman baiknya selama ini. Kepada
siapa lagi ia akan menceritakan semua keingan-keinginan konyolnya.
“Ini
pake sapu tanganku,” Lintar memberikan Obiet sapu tangan. Obiet mengelap darah dipipinya. Suara
reruntuhan sudah tidak ada. Asap sudah tidak mengganggu penglihatan. Obiet dan Lintar
segera mencari Oik kembali.
“Oiik….
Oikk…” teriakan mereka terus menggema di sekitar TKP. Obiet tak mempedulikan
korban-korban lain yang ia jumpai saat mencari Oik. Ia hanya fokus mencari Oik,
sahabat tercintanya. Mereka terus mencari ke bagian bangunan tempat Oik jatuh
tadi.
“Biet…
Lihat!” Lintar menunjuk sebuah pohon yang jatuh. Terlihat sesorang terbaring.
Lintar
dan Obiet segera berlari menuju pohon itu.
Oik
di sana terbaring lemas.
“OIIK!!!”
Obiet dan Lintar segera menggeser ranting pohon yang mengantam kaki Oik.
“Oik…
Oik… kau tak apa-apa?” tanya Obiet sembari memeluk kepala Oik. Lintar berlari
mencari bantuan.
Oik
masih sadar. Ia mengangguk pelan. Namun darah yang mengucur dari kakinya tidak
mau berhenti.
“Biet…”
kata Oik lirih.
“Jangan
bicara, diam dan tunggu di sini. Kau akan baik-baik saja. Kita akan pulang
besok. Sesuai jadwal!”
“Biet…
Kakiku sakit..”
“Iya
aku tahu, iya, sudah diam saja jangan bicara!” Obiet tak kuasa menahan air
matanya.
Oik
tersenyum. “Selamat ulang tahun…” ia menatap mata Obiet.
Obiet
tercengang. Ia melihat jam tangan hadiah dari Oik satu tahun yang lalu. Iya
benar, ini tanggal 16, hari dimana Obiet lahir di dunia ini.
“Bahkan
disaat seperti ini kamu masih ingat hari kelahiranku Ik.”
“Pasti
lah, aku kan satu-satunya sahabat kamu.”
Obiet
membelai rambut Oik dan tersenyum.
“Biet,
aku boleh pergi kan?”
Obiet
tercengang. “Apa maksudmu?”
“Ijinkan
aku pergi ya. Maaf, kau harus berjuang dijalan ini sendiri sekarang.”
“Tidak,
aku tidak mau. Kita sudah berjanji untuk pulang dalam keadaan baik-baik saja.
Kita sudah berjanji. Paramedis yang baik harus menepati janji. Ingat itu Ik!”
Oik
kembali tersenyum. “Lailahailallah.. muhammadarasulullah…”
Oik
menutup matanya.
Air
mata Obiet jatuh bertubi-tubi ke wajah Oik.
“Selamat
jalan sahabat. Kau selalu jadi yang pertama untukku. Perjalanan ini tak akan
aku lupakan begitu saja. Terima kasih atas ucapan ulang tahunnya.”
Lintar
kembali membawa bantuan, Rahmi dan Debo juga turut serta.
“Biet…”
sapa Rahmi.
Obiet
menggeleng dan masih menitikan air mata. Rahmi jatuh terduduk di tanah. Mereka
berduka. Anggota tim mereka telah mendahului pergi ke rumah Allah Swt. Oik
kehabisan darah, anemia yang ia derita menjadi faktor penyebab utama. Darah
yang keluar dari kakinya terlamapau banyak.
***
Mama
dan Papa Oik sangat terpukul atas meninggalnya Oik. Anak yang selama ini jarang
diberikan kasih sayang telah meninggalkan mereka. Percuma, penyesalan selalu
datang di akhir. Mereka tak bisa mengulang waktu kembali. Semua sudah terjadi.
PMR
berduka, SMA mereka hari ini mengadakan doa bersama untuk teman mereka yang
telah berjuang demi kemanusiaan. Obiet masih menitikan air mata. Ketika foto
Oik di pajang di mading. Senyum ceria Oik itu kini telah hilang. Menyisakan
memori yang terlalu manis untuk dilupakan.
“Biet,
aku menemukan ini di tas Oik,” kata Rahmi.
Obiet
membuka kotak berwarna merah yang diberikan Rahmi. Terdapat sebuah kalung
bermendel lambang kedokteran. Indah sekali. Ular yang melilit pada tongkat itu
terlihat gagah. Obiet mengambil kartu yang ada di dalamnya.
Selamat ulang tahun suara emas. Makasih
ya udah jadi temen baikku selama ini. Aku berikan kalung itu supaya perjuangan
kita tidak berakhir setelah lulus sekolah. Aku udah bilang ke Papa, Papa mau
banget bayarin kamu sekolah kedokteran. Nanti aku harap kita bisa satu kampus.
Aku nggak tahu kalo nggak ada kamu hidupku bakal seru atau nggak. Yang jelas
beberapa tahun lagi kita harus bisa jadi dokter yang menjunjung tinggi
kemanusiaan. Menghantarkan jasa selama-lamanya.
Obiet
menghapus air matanya.
“Makasih
banyak Ik. Aku akan menjaga amanah ini dengan baik.”
-TAMAT-
sumber: ainiamalia.blogspot.com |
Langganan:
Postingan (Atom)