Jumat, 19 Desember 2014

Payung Biru Brokoli

source: google
Hujan ini tak berhenti di sini saja rupanya. Sudah lima belas menit aku menunggu di koridor sekolah. Berharap dia datang kemudian berbagi payung denganku. Ah, beberapa hari ini dia selalu menghindariku. Tak pernah sekalipun membalas sms ataupun sapaanku. Ada apa denganmu? Biarlah dulu, mungkin dia butuh waktu untuk sendiri tanpa diganggu siapapun.
“Flo...”
Seseorang memanggilku. Reno, berdiri di sampingku sambil mengulurkan sebuah payung. Dan sepertinya aku kenal pemiliknya.
“Surya nitipin ini buat kamu,” katanya.
Aku menerima payung biru bertuliskan nama sebuah bank –ketahuan banget kalau dapetnya gratisan-. “Mana teman sebangkumu itu?”
“Udah pulang duluan. Kalian kenapa sih? Aku lihat akhir-akhir ini kalian renggang. Biasanya kan tuh bocah pulang bareng kamu.”
Aku mengangkat bahu. “Tanya aja sendiri. Makasih ya, aku pulang dulu!”
Aku meninggalkan Reno yang sedang bingung. Tuh kan, orang lain aja merasa kalau aku dan Surya si brokoli itu sedang renggang.
Aku memilah-milah jalan mana yang harus aku lewati, hujan lima belas menit ini telah berdampak buruk buat lingkungan sekitar. Genangan air di mana-mana. Mungkin juga penataan selokan yang buruk menambah parah situasi ini. Jadi inget, dulu saat kami –aku dan Surya- masih baluta alias bawah sepuluh tahun suka sekali main hujan. Walaupun di tangan kami ada payung, tidak kami gunakan. Ibu selalu marah-marah jika aku pulang bareng Surya diwaktu hujan. Ibu pasti tahu, malamnya aku akan bersin-bersin sampai membuat Ayah dan Ibuku tidak bisa tidur.
Aku dan Surya sudah berteman bahkan bisa dibilang bersahabat sejak kecil. Aku tak punya saudara di rumah. Surya hanya punya nenek yang yaah bisa dibilang sakit-sakitan (penyakit tua). Dan saat kami menginjak 12 tahun nenek Surya meninggalkannya untuk kembali ke Sang Pencipta. Ia sempurna tidak memiliki siapapun di dunia ini. Aku menjadi semakin sayang kepadanya. Untungnya Ibu bersedia membagi kasih sayangnya untuk Surya. Namun ia tak mau meninggalkan rumah tercintanya itu. Ini salah satu-satunya peninggalan neneknya.
Tapi, apa balasannya akhir-akhir ini. Huuh... Dia malah menjauh dariku. Padahal untuk saat ini aku sangat membutuhkannya. Aku mengikuti sebuah lomba karya ilmiah. Brokoli jenius ini sangat mengerti tentang tema yang dilombakan. Tanaman. Tentu saja aku sangat butuh bantuannya. Rumahnya saja sudah seperti hutan. Ia pantas dijuluki sebagai brokoli jenius penyelamat hutan.
Perjalanan pulang aku penuhi dengan mengutuki Surya. Awas saja kalau aku ketemu dengannya. Akan kulempar dia ke negeri pohon sana. Astaga bahkan aku tidak bisa tidur sekarang karena masih memikirkannya. Beberapa kali aku mencoba memejamkan mata dan beberapa kali juga berpindah posisi dari miring, posisi janin, tengkurap dan yang lainnya. Bahkan sempat mau coba tidur dengan kepala di bawah. Apapun itu aku coba untuk tetap bisa tidur.
Surya benar-benar membuat aku gila kali ini. Aku mencoba mengirim sms yang mungkin tidak akan dibalesnya juga.
Heeyyy brokoliii....
Terkirim. Nggak berharap juga di bales. Beberapa detik kemudian ada sms masuk. Astaga... Dibales... Aku segera membukanya dan ternyata sebuah sms penipuan minta transfer uang. Oh, ya ampun apa pula manfaatnya kirim sms beginian mengganggu orang saja. Tanpa pikir panjang aku matikan saja handphoneku. Aku sudah terlanjur sebel.
Aku mencari buku diariku di laci. Sudah lama aku tidak menulisinya. Mencurahkan semua perasaanku. Kubuka lembar demi lembar dan sedikit tertawa karena dulu ternyata aku alay banget menaggapi sesuatu. Namun tanganku terhenti membalikkan kertas. Tulisan tangan Surya. Aku ingat dia dulu maksa meminjam buku diariku. Padahalkan ini sangat vital bagi perempuan. Karena dia sudah aku anggap sebagai saudaraku sendiri jadi aku memperbolehkannya. Kemudian ia menuliskan janji-janji. Bahkan janji-janji ini aku ragu dia akan menepatinya lagi.
Kau tahu Flo, aku beruntung mempunyai sahabat sepertimu. Kau selalu memberikan warna dihidupku. Entah bagaimana caranya aku berterima kasih. Tapi aku benar-benar berterima kasih atas semuanya. Kau tempatku bersandar. Kau tempatku belajar arti keceriaan, kau tempatku belajar arti ketulusan. Kau tempatku belajar semuanya.
Ijinkanlah aku juga menjadi tempat yang nyaman untukmu. Aku akan selalu ada jika kau butuh. Aku akan selalu berhenti dari kesibukanku untuk mendengarkanmu. Aku berjanji akan lakukan itu Flo.
Air mataku jatuh tepat di bawah kalimat terakhir.
“Apa kau tak ingat ini Brokoli? Apa kau sudah melupakan janji-janjimu ini?”
Kemudian aku tertidur sambil memeluk buku diari kecilku. Aku terlalu lelah.
***  
Lagi-lagi aku berangkat sendirian. Aku melewati rumah Brokoli. Terlihat sepi. Kelihatannya dia sudah berangkat.
“Sampai kapan kau akan menghindariku brokoli???”
Aku selalu suka memanggilnya seperti itu. Rambutnya yang keriting seperti brokoli serta kesukaanya terhadap tumbuh-tumbuhan semakin membuat dia mirip dengan brokoli. Ah, aku rindu memanggilnya dengan itu secara langsung.
Saat istirahat aku memutuskan untuk pergi ke taman sebelah perpustakaan. Tempat di mana aku dan Brokoli itu menghabiskan sisa istirahat. Saling mengejek atau belajar bersama. Kami memang tidak satu kelas, makanya berbagi dengan siswa kelas lain tentang pelajaran itu selalu menyenangkan.
Apa aku tak salah lihat? Surya sedang duduk membelakangiku di bangku yang jaraknya sudah hanya beberapa meter dariku. Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus melabraknya sekarang? Tidakkah ini kesempatan yang bagus? Aku memberanikan diri mendekatinya, tinggal dua langkah lagi, tiba-tiba Surya berdiri dan berbalik. Kami saling tatap terkejut, kemudian Surya membuang pandangannya.
Aku harus menyelesaikan masalah ini. Dia tak bisa seenaknya memperlakukanku seperti ini. Aku juga punya perasaan. Ia hendak berbalik dan berjalan menjauhiku.
“Hei brokoli!!! Diam di sana!! Ini permintaan!!! Tidakkah kau merindukanku??”
Surya tak bergeming dari tempatnya berdiri.
“Heii!!! Mana janjimu kau selalu ada untukku, berhenti sejenak dari kesibukanmu dan mendengarkan keluh kesahku. Mana? Aku menagihnya sekarang. Bukankah janji adalah hutang?”
Sekali lagi ia tak bergerak sesentipun.
“Apa salahku? Bilang saja, aku akan dengan lapang dada menerimanya. Surya... Aku mohon...”
Sesak sudah, air mataku seenaknya jatuh. Dan kubiarkan ia mengalir sesukanya. Agar Surya mengerti, agar ia tahu aku benar-benar tulus memintanya kembali.
Surya mendengar isakanku, kemudian ia berbalik menatapku.
“Kau mau tahu jawabannya?” tanya Surya yang akhirnya membuka mulutnya.
Aku mengangguk sambil menyeka air mata.
“Karena kau telah mencuri hatiku...”
Aku langsung menatapnya tajam.
“Yaa, akhir-akhir ini aku menyadarinya. Sebenarnya apa yang aku rasakan padamu. Aku melihatmu bersama Ray dua minggu lalu. Kalian semakin dekat karena hal itu, aku semakin tak bisa tidur memikirkanmu Flo. Ya, aku cemburu. Sangat cemburu.”
“Mungkin kamu hanya cemburu sebagai sahabat Sur. Maafkan aku.”
“Tidak Flo. Aku sudah memastikannya berulang-ulang. Aku takut kehilanganmu. Rasanya beda saat kau dulu dekat dengan Weni. Sampai dulu bahkan kau melupakan janjimu main bersamaku. Dan kau main bersama Weni. Tidak, seratus persen beda. Kau hanya tak mengerti Flo.”
“Tapi kau tahu kan aku tak akan mengencani sahabatku sendiri. Rasanya akan berbeda. Dan aku menyayangimu selamanya sebagai sahabat Sur.”
“Iya aku tahu, sangat tahu. Maafkan aku telah mencintaimu Flo...”
Kami diam beberapa menit. Hanya berdiri, menatap jauh kemanapun, asal tidak menatap lawan bicara.
“Lalu, kenapa kau malah menjauhiku?”
“Karena aku tahu, kau tidak akan menyukainya. Jika bersamamu terus, rasa cinta itu akan tetap ada Flo. Maka sebentar saja aku berusaha menjauhimu untuk melupakan perasaan liar yang muncul dari hatiku kepadamu.”
“Tau kah kau jika hal itu malah menyakitiku Sur?”
“Maafkan aku. Aku juga tahu, aku semakin tak bisa berkonsentrasi dengan pelajaran dan hal apapun karena ini.”
“Tetaplah ada disampingku, tidakkah kau mencoba untuk berdamai dengan perasaanmu? Tidak bisakah aku hanya menjadi sahabatmu dan adikmu?”
Surya diam. Ia menatapku lamat-lamat.
“Surya... Kali ini aku memohon padamu.”
Ia menghela nafas panjang. Kemudian pergi meninggalkanku. Percakapan ini berakhir tanpa kesimpulan. Aku mengerti, mungkin ia butuh memikirkannya sendiri. Maafkan aku Brokoli. Kamu tahu sendiri alasan mengapa aku tak akan menjadikan sahabatku menjadi seorang kekasih.
Satu tahun yang lalu, aku juga mempunyai teman. Emma. Ia mempunyai sahabat kecil, Danuh. Namun, pada akhirnya mereka berdua jadian. Apa masalahnya? Bukankah hal itu baik? Bukankah mereka sudah memahami tabiat masing-masing?
Suatu hari entah karena apa mereka bertengkar hebat. Aku tak tahu persis asal muasalnya, karena memang aku tak suka menggosip. Aku hanya mendengarnya dari Emma bahwa ia putus dengan Danuh, saat aku tahu ada yang aneh dengan mereka berdua. Sampai sekarang, mereka tidak pernah akur lagi. Saling sapa pun tidak. Mereka menjadi musuh.
Aku tak tahu jika aku membiarkan Brokoli menyukaiku akhirnya akan seperti apa. Tapi aku takut, sangat takut jika Brokoli meninggalkanku bahkan membenciku.
### 
Pelajaran berakhir, tapi hujan juga nggak mau berakhir. Untung aku masih membawa payung milik Brokoli. Aku menunggunya di depan kelas. Sampai sepi sekali, ia tak muncul. Bagaimana dia pulang? Bahkan payungnya aku bawa. Setahuku dia tak punya payung lain selain payung biru hadiah doorprise milik neneknya ini. Ah, bodo amat, dia kan laki-laki, sudah 17 tahun, ia bisa mengurus dirinya sendiri.
Aku menyusuri halaman sekolah dengan masih memikirkan percakapan tak berujung dengan Brokoli tadi pagi.
“Boleh aku numpang pulang? Ini kan payungku!” Tiba-tiba seseorang sudah berada disampingku menarik-narik payung ke tubuhnya.
Aku berhenti berjalan dan memandangnya.
“Kenapa? Kau mulai menyukaiku?” Ia menyelidik.
Aku melotot.
“Sini aku yang pegang payungnya tuan putri. Ini sebagai permintaan maaf dariku. Maukah kau menjadi sahabatku selamanya sampai ke akhirat?”
Aku tersenyum dan mengangguk semangat.
Kami berjalan pulang dengan banyak bergurau sambil sesekali bermain air. Brokoli yang lebih tinggi dariku sengaja meninggikan payungnya agar aku basah kena air hujan.
“Brokolii!!! Aku basaaah, nanti kalau semalaman aku bersin-bersin Ibu dan Ayah nggak bisa tidur lagi.
Ia malah tertawa terbahak-bahak sengaja betul memainkan payung biru kesana-kemari.
“Hei Flo, selama ini aku belum memberikan julukan padamu kan. Kau seenaknya saja memanggilku brokoli. Sekarang kau kupanggil Miss Bersin. Hahahahaha...”
“Nggak mau, jelek tauukk...”
Aku memukulinya.

Sekarang Ia malah kabur membawa pergi payungnya dan meninggalkanku kebasahan. Tapi, aku lega, akhirnya kami akan tetap menjadi sahabat. Selamanya.
source: google

Kamis, 04 Desember 2014

Tari in Love

source: google
Ketika jantungmu berdebar-debar, ketika kau tak mampu berkata-kata, ketika tubuhmu mengeluarkan keringat dingin, kapan hal itu terjadi? Bertemu hantu? Menghadapi UAS? Bukan hal itu. Tapi melihatnya. Setiap kali aku melihatnya, semua gejala-gejala seperti yang aku tulis di atas menyerangku. Seperti sekarang. Dia sedang asik ngobrol dengan teman-temannya. Badannya yang tinggi besar, senyumnya yang menawan. Semuanya. Terlebih lagi sifat kesetiakawanan yang dia miliki. Aku mendapat cerita dari Shinta, temen satu kelasku bahwa dia sangat menyayangi teman-temannya.
“Kinaaan!”
Aku menoleh.
“Ada apa?” aku kembali menatap mas Ang.
“Apa sih yang kau lihat?” Rinda mengikuti arah mataku. “Oooohh... Mas Anggoro to? Kebiasaan ya, kalo suka mbok yo bilang.”
“Ssst...berisik tauk. Ngganggu konsentrasi.”
“Apa? Masak ngeliatin orang butuh konsentrasi? Ayo masuk, Bu Vizta udah nunggu. Bentar lagi kan festival, kita harus giat latihan!”
Rinda menarik paksa aku yang masih memandangi Mas Anggoro. Bener sih, aku harus segera latihan, banyak gerakan yang masih belum seragam. Satu minggu lagi kampus kami mau ikut festival tari yang diadakan oleh pak walikota.  Aku sangat menyukai kesenian yang satu ini.
Sesampainya di sanggar kami segera melakukan pemanasan.
“Minta perhatiannya sebentar anak-anak,” suara bu Vizta membuat kami terdiam. “Saya mendapatkan ide, ada tambahan pada adegan terakhir, setelah perang selesai, nanti Srikandi menari dengan Arjuna. Biar ada kesan love storynya.”
“Maaf  bu, terlambat. Tadi pas mau ke sini di panggil pak Rudi.”
Aku menoleh ke sumber suara. Mas Anggoro. Alasan paling utama aku sangat menyukainya adalah, walaupun dia laki-laki, dia tidak malu untuk ikut melestarikan warisan nenek moyang Indonesia. Ya, dia juga sangat menyukai tari tradisional. Dan pada sendra tari yang akan kami pentaskan, mas Ang menjadi sang Arjuna. Ahh,,, pas banget. Andai Srikandinya itu aku. Aku pasti menjadi peserta paling beruntung.
“Oh, iya Ang. Silahkan masuk. Baru pemanasan kok,” jawab Bu Vizta membuyarkan lamunanku.
*** 
Aku menyeka keringat. Kata Bu Vizta, kalau latihan nggak keringetan itu belum sungguh-sungguh. Jadi, ya tak apa. Yang penting aku bisa menampilakan yang terbaik. Tinggal tiga hari lagi festival dimulai. Mas Ang selalu menjadi penyemangatku untuk menjadi yang terbaik. Dia bisa, kenapa aku nggak? Mas Ang sekarang menjabat duta tari tradisional di kota kami. Aku harus bisa menyusulnya. Berlatih tari, memperkenalkan tari ke anak-anak, menjadikan tari sebagai kebanggaan Indonesia. That’s my dream.
Kurebahkan badanku di kursi sambil mengambil modul mata kuliah. Besok ada praktikum.
“Bu dokteeeeeeeerrrrrrrrr gigiii!!!”
Aku menoleh ke sumber suara.
“Calon ya, belum jadi dokter beneran. Lagipula masih semester dua. Ada apa?” tanyaku pada Rinda yang masih terlihat ngos-ngosan.
“Mbak Hapsari...Mbak Hapsari kecelakaan..!”
“Apa? Gimana keadaannya? Parah nggak? Dia masih bisa ikutan festival kan?”
Rinda menggeleng.
Aku menghela nafas. “Srikandi kami, Mbak Hapsari. Kenapa jadi begini? Bu Vizta sudah tahu?”
“Sudah,” Rinda melihat jam dinding. Sebentar lagi teman-teman pasti kesini. Bu Vizta tadi menyuruhku memberitahu kalian semua.”
Beberapa saat kemudian, anak-anak datang disusul kemudian bu Vizta. Mas Ang juga sudah ada di barisan depan. Ah, setelan kemeja dan celananya selalu pas.
“Kalian pasti sudah tahu kan berita tentang Hapsari?”
Anak-anak saling berbisik.
“Nah, apa boleh buat, karena kaki Hapsari terluka, kita harus segera mencari penggantinya. Siapa yang mau? Tiga hari harus bisa menguasai.”
Kami saling pandang. Kemudian rasanya semua mata tertuju kearahku.
“Kenapa?” kataku. Jangan... jangann... “Aku?” kuarahkan jari telunjuk ke arah tubuhku. Mereka mengangguk. Rinda malah semakin semangat mengangguk.
“Kamu kan Kin yang selama ini cepat menangkap apa yang selalu diajarkan bu Vizta.”
Aku mencari si sumber suara. Dan, yang barusan bicara menyampaikan argumen adalah mas Ang. Oh Tuhan, betapa senangnya hatiku.
Berlatih, berlatih dan berlatih. Sehabis kuliah, aku harus segera berlatih, memadatkan jadwal selama 3 hari penuh. Dan yang lebih membuat deg-deg an. Saat adegan terakhir yang mempertemukan Srikandi dan Arjuna itu lho. Membuat aku nggak bisa konsentrasi. Memandangi wajahnya. Tak hanya sekedar diam-diam. Tapi kali ini kurang dari 50cm. Bayangkan pemirsa!
Latihan yang terakhir tanpa masalah. Sepertinya sudah terbiasa dengan pemandangan aneh ini. Walopun ada beberapa yang suka salah.
Festival dimulai. Semua orang sibuk mempersiapkan diri. Semoga hari ini lancar. Aku mencari-cari mas Ang. Ah itu dia, dengan kostumnya, ia menjadi semakin menawan.
Tiba giliran kampus kami. Saat aku akan maju, ada yang menggoyang-goyangkan bahuku.
“Kinaan, Kinaan!”
Aku membuka mata. dan menoleh ke sumber suara.
“Mbak Hapsari?”
“Bangun, ayo latihan, tinggal tiga hari lagi lho!”
-TamaT-