source: google |
Ketika
jantungmu berdebar-debar, ketika kau tak mampu berkata-kata, ketika tubuhmu
mengeluarkan keringat dingin, kapan hal itu terjadi? Bertemu hantu? Menghadapi
UAS? Bukan hal itu. Tapi melihatnya. Setiap kali aku melihatnya, semua
gejala-gejala seperti yang aku tulis di atas menyerangku. Seperti sekarang. Dia
sedang asik ngobrol dengan teman-temannya. Badannya yang tinggi besar,
senyumnya yang menawan. Semuanya. Terlebih lagi sifat kesetiakawanan yang dia
miliki. Aku mendapat cerita dari Shinta, temen satu kelasku bahwa dia sangat
menyayangi teman-temannya.
“Kinaaan!”
Aku
menoleh.
“Ada
apa?” aku kembali menatap mas Ang.
“Apa
sih yang kau lihat?” Rinda mengikuti arah mataku. “Oooohh... Mas Anggoro to? Kebiasaan ya, kalo suka mbok yo bilang.”
“Ssst...berisik
tauk. Ngganggu konsentrasi.”
“Apa?
Masak ngeliatin orang butuh konsentrasi? Ayo masuk, Bu Vizta udah nunggu.
Bentar lagi kan festival, kita harus giat latihan!”
Rinda
menarik paksa aku yang masih memandangi Mas Anggoro. Bener sih, aku harus
segera latihan, banyak gerakan yang masih belum seragam. Satu minggu lagi
kampus kami mau ikut festival tari yang diadakan oleh pak walikota. Aku sangat menyukai kesenian yang satu ini.
Sesampainya
di sanggar kami segera melakukan pemanasan.
“Minta
perhatiannya sebentar anak-anak,” suara bu Vizta membuat kami terdiam. “Saya
mendapatkan ide, ada tambahan pada adegan terakhir, setelah perang selesai,
nanti Srikandi menari dengan Arjuna. Biar ada kesan love storynya.”
“Maaf bu, terlambat. Tadi pas mau ke sini di
panggil pak Rudi.”
Aku
menoleh ke sumber suara. Mas Anggoro. Alasan paling utama aku sangat
menyukainya adalah, walaupun dia laki-laki, dia tidak malu untuk ikut melestarikan
warisan nenek moyang Indonesia. Ya, dia juga sangat menyukai tari tradisional.
Dan pada sendra tari yang akan kami pentaskan, mas Ang menjadi sang Arjuna. Ahh,,,
pas banget. Andai Srikandinya itu aku. Aku pasti menjadi peserta paling
beruntung.
“Oh,
iya Ang. Silahkan masuk. Baru pemanasan kok,” jawab Bu Vizta membuyarkan
lamunanku.
***
Aku
menyeka keringat. Kata Bu Vizta, kalau latihan nggak keringetan itu belum
sungguh-sungguh. Jadi, ya tak apa. Yang penting aku bisa menampilakan yang
terbaik. Tinggal tiga hari lagi festival dimulai. Mas Ang selalu menjadi
penyemangatku untuk menjadi yang terbaik. Dia bisa, kenapa aku nggak? Mas Ang
sekarang menjabat duta tari tradisional di kota kami. Aku harus bisa
menyusulnya. Berlatih tari, memperkenalkan tari ke anak-anak, menjadikan tari
sebagai kebanggaan Indonesia. That’s my
dream.
Kurebahkan
badanku di kursi sambil mengambil modul mata kuliah. Besok ada praktikum.
“Bu
dokteeeeeeeerrrrrrrrr gigiii!!!”
Aku
menoleh ke sumber suara.
“Calon
ya, belum jadi dokter beneran. Lagipula masih semester dua. Ada apa?” tanyaku
pada Rinda yang masih terlihat ngos-ngosan.
“Mbak
Hapsari...Mbak Hapsari kecelakaan..!”
“Apa?
Gimana keadaannya? Parah nggak? Dia masih bisa ikutan festival kan?”
Rinda
menggeleng.
Aku
menghela nafas. “Srikandi kami, Mbak Hapsari. Kenapa jadi begini? Bu Vizta
sudah tahu?”
“Sudah,”
Rinda melihat jam dinding. Sebentar lagi teman-teman pasti kesini. Bu Vizta
tadi menyuruhku memberitahu kalian semua.”
Beberapa
saat kemudian, anak-anak datang disusul kemudian bu Vizta. Mas Ang juga sudah
ada di barisan depan. Ah, setelan kemeja dan celananya selalu pas.
“Kalian
pasti sudah tahu kan berita tentang Hapsari?”
Anak-anak
saling berbisik.
“Nah,
apa boleh buat, karena kaki Hapsari terluka, kita harus segera mencari
penggantinya. Siapa yang mau? Tiga hari harus bisa menguasai.”
Kami
saling pandang. Kemudian rasanya semua mata tertuju kearahku.
“Kenapa?”
kataku. Jangan... jangann... “Aku?” kuarahkan jari telunjuk ke arah tubuhku.
Mereka mengangguk. Rinda malah semakin semangat mengangguk.
“Kamu
kan Kin yang selama ini cepat menangkap apa yang selalu diajarkan bu Vizta.”
Aku
mencari si sumber suara. Dan, yang barusan bicara menyampaikan argumen adalah
mas Ang. Oh Tuhan, betapa senangnya hatiku.
Berlatih,
berlatih dan berlatih. Sehabis kuliah, aku harus segera berlatih, memadatkan
jadwal selama 3 hari penuh. Dan yang lebih membuat deg-deg an. Saat adegan
terakhir yang mempertemukan Srikandi dan Arjuna itu lho. Membuat aku nggak bisa
konsentrasi. Memandangi wajahnya. Tak hanya sekedar diam-diam. Tapi kali ini
kurang dari 50cm. Bayangkan pemirsa!
Latihan
yang terakhir tanpa masalah. Sepertinya sudah terbiasa dengan pemandangan aneh
ini. Walopun ada beberapa yang suka salah.
Festival
dimulai. Semua orang sibuk mempersiapkan diri. Semoga hari ini lancar. Aku
mencari-cari mas Ang. Ah itu dia, dengan kostumnya, ia menjadi semakin menawan.
Tiba
giliran kampus kami. Saat aku akan maju, ada yang menggoyang-goyangkan bahuku.
“Kinaan,
Kinaan!”
Aku
membuka mata. dan menoleh ke sumber suara.
“Mbak
Hapsari?”
“Bangun,
ayo latihan, tinggal tiga hari lagi lho!”
-TamaT-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar