Kamis, 04 Desember 2014

Tari in Love

source: google
Ketika jantungmu berdebar-debar, ketika kau tak mampu berkata-kata, ketika tubuhmu mengeluarkan keringat dingin, kapan hal itu terjadi? Bertemu hantu? Menghadapi UAS? Bukan hal itu. Tapi melihatnya. Setiap kali aku melihatnya, semua gejala-gejala seperti yang aku tulis di atas menyerangku. Seperti sekarang. Dia sedang asik ngobrol dengan teman-temannya. Badannya yang tinggi besar, senyumnya yang menawan. Semuanya. Terlebih lagi sifat kesetiakawanan yang dia miliki. Aku mendapat cerita dari Shinta, temen satu kelasku bahwa dia sangat menyayangi teman-temannya.
“Kinaaan!”
Aku menoleh.
“Ada apa?” aku kembali menatap mas Ang.
“Apa sih yang kau lihat?” Rinda mengikuti arah mataku. “Oooohh... Mas Anggoro to? Kebiasaan ya, kalo suka mbok yo bilang.”
“Ssst...berisik tauk. Ngganggu konsentrasi.”
“Apa? Masak ngeliatin orang butuh konsentrasi? Ayo masuk, Bu Vizta udah nunggu. Bentar lagi kan festival, kita harus giat latihan!”
Rinda menarik paksa aku yang masih memandangi Mas Anggoro. Bener sih, aku harus segera latihan, banyak gerakan yang masih belum seragam. Satu minggu lagi kampus kami mau ikut festival tari yang diadakan oleh pak walikota.  Aku sangat menyukai kesenian yang satu ini.
Sesampainya di sanggar kami segera melakukan pemanasan.
“Minta perhatiannya sebentar anak-anak,” suara bu Vizta membuat kami terdiam. “Saya mendapatkan ide, ada tambahan pada adegan terakhir, setelah perang selesai, nanti Srikandi menari dengan Arjuna. Biar ada kesan love storynya.”
“Maaf  bu, terlambat. Tadi pas mau ke sini di panggil pak Rudi.”
Aku menoleh ke sumber suara. Mas Anggoro. Alasan paling utama aku sangat menyukainya adalah, walaupun dia laki-laki, dia tidak malu untuk ikut melestarikan warisan nenek moyang Indonesia. Ya, dia juga sangat menyukai tari tradisional. Dan pada sendra tari yang akan kami pentaskan, mas Ang menjadi sang Arjuna. Ahh,,, pas banget. Andai Srikandinya itu aku. Aku pasti menjadi peserta paling beruntung.
“Oh, iya Ang. Silahkan masuk. Baru pemanasan kok,” jawab Bu Vizta membuyarkan lamunanku.
*** 
Aku menyeka keringat. Kata Bu Vizta, kalau latihan nggak keringetan itu belum sungguh-sungguh. Jadi, ya tak apa. Yang penting aku bisa menampilakan yang terbaik. Tinggal tiga hari lagi festival dimulai. Mas Ang selalu menjadi penyemangatku untuk menjadi yang terbaik. Dia bisa, kenapa aku nggak? Mas Ang sekarang menjabat duta tari tradisional di kota kami. Aku harus bisa menyusulnya. Berlatih tari, memperkenalkan tari ke anak-anak, menjadikan tari sebagai kebanggaan Indonesia. That’s my dream.
Kurebahkan badanku di kursi sambil mengambil modul mata kuliah. Besok ada praktikum.
“Bu dokteeeeeeeerrrrrrrrr gigiii!!!”
Aku menoleh ke sumber suara.
“Calon ya, belum jadi dokter beneran. Lagipula masih semester dua. Ada apa?” tanyaku pada Rinda yang masih terlihat ngos-ngosan.
“Mbak Hapsari...Mbak Hapsari kecelakaan..!”
“Apa? Gimana keadaannya? Parah nggak? Dia masih bisa ikutan festival kan?”
Rinda menggeleng.
Aku menghela nafas. “Srikandi kami, Mbak Hapsari. Kenapa jadi begini? Bu Vizta sudah tahu?”
“Sudah,” Rinda melihat jam dinding. Sebentar lagi teman-teman pasti kesini. Bu Vizta tadi menyuruhku memberitahu kalian semua.”
Beberapa saat kemudian, anak-anak datang disusul kemudian bu Vizta. Mas Ang juga sudah ada di barisan depan. Ah, setelan kemeja dan celananya selalu pas.
“Kalian pasti sudah tahu kan berita tentang Hapsari?”
Anak-anak saling berbisik.
“Nah, apa boleh buat, karena kaki Hapsari terluka, kita harus segera mencari penggantinya. Siapa yang mau? Tiga hari harus bisa menguasai.”
Kami saling pandang. Kemudian rasanya semua mata tertuju kearahku.
“Kenapa?” kataku. Jangan... jangann... “Aku?” kuarahkan jari telunjuk ke arah tubuhku. Mereka mengangguk. Rinda malah semakin semangat mengangguk.
“Kamu kan Kin yang selama ini cepat menangkap apa yang selalu diajarkan bu Vizta.”
Aku mencari si sumber suara. Dan, yang barusan bicara menyampaikan argumen adalah mas Ang. Oh Tuhan, betapa senangnya hatiku.
Berlatih, berlatih dan berlatih. Sehabis kuliah, aku harus segera berlatih, memadatkan jadwal selama 3 hari penuh. Dan yang lebih membuat deg-deg an. Saat adegan terakhir yang mempertemukan Srikandi dan Arjuna itu lho. Membuat aku nggak bisa konsentrasi. Memandangi wajahnya. Tak hanya sekedar diam-diam. Tapi kali ini kurang dari 50cm. Bayangkan pemirsa!
Latihan yang terakhir tanpa masalah. Sepertinya sudah terbiasa dengan pemandangan aneh ini. Walopun ada beberapa yang suka salah.
Festival dimulai. Semua orang sibuk mempersiapkan diri. Semoga hari ini lancar. Aku mencari-cari mas Ang. Ah itu dia, dengan kostumnya, ia menjadi semakin menawan.
Tiba giliran kampus kami. Saat aku akan maju, ada yang menggoyang-goyangkan bahuku.
“Kinaan, Kinaan!”
Aku membuka mata. dan menoleh ke sumber suara.
“Mbak Hapsari?”
“Bangun, ayo latihan, tinggal tiga hari lagi lho!”
-TamaT-


Tidak ada komentar:

Posting Komentar