Senin, 30 Juli 2012

Bulan Sabit Reza episode 1


 “Zaa... kamu ngapain duduk di pinggir?”
Aku menoleh.
“Hehe... Tadi ada cicak nongkrong di situ. Nggak tega aku ngusirnya,” jawabku asal.
"Kamu ini, sukanya bercanda mulu. Bangku lebar kyak gt kok milih duduk di pinggir. Yaudah yuk, kamu nunggu lama ya? Sorry ya bro, tadi dosen ngaret."
Aku hanya nyengir.
Sebenarnya sih bukan cicak atau bahkan semut. Ular aja bakalan aku usir. Tapi ada sesuatu di sana. Yang hanya aku yg tau.
Aku dikaruniai kelebihan ini, tunggu. . . Ini sebuah kelebihan atau kekurangan ya? Aku sebut kelebihan saja. Karunia Allah tepatnya. Karena apa? Jarang sekali orang yang mempunyai bakat seperti ini. Awalnya ngeri emang.
Lima belas tahun yang lalu, aku sakit sakitan karena telah diberi 'sesuatu' ini. Entah apa alasanya, mungkin supaya aku bisa membantu 'mereka'. Umurku tiga waktu itu. Aku sakit selama satu bulan. Panas dingin panas dingin seluruh tubuhku. Orang tuaku sampai kewalahan membawaku ke dokter seminggu 3 kali. Namun hari itu,tiba tiba aku sembuh. Otomatis orang tuaku senang akan hal itu.
Tapi, masalah muncul. Kata mama, aku sering berbicara sendiri. Padahal aku tahu aku sedang bermain bersama anak tetangga sebelah. Aku tak menghiraukan mama.
Suatu hari, aku mengajaknya bermain bola bersama anak anak yang lain. Hal yang sama terjadi.
"Kak Obiet! Aku bawa teman nih, biar dia ikut main ya?"
Obiet menghampiriku.
"Mana?"
"Ini,” aku memperkenalkan anak tetangga itu.
"Ndak ada siapa siapa kawan, kau jangan bercanda."
Kak Ru membisikkan sesuatu ke kak Obiet.
"Yaudah kau boleh main sma teman hayalanmu itu."Bingunglah aku. Keanehan keanehan ini aku ulang beberapa kali. Sampai beberapa anak memanggilku gila. Belakangan aku tahu bahwa memang tidak ada anak tetangga itu. Kata mama, ketika aku mengoceh terus tentang anak tetangga itu, ia sudah meninggal 5 tahun yg lalu. Aku baru sadar.
Ternyata aku punya ‘sesuatu’. aku juga melihat banyak ketika di sekolah dasar dulu. Ngeri? Sebenaranya tidak. Mereka terlihat biasa saja.
“Zaa..”
“Eh...”
“Mulai aneh lagi ni anak. Obat udah di minum? Hahaha...”
Aku menjitak kepala Jay. Aku memang tidak pernah menggembor geborkan kelebihanku ini kepada orang-orang. Ayah Ibuku pun nggak tahu. Mereka hanya tahu bahwa mereka punya anak yang suka sekali berimajinasi memikirkan teman hayalan. Maklumlah anak tunggal.
            Sempat mereka ingin membuatkan adik untukku, tapi sepertinya Allah belum mengijinkan. Aku harus sendirian menjaga mereka. Dan akau tidak boleh lelah.
            Sesampainya di sanggar –kami menyebut basecamp teater kami dengan sebutan sanggar- kami segera membicarakan topik terhangat satu bulan ini, pentas tahunan. Yah, untuk menjaga agar unit kegiatan mahasiswa ini tidak hilang ditelan jaman, setiap tahun kami mengadakan pentas tahunan. Acaranya diselenggarakan lusa. Beberapa persiapan sudah matang. Seperti dana, kesiapan mental pemain, aransemen musik, dan lain lain. Sekarang yang kita fikirkan adalah mematangkan bagaimana dekorasi panggung.
            ***  
            Aku berjalan pulang. Lagi-lagi tidak sendirian. Sudah dua hari ini aku dibuntuti. Ingin sekali mengusirnya. Tapi apa daya, sudah berkali-kali mencoba. Dia sangat keras kepala. Aku berhenti di halte. Ia tetap saja mencuri pandang. Huft...
            Ia berjalan mendekatiku. Aku santai saja, pura-pura tidak tahu.
            “Ayolah kak, kakak jangan berpura-pura tidak melihatku. Aku tahu kakak orang itu, kakak harus membantuku, kakak sudah ditakdirkan untuk itu,” ia mencoba merayuku.
            “Apa maksudmu? Aku tidak mengerti,” aku mencoba meredam emosiku. Aku sedang tidak ingin diganggu. Apalagi dia, kata-katanya sungguh aneh, emang aku siapa? Reza, hanya manusia biasa.
            “Setidaknya kakak bertanya bisa bertanya, bantuan apa yang bisa kakak berikan untukku. Ayolah kak!”
“Sudah aku bilang aku tidak mau berurusan denganmu atau yang lain!” suaraku meninggi. Orang-orang memandangku. Kalau aku tidak segera pergi dari sini bisa-bisa disangka orang gila. Lebih baik aku pergi saja.
“Kakak!!! Tunggu!”
Aku mempercepat langkahku. Setidaknya aku mencari tempat yang sepi untuk leluasa memarahinya. Sebenarnya, aku mempunyai ‘sesuatu’ (lagi). Aku bisa membaca pikirannya, Jay, Ayah, Ibu dan yang lainnya. Aku pura-pura saja tidak tahu. Aku tidak mau dia tahu.
Akhirnya aku berhenti.
“Kak, aku mohon bantu aku.”
“Apa untungnya buatku?”
Ia diam sejenak.
Aku meneruskan jalan.
“Kakak kan bisa mendapat pahala dari membantuku.”
Aku berhenti dan berbalik.
“Hhh... Siapa namamu? In... In...” bahkan aku lupa namanya, memang sengaja nggak aku ingat-ingat sih.
“Inay kak Inay!”
“Ya Inay, Inay urusan kamu sudah selesai. Kamu seharusnya hidup tenang di sana. Bukan malah membuntutiku seperti ini.”
“Kakak salah, urusanku belum selesai. Makanya aku minta bantuan kakak. Hanya kakak yang bisa, aku sudah mencari-cari kakak, kata mereka kakak bisa membantu.”
“Mereka? Mereka siapa?”
“Yang ada di kampus kakak. Tak sengaja aku ingin bermain dikampus kakak, siapa tahu menemukan orang seperti kakak. Dan mereka bilang, kakak adalah orangnya. Ayolah kak, bantu aku, aku akan pergi setelah semuanya selesai.”
bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar