Angin semilir mengibaskan bendera
kecil yang ia pegang. Bendera dari kain perca itu hasil jahitan tangan sendiri.
Jahitannya terlihat tak rapi. mingser sana-sini. Dipandanginya bendera itu
dengan saksama, seperti melihat benda keramat yang tak boleh rusak.
“Obiiieeet!!! Sini nak, Ibu perlu
bantuan!”
Obiet meletakkan sang saka di
sela-sela dinding kayu rumahnya.
“Baik-baik di sini ya, jangan
pergi kemana-mana. Hanya kau yang kupunya. Mengerti!” katanya.
Kemudian ia berlari menemui
sumber suara. Membantu Ibunya menimba air untuk mencuci pakaian. Ia berhenti
setelah melihat pakaiaan Bapaknya.
“Kok berhenti nak? Ayo airnya
ditambah!”
“Obiet inget Bapak. Bapak akan
pulang kan Bu?” Ia menatap Ibunya, berharap ada jawaban seperti yang ia
inginkan.
Ibu menghentikan pekerjaannya dan
menghela nafas. “ Pasti nak, pasti. Bapak kan sudah janji to sama Obiet, kalau
Bapak akan segera pulang.” Ibu memaksa tersenyum.
“Nanti Obiet nggak mau jadi
tentara!”
“Memangnya kenapa Biet? Tugas
tentara itu banyak pahalanya lho. Bisa melindungi bangsa dan negara kita ini.”
“Obiet nggak mau anak Obiet nanti
berharap-harap Obiet untuk pulang, tapi belum tentu akan pulang. Hidup ataupun
mati.”
Ibu tersenyum dan memberi isyarat
untuk kembali menimba air. Obiet kembali melakukan aktifitasnya dengan kesal.
Kesal karena tangan kecilnya sudah harus dipekerjakan menimba air, kesal karena
Bapak tak kunjung pulang. Padahal Bapak janji akan segera pulang. Dan
membawakan hadiah untuk Obiet. Sebuah bendera merah putih besar untuk
dikibarkan di depan rumah seperti yang ada di depan markas Bapak.
Saat Obiet sedang sibuk dan
tenggelam dalam pemikirannya tentang bendera merah putih besar, seorang anak
iseng mengambil bendera kecil kain perca milik Obiet yang ia sematkan di tembok
kayu. Ia memainkannya, membawanya pergi berlarian.
Beberapa saat kemudian Obiet
muncul. Ia melihat anak itu menjadikan benderanya sebagai pembungkus buah sawo
milik tetangga depan rumah Obiet. Sesaat ia tak menyangka kalau itu adalah
bendera miliknya, kemudian ia menengok ke arah tempat dimana bendera ia
sematkan sebelumnya. Kosong.
“Ya,, tak salah lagi, itu pasti
benderaku. Pasti!”
“Hoi! Kembalikan benderaku!”
teriaknya sambil menghampiri si pencuri bendera.
Anak kecil itu menyembunyikan
bendera Obiet di belakang punggung. “Tidak, tidak, ini punyaku!”
“Kamu dapat darimana ha? Dari
rumahku kan?” Obiet menyeringai galak. Wajar kalau ia semarah itu, bendera
perca itu ia jahit sendiri. Kainnya ia dapat dari sobekan bendera di jalan
besar. Sepertinya Belanda lah yang telah menyobek bendera itu dan seenaknya
saja mereka buang di tanah. Obiet memungut sisa sobekan dan menjahitnya hingga
menjadi bendera yang lebih kecil.
Anak kecil itu lari menjauhi
Obiet, yang kemudian dikejar balik oleh Obiet.
“Tunggu!!! Serahkan benderaku!”
Beberapa meter kemudian anak itu
tertangkap. Namun kembali lepas karena badannya yang licin karena keringat. Ia
bertelanjang dada, hanya memakai celana pendek lusuh banyak tambalan. Namun
beberapa langkah berlari anak kecil itu jatuh terperosok. Obiet segera datang
membantunya berdiri.
“Nah ketangkap kau sekarang. Sini
kembalikan benderaku.”
“Tapi.. Tapi.. Bagaimana caranya
aku membawa sawo-sawo ini pulang ke rumah?”
Obiet mengamati penampilan anak
itu. Ia memandang beberapa sawo yang dibungkus bendera. Obiet melepas baju dan
memberikannya kepada si anak.
“Ini, pengganti bendera punyaku.
Bungkus saja dengan ini.” Diserahkanlah bajunya.
Anak kecil itu ragu-ragu menerima
dan memindahkan semua sawo ke baju Obiet.
“Sudah, sana pulang! Jangan
sampai aku melihat kau mencuri barang yang bukan milikmu!”
Anak kecil itu mengangguk
mengerti dan segera mengambil langkah seribu. Sesampainya di rumah, Ibu
menanyakan kemana perginya kaos anaknya. Obiet menjawab seenaknya.
“Hanyut di kali.” Ia langsung
masuk kamar.
***
Malam ini Ibu mengajak Obiet ke sebuah
pertunjukan wayang, tentunya setelah rengekan Obiet yang tak teredamkan. ia
harus datang, karena semua teman sepermainannya datang melihat. Tak lupa
bendera kesayangannya ia bawa. Di sana, banyak sekali orang yang menonton, dari
pejabat desa, orang-orang Belanda sampai pribumi-pribumi biasa.
“Idiihh... apaan tuh kusut amat?
Sapu tangan?” seorang anak sebaya dengan Obiet berpenampilan rapi
menghampirinya.
“Enak aja, kau tak tahu ini apa?
Bendera merah putih! !!” Obiet mengangkat tinggi-tinggi benderanya.
“Hahaha... Eh, anak perwira! asal
kau tahu saja ya, kau telah menjelek-jelekkan negara kita dengan masih
menyimpan kain kusut seperti itu. Apa perlu aku mintakan ayahku uang untuk
membelikan bendera untukmu. Ayahku kan jenderal, jadi ia bisa beli apa saja!”
“Ini adalah milikku yang
berharga, aku mendapatkannya dengan jerih payahku sendiri, aku menjahitnya
dengan tanganku sendiri, dan aku mempertahankannya dengan tanganku sendiri. Itu
sudah lebih dari cukup daripada kau yang suka minta-minta sama Ayah jenderalmu
itu!”
“Dibilangin nyolot ya!”
Anak itu melayangkan pukulan ke
pipi Obiet. Ibu yang tadi sedang mengobrol kaget anaknya tersungkur ke tanah.
“Nak Cakka! Cukup, apa yang kamu
lakukan pada Obiet!”
Obiet berdiri dan memeluk Ibunya.
“Ia mengejek benderaku Bu!” katanya.
“Nak Cakka, kamu tidak boleh
kasar kepada teman sendiri,” nasihat Ibu.
“Dia bukan temanku! Dia hanya
anak seorang perwira!”
“Walaupun Ayahnya seorang
perwira, Obiet akan tetap bangga. Karena tanpa perwira-perwira siapa yang akan
bertempur melawan Belanda? Memang Jenderal adalah pangkat tinggi, seperti Ayah
nak Cakka, tapi kalau Jenderal berperang sendirian, tak akan kuat melawan
penjajah negeri ini. Dengan kepintaran Jenderal ditambah keahlian perang
perwira, merdekalah Indonesia kita ini, dan mereka akan segera pergi dari
sini.”
Cakka kehabisan kata-kata dan
segera pergi meninggalkan Ibu dan Obiet. Ibu mengajak Obiet pulang.
“Ibu, apakah Bapak pintar dan
hebat?” tanya Obiet di perjalanan.
“Tentu.”
“Tapi kenapa Bapak tidak jadi
jenderal?”
“Biet, Bapak kan baru bergabung
dengan tentara, tidak semudah itu, butuh perjuangan dan ketekunan. Ayah Cakka
dulu juga seperti itu.”
“Obiet akan belajar dengan
tekun.”
“Bagus itu, memangnya kenapa?”
“Obiet nggak mau anak Obiet nanti
di ejek sama teman-temannya.”
Ibu tertawa kecil.
“Pangkat yang lebih tinggi dari
jenderal apa Bu?”
“Emm.. apa ya? Ah,, Presiden.”
“Obiet mau jadi presiden aja.”
“Biet, cita-cita itu harus
ditemukan dari dalam hati, bukan hanya sekedar memenuhi dendam. Kelak seiring
berjalannya waktu kamu pasti menemukan sesuatu yang kau sukai. Tapi kalau mau
jadi presiden juga boleh, asal dapat memakmurkan negara kita ini, membantu
orang-orang yang membutuhkan dan menjalankan pemerintahan dengan jujur dan
adil.”
Obiet mengangguk, sesampainya di
rumah ia langsung pergi ke kamar tidur.
“Eh, cuci kaki dulu, calon
presiden juga harus menyukai kebersihan.”
***
Obiet berlarian di sebuah tanah
kosong di dekat markas tentara yang tak jauh dari rumahnya. Kemudian ia melihat
Cakka duduk sendirian di sebuah pohon tumbang. Ia kelihatan sedih. Obiet
ragu-ragu menghampiri.
Merasa ada yang datang, Cakka
menoleh.
“Sedang apa kau?” tanya Obiet.
Cakka diam, ia kembali menatap
semut yang berjalan rapi seperti tentara.
Obiet memutuskan untuk duduk.
“Tak bisa bertemu Pak Jenderal?”
Cakka mengangguk. “ia tak pernah
mengurusiku. Selau dan selalu orang lain yang ia urus, aku berharap para
penjajah itu segera pergi dari sini, sehingga aku akan selalu bisa bermain
dengan Ayahku.”
“Kau tahu Cak, kita sama.”
“Tidak, kau anak perwira, aku
anak Jenderal!”
“Aku tak pernah bisa main dengan
Bapak, aku tak pernah tidur dipeluk Bapak. Bapak juga selalu mengurus para
penjajah itu. Jadi kita sama kan?’’
“Tapi, kelihatannya kau baik-baik
saja. Tak pernah sedih.”
“Itu karena aku banyak teman yang
aku ajak bermain. Cobalah main dengan anak-anak lain.”
“Mereka tak sederajat denganku.”
“Kalau kau mencari teman dengan seperti
itu, kau tak akan pernah punya teman.”
Cakka diam. Ia terlihat berfikir.
Di sela-sela ia berfikir, tiba-tiba suara dentuman keras terdengar. Dan asap
keluar dari belakang markas tentara.
“Ayo lariiiiiii!!!” Obiet menarik
lengan Cakka.
“Biar, biar aku mati. Kalau aku
hidup pun aku tak punya teman!”
“Kau gila? Ayoo cepat!” Caka tak
bergeming. Suara tembakan mulai terdengar. “Baiklah, kalau aku mau jadi temanmu
kau mau pergi dari sini?”
Cakka menoleh ke Obiet. Obiet
segera menarik Cakka kuat-kuat. Mereka berlari sekuat tenaga menghindari
pertempuran itu. Suara meriam dan tembakan-tembakan semakin mendekat. semua
warga berhamburan menyelamatkan diri. mereka berdua berada di tengah-tengah
kerumunan.
DUAAARRR... DUARRRR... DOORRRR...
DOOORRR...
“BAGAIMANA INII?? KITA HARUS
KEMANA??” tanya Cakka.
“AKU TAK TAHU! AKU HARUS MENCARI
IBUKU!” jawab Obiet.
“TAK MUNGKIN BIET! IBUMU PASTI
SUDAH MENYELAMATKAN DIRI ENTAH KEMANA! SEBAIKNYA KITA CARI TEMPAT YANG AMAN!”
“TAPIII...”
Cakka menarik Obiet menuju jalan
kecil. Tiba-tiba ada seorang tentara belanda yang membawa senapan muncul
beberapa meter dari mereka. Mereka panik dan berjalan mundur mencari tempat
yang aman. Namun kemudian ada tangan yang menari mereka dari dalam rumah.
“Cepat ikut aku!” Mereka bertiga
berlari. Masuk kedalam sebuah lubang di tanah. Anak yang menarik Obiet dan
Cakka kemudian menutup lubang itu.
“Kita aman di dalam sini. Ayahku
sudah membuatnya. Berjaga-jaga kalau ada Belanda datang.”
“Kau... Kau pencuri benderaku ini kan?” Obiet bertanya
pada penyelamatnya sambil mengeluarkan benderanya dari celana.
“Ssstt...” kata anak itu setelah
mendengar derap langkah. Mungkin tebtara Belanda. Setelah suara langkah kaki
menjauh ia menjawab, “ Iya. Maafkan aku.” Penampilannya tetap sama,
bertelanjang dada dan hanya memakai celana pendek yang kemarin.
“Kau tak punya baju?” tanya
Cakka.
“Ayahku seorang perwira dan telah
gugur setahun yang lalu. Ibuku meninggal beberapa bulan kemudian karena
kelaparan. Semua makanan yang kami dapat selalu Ibu berikan kepadaku. Setelah
itu tak ada yang menjahitkan baju untukku lagi.”
Ternyata ada yang bernasip lebih
menyedihkan daripada aku, batin Cakka. “Kau tidak kesepian?” tanya Cakka pada
anak itu.
“Aku punya banyak teman.
Kambing-kambing pak Yanto, ayam-ayam pak Surono, dan beberapa anak di desa
ini.”
“Kau mau jadi temanku?” tanya
Cakka. “Kau juga Biet!”
Mereka bertiga tersenyum.
“Sepertinya perang telah usai,”
kata Obiet setelah mereka menunggu berjam-jam. Cakka tertidur lelap. Obiet membangunkannya.
Mereka keluar dari tempat persembunyian. Saat mereka menuju ke jalan, mayat
berserakan dimana-mana. Tentara Indonesia, tentara Belanda, penduduk sipil.
Banyak sekali. Obiet mengamati satu persatu korban. Siapa tahu Ibunya ada
diantara mereka.
“OBIIIIIIIIIIIIIIEEEEEEETTTTTTTTT!!!”
Ada yang berteriak memanggil Obiet.
Obiet mencari sumber suara. Di
kejauhan Obiet melihat sosok wanita yang ia kenal berjalan terseok-seok menuju
Obiet.
“IBUUUU!!” Obiet berlari diikuti
kedua teman barunya.
Obiet memeluk Ibu.
“Kau tak apa-apa nak?”
“Ibu tak papa?”
Ibu mengangguk. Hanya serempetan
peluru yang mampir ke kaki kanan Ibu.
Mereka pulang ke rumah Obiet.
Walaupun sedikit berantakan, namun Ibu masih bisa memasak air untuk mereka
minum.
Terdengar suara ketukan pintu
dari luar. Ibu panik.
“Jangan-jangan Belanda?” sangka
Cakka.
“Bu Amir Bu Amir! Ini saya
Dayan!” teriak suara dari luar.
“Bukankah dayan adalah nama teman
Bapak Bu?” kata Obiet.
Ibu pergi menuju pintu dan
membukanya.
“Dayan? Ada apa? Mas Amir mana?”
“Amirr,, Amiir,, itulah yang akan
saya katakan, mengenai Amir, beliau.. beliau telah gugur di Jogjakarta.”
“Apa? Kau tak bercanda kan?”
tanya Ibu.
Dayan menggeleng. “Ini titipan
dari Amir.” Dayan menyerahkan sebuah kain merah putih dan di atasnya ada sebuah
tanda pangkat.
Obiet yang melihat itu segera
berlari menuju Ibunya.
“Baaapaaak... Bapaaakk..
Bapaakk...” ia menangis tersedu-sedu sambil mengambil bendera merah putih besar
yang ia impi-impikan.
“Ini...” Ibu menunjukkan sebuah
tanda pangkat ke Dayan.
“Sehari sebelum beliau terbunuh,
beliau telah diangkat menjadi Letnan satu. Beliau gugur dengan gelar Letnan
satu Amir, Bu.”
Ibu meneteskan air mata dan jatuh
ke tanda pangkat Letnan suaminya. Kemudian ia memeluk Obiet yang masih
sesenggukan memeluk bendera. Beberapa saat kemudian terdengar sebuah
pengumuman.
“Merdeka!! Merdeka!! Belanda
telah Berhasil di pukul mundur!! Merdeka!! Indonesia Merdekaa!!”
“Bapakmu tidak gugur sia-sia Biet. Letnan Amir
tidak gugur sia-sia.” kata Ibu sambil terus memeluk Obiet.
Cakka meneteskan air mata. Ia
jadi tahu, para perwira telah sangat membantu kemerdekaan negara ini. Ia tak
akan lupa itu.
***
Obiet, Cakka dan si anak lusuh
sibuk memotong bambu. Obiet mengeluarkan bendera besar dari Bapak. Ia, Cakka
dan si anak lusuh menalikan bendera merah putih besar ke bambu. Kemudian mereka
menanam bambu itu di halaman rumah Obiet. Bendera merah putih besar itu pertama
kalinya berkibar di depan rumah Obiet. Berkibar dan terus berkibar. Si anak
lusuh berlari ke belakang. Ia mengambil satu bambu, namun lebih kecil. Ia
menarik bendera perca dari saku Obiet dan memasangnya di bambu kecil. Kemudian
ia tanamkan di sebelah tiang bambu besar. Kedua bendera itu berkibar dengan
gagahnya.
“Kenapa diam saja?” tanya Ibu
yang keluar dari rumah.
Obiet dan Cakka saling memandang.
Cakka mempersilahkan Obiet.
“Kepada bendera merah putih,
hormaaaaaaaaaaatttt graaaaaakkk!!!”
Sebuah penghormatan besar untuk
kedua bendera pusaka mereh putih yang berkibar gagah di udara. Semoga tak hanya
berkibar di udara, namun tetap berkibar di hati putra bangsa. Menjadikan
motivasi untuk selalu menjaga tanah air tercintaa.
17 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar