Sabtu, 25 Februari 2012

Sebuah Janji


Suara berisik yang ditimbulkan orang-orang membuat semakin membuat pusing kepala anak ini. Udara yang sedari tadi dipenuhi dengan bau-bau sampah dari TPA yang berjarak 50 meter dari tempat ia berdiri semakin membuatnya mual. Kenapa ia bisa terjebak di tempat ini? Salah dia karena tadi tak menghiraukan Ayahnya yang terlambat menjemputnya. Walaupun Ayahnya sudah menyampaikan argumen bahwa ada urusan mendadak, anak ini tetap tidak memaafkan beliau. Keterlambatan lima belas menit itu membuatnya marah dan merajuk. Ia memutuskan untuk pulang sendiri. Walaupun ia tahu bahwa ia sama sekali tidak tahu jalan pulang. Baru dua bulan keluarganya pindah ke kota kecil ini.
Teriakan Ayahnya yang sudah tidak muda lagi tak membuatnya mengurungkan niat untuk melarikan diri. Tak peduli seberapa marah Ayahnya nanti setelah ia tiba di rumah, ia tetap berlari meninggalkan Ayahnya berdiri di depan sekolah seorang diri di temani mobil mewah yang hanya satu-satunya dimiliki oleh warga kota ini.
Ia terus berlari, sesuka hati. Tak perduli ada yang marah-marah karena dia menyebrang sembarangan. Sebenarnya ia masih kesal karena dipaksa pindah dari ibukota yang seharusnya memberikan banyak fasilitas yang mewah untuk seorang anak yang dibesarkan dari keluarga kaya seperti dirinya. Kelakuannya akhir-akhir ini buruk. Bahkan berani membentak Bundanya saat beliau hanya menyiapkan makan malam sederhana. Sayur sop serta telur. Dikarenakan tidak ada supermarket yang menjual berbagai macam keperluan dapur yang lengkap seperti di ibukota, jadi Bunda hanya memasak seadanya. Ia tega membuang makanan yang sudah ada dipiringnya ke tempat sampah sampil mengomel pada Bunda. Dan akibatnya malam itu ia merintih kesakitan karena nggak mau makan seharian.
Bau busuk sampah-sampah ini membuat ia menelangkupkan shal merah putih yang bergambar garuda –yang selalu ia bawa kemana-mana- menutupi hidung mancungnya.
“Seharusnya tadi aku tidak belok ditikungan tadi,” gerutunya.
Setelah tadi ia dimaki orang karena tidak hati-hati menyebrang, ia memutuskan untuk belok ke sebuah gang yang membuat ia tersesat sekarang di tengah-tengah keramaian pasar yang sangat kumuh. Berkali-kali ia tertabrak oleh siku-siku besar para kuli panggul. Tadi kakinya terinjak oleh salah satu preman pasar yang bertubuh besar, memakai anting, serta tato menyelimuti kedua tangannya. Sempat ia ingin marah-marah karena sepatu mahal yang ia beli dengan mencuri uang Bundanya itu jadi kotor. Akan tetapi ia urungkan dikarenakan pemilik kaki itu sangat menyeramkan dan tidak bersahabat.
Sepanjang jalan kerjaanya hanya menggerutu. Sempat berfikir untuk menelfon Ayahnya saja. Siapa tahu Ayahnya sudah memberikan maaf. Ia membuka tas dan mengeluarkan handphone. Belum sempat ia memencet tombol. HOPP!!! Tiba-tiba ada yang merampas begitu saja handphone miliknya.
“TUNGGU!!! HEI KEMBALIKAN HANDPHONEKU!!!” Anak berseragam putih biru itu mengejar orang yang mengambil handphonenya. Namun secepat kilat orang itu menghilang dibalik kerumunan orang-orang.
“Sial,” umpatnya. Hanya itu yang bisa ia keluarkan.
Namun parahnya, ia semakin tidak tahu di mana dia sekarang. Tiba-tiba ia merasakan kesendirian yang luar biasa di antara keramaian pasar. Ia berjalan gontai mencari jalan keluar. Ia berfikir, “Seandainya tadi aku nggak kabur, aku pasti sudah bisa tidur nyenyak dirumah.” Ia menyesali berbuatan bodohnya itu.
Tiba-tiba ia merasakan lapar yang luar biasa. Tambah lagi saat melihat sebuah warung makan yang ada di depan matanya. Asap nasi mengepul semangat ke langit-langit warung. Warna kecokelatan ayam goreng pun membuat cacing-cacing di perut anak ini semakin memberontak. Saat ia berjalan menuju warung tersebut, saat penjaga warung sedang membuang kardus sisa makanan ke dalam tempat sampah, seseorang berlari menyenggolnya dan segera menyerbu tempat sampah tempat pemilik warung membuang kardus sisa makanan. Gadis itu mengambil kardus yang telah dibuang tadi dan mencoba mencari apa yang ada di dalam kardus itu. Berharap masih ada sisa makanan yang bisa ia makan.
Anak yang masih mengalungkan shal di mulutnya itu dengan cepat menahannya membuka kardus.
“Tunggu!”
Gadis itu menoleh. Ternyata masih sebaya dengan anak tadi.
“Apa yang akan kamu lakukan dengan kardus yang sudah di buang itu?” tanyanya sembari berjalan mendekati gadis tadi.
“Aku mau makan. Kamu mau?” ia menyodorkan kardus ke anak ini.
“Nggak nggak,” katanya sambil mendorong kardus.
“Ya sudah , untukku saja.”
“Mana boleh memakan makanan yang sudah di masukkan ke dalam tempat sampah. Banya bakteri tau. Apalagi juga itu kan bekas orang,” nasihatnya.
“Aku lapar, yang penting makan. Tak perduli apa yang aku makan. Yang penting perutku terisi dan aku bisa melakukan pekerjaan yang seharusnya aku lakukan.”
Deg! Tiba-tiba anak ini ingat apa yang dia lakukan terhadap makanan bersih dan sehat yang telah Bunda masak susah payah untuknya. “Maaf Bunda,” ujarnya dalam hati.
“Jangan di makan!” katanya saat teman barunya itu hendak menyuapkan sepucuk nasi yang ada di tangannya. “Biar aku traktir kamu makan saja di warung itu!”
“Beneran?”
Anak itu mengangguk.
Mereka berdua masuk kedalam warung. Kardus itu dibuang begitu saja sembarangan.
“Aku Oik, kamu siapa?” Gadis itu memperkenalkan diri saat dua piring nasi plus ayam goreng datang di meja mereka.
“Aku Obiet.”
“Sepertinya kamu bukan orang sini. Dilihat dari sergam, kamu bersekolah di sekolah yang ada di jalan raya besar itu ya?”
Anak yang bernama Obiet itu pun mengangguk. “Aku tersesat,” tambahnya sambil menggigit ayam.
“Hahaha,,,” Oik tertawa. “Tersesat? Lucu sekali. Masak anak laki-laki segede kamu tersesat. Hahaha....”
Obiet manyun dan membuat Oik semakin tertawa kencang.
“Sssst... kamu itu anak perempuan, mana boleh tertawa seperti itu. Apa Ibumu tidak mengajarimu sopan santun?” kata Oik sambil melanjutkan mengunyah.
“Ibu? Hah, aku tak pernah tau siapa Ibuku. Dia meninggalkanku.”
Obiet tersedak. “Uhuk... Apa? Tidak tahu?”
“Iya, setahuku aku sejak kecil dirawat oleh nenekku yang sudah renta dan tak bisa apa-apa. Hidupku bergantung papa belas kasihan tetangga.”
“Ayahmu?”
“Apalagi Ayahku. Nama dan ceritanya saja tak pernah datang dari mulut nenek.”
Obiet menelan ludah.
“Kamu pasti enak. Kelihatannya kamu orang kaya. Pasti nyaman hidup di rumah mewah, bisa makan kapan saja, tidur sesuka hati di kamar yang luas serta kasur yang empuk, bahkan ada seorang Ibu yang bisa menyanyikan nina bobok jika mau tidur.”
“Aku bahkan nggak mau dinyanyikan ninsa bobok oleh Bunda, karena kekanak-kanakan,” gumam Obiet dalam hati.
“Aku selalu bermimpi hal itu terjadi. Walaupun terlihat kekanak-kanakan tapi aku berharap aku bisa punya ibu yang selalu ada untukku. Dan tak akan pernah kesempatan itu. Dan kau! Jangan sekali-kali berbuat jelek terhadap ibumu. Atau kau akan menyesal kelak jika tak punya Ibu!” Oik menatap tajam Obiet sambil mengacungkan garpu kearahnya.
Obiet kembali menelan ludah. Oik saja bisa berkata seperti itu. Bahkan ia yang tahu di mana dan siapa orang tuanya ia tak pernah bersyukur mempunyai orang tua yang selalu ada untuknya. Ia tertunduk lesu. Memutar semua kelakuan-kelakuan buruknya selama ini.
“Betapa bodohnya aku,” gumamnnya.
“Eh, ada berita kecelakaan lagi!” suara Oik memudarkan lamunan Obiet. Ia ikut-ikutan melihat ke arah televisi.
“Kecelakaan baru saja terjadi lima menit yang lalu. Sebuah mobil mewah menabrak trotoar. Diduga karena menghindari seorang pejalan kaki yang hendak menyebrang...” suara pembaca berita jelas terdengar.
“Tunggu! Mobil itu!” Obiet mencoba menyipitkan mata untuk memperjelas penglihatanya.
“Kamu kenal?” tanya Oik.
“Itu seperti mobil Ayahku, ya itu mobil Ayahku. Hanya ada satu mobil seperti itu pasti di kota kecil ini.”
“Apa???” Oik terkejut.
“Cepat antar aku ke jalan itu! Cepat! Aku ingin pulang segera! Cepat!” kata Obiet menarik-narik tangan Oik.
“B...B...Baiklah. tapi aku hanya punya sepeda!”
“Tidak masalah cepaaaaaaaattt!”
Oik segera beranjak dari tempat duduk. Obiet meletakkan uang di meja makan dan segera mengikuti ke mana Oik pergi.
Oik mengacu sepeda bututnya itu dengan cepat. Obiet yang duduk membonceng di belakang hanya bisa menyesali semua yang telah ia lakukakn. Seandainya ia tidak kabur, pasti ia sudah bisa makan siang bersama Ayah dan Bundanya. Andai ia bisa bersabar sedikit dan memaafkan Ayahnya. Ia masih bisa bergurau dengan Ayahnya saat ini. Andi saja... yah kata itu yang terus saja difikirkan Obiet. Hanya kata menyesal yang bisa keluar dari mulutnya.
“Maafkan aku Ayah...” air matanya sudah tidak tahan untuk keluar dari persembunyian. Mengalir begitu saja.
Dengan cekatan Oik melintasi berbagai macam kendaraan. Demi teman yang baru saja ia kenal, ia akan melakukan apapun untuk orang yang telah memberi ia makan. Ia sangat menghormati siapa saja yang bersedia memberi sedikit rejeki kepada para fakir miskin seperti dirinya. Inilah yang bisa ia balas terhadap perbuatan baik Obiet. Ia tak bisa membalas dengan hal lain yang berupa materi. Hanya ini. Hanya kebaikan ini. Semoga Obiet mengerti itu.
Sedangkan Obiet tak memikirkan apapun selain ingin bertemu Ayah dan Bundanya. Ia masih berharap mobil yang terperosok itu bukan mobil Ayahnya. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Tak lebih. Ia menurut ke mana Oik akan membawanya. Pokoknya harus sampai ke tempat di mana kecelakaan itu terjadi. Ia berjanji pada langit yang sangat tajam memancarkan pansanya ini akan menjadi anak yang paling berbakti kepada kedua orang tuanya. Debu-debu, asap-asap kendaraan, awan panas serta angin pengap menjadi saksi janjinya itu yang kelak harus ia perjuangkan sampai mati.
-TAMAT-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar