Minggu, 29 April 2012

Kostum Kartini Ais



Cahaya matahari menembus lubang-lubang ventilasi. Tak jarang ada yang memaksa masuk dari lubang-lubang dinding yang terbuat dari triplek itu. Menjadikan rumah 6x10 ini terang benderang di pagi buta tanpa harus ditemani cahaya lampu.
Seorang wanita paruh baya sedang berkutat di depan kompor gas hasil subsidi pemerintah. Sudah dua tahun kompor ini menemaninya menyiapkan makanan untuk seluruh keluarga. Sebelumnya ia masih menggunakan tungku untuk memasak. Di sebelahnya terlihat seorang anak kecil berusaha memakai seragam sekolah.
“Umi, sudah rapi belum baju Ais?”
Umi memandang putri kesayangannya.
“Ini kerahnya belum rapi,” kata Umi sembari membenahi kerah baju Ais.
“Nanti juga kan ditutup pake kerudung Mi.”
“Iya, tapi walaupun tidak kelihatan Allah juga akan melihat. Bukankah ustadzah fatimah bilang kalau Allah menyukai kerapian dan kebersihan?”
“Oh iya,” senyum Ais merekah membuat lesung pipinya terlihat jelas.
“Ya sudah tunggu Umi di meja makan ya,” Umi mencium kening Ais. “Nanti kerudungmu Umi yang pakein.”
Ais berlari menuju ruang makan yang sebenarnya hanya satu meter dari dapur, bahkan tidak terdapat sekat. Ais sibuk memperhatikan Umi memasak. Memang selalu begitu. Rumah ini hanya dihuni mereka berdua. Abinya Ais pergi ke Arab untuk mempertahankan perekonomian keluarga. Seminggu sekali Abi menelfon. Sebulan yang lalu Abi mengirimkan uang untuk dibelikan handphone. Abi sungkan kepada Pak Dhe Hasan yang handphonenya selalu dipinjam Umi.
Ais melahap sarapan dengan semangat. Kata ustadzah Fatimah kita harus selalu bersyukur atas makanan yang dibuat oleh Ibu kita. “Walaupun makanan itu tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, sebisa mungkin tetap menghormati perasaan Ibu yang telah berusaha untuk memasakkan makanan buat kita, ya?” Wajah Ustadzah Fatimah lewat dibenak Ais.
^^^
Ais selalu duduk di depan saat kelas dimulai. Kata Umi biar bisa lebih konsentrasi. Kali ini mereka belajar menggambar.
“Anak-anak sekarang kalian boleh menggambar cita-cita kalian ya. Mau jadi apa sih kalian jika kalian besar nanti?” kata Ibu Guru.
“Iyaaa Bu...”
Ibu Guru berjalan-jalan memperhatikan gambar anak-anak. Ada yang menggambar sebuah masjid.
“Kamu ingin jadi apa Di?”
“Aku ingin jadi ustad Bu!”
Ibu Guru tersenyum dan menuju meja Ais.
“Ais, mau gambar apa?”
“Ais masih bingung mau jadi apa Bu, tapi Ais mau Umi, Abi dan Ais bisa tinggal dirumah yang besar. Pokoknya kita semua bisa ketemu setiap hari,” ucap Ais polos.
Ibu Guru mengelus kepala Ais.
“Nah, anak-anak minggu depan kan tanggal 21, siapa yang tahu hari apa itu?” tanya Ibu Guru.
Beberapa anak bisik-bisik.
“Ais tahu?”
Ais menggelengkan kepala.
Ibu Guru tersenyum. “133 tahun yang lalu lahirlah seorang gadis cantik di daerah bernama Jepara. Lahir dari sebuah keluarga bangsawan. Raden Ajeng Kartini namanya, biasa dipanggil RA Kartini saja. Ada yang pernah dengar?”
Beberapa anak mengangguk.
“Nah, untuk memperingati hari Kartini yang jatuh pada 21 April minggu depan, TK kita akan mengadakan karnaval.”
“Karnaval itu apa Bu Guru?” tanya salah seorang anak.
Ibu Guru tersenyum. “Karnaval nanti kita akan keliling kota bersama anak-anak dari sekolah lain.”
“Ooo....” mereka ber’o’ ria.
“Nah, Ibu harap kalian mempersiapkan baju untuk dipakai diacara itu. Nah, kalian pakailah baju menurut cita-cita kalian, mengerti?”
“Mengerti Bu...”
Mereka sibuk berbisik, menentukan akan memakai baju apa. Bahkan rela bertengkar agar pakaian mereka tidak sama.
Sesampai di rumah, Ais segera memberitahukan hal ini kepada Umi. Namun Umi hanya diam menunduk.
“Kenapa Umi?”
“Tidak apa-apa, memangnya Ais mau pakai baju apa? Ais sudah menentukan ingin jadi apa?”
Ais menggeleng. “Biar malam ini Ais fikirkan ya Umi. Atau Ais tanya sama Ayah saja ya Umi?”
“Nah, itu ide yang bagus.”
### 
Di mushala anak-anak sibuk mendengarkan Ustadzah Fatimah bercerita. Kali ini beliau bercerita tentang Ibnu Sina. Ilmuan terkenal dari Bukhara yang terkenal dengan kepiawainnya dalam bidang kesehatan. Dia mendapat julukan Bapak Kedokteran Modern. Karya-karya besar telah ia torehkan. Buku, karya ilmiah dan lain sebagainya. Dalam ilmu kedokteran, kitab Al-Qanun tulisan Ibnu Sina selama beberapa abad menjadi kitab rujukan utama dan paling otentik. Kitab ini mengupas kaedah-kaedah umum ilmu kedokteran, obat-obatan dan berbagai macam penyakit. Beliau sangat rajin membaca.
“Di sini siapa yang rajin membaca?”
Semua anak mengacungkan tangan.
“Bagus, dipertahnkan ya. Agar kelak kalian bisa seperti Ibnu Sina, menolong sesama dengan ilmu yang kita dapat, dan membuktikan pada dunia bahwa kalian pantas untuk dikenang dengan baik jika kalian sudah tidak tinggal di dunia ini lagi, seperti Ibnu Sina.”
@@@ 
Saat berjalan pulang, Ais merenungkan apa yang dikatakan Ustadzah Fatimah.
“Sepertinya jadi ilmuan dan dokter menyenangkan. Bisa tau banyak ilmu. Bisa nyembuhin Umi dan Abi jika mereka sakit. Yah, aku akan jadi dokter,” Ais berlari menuju rumah. Tak sabar memberitahu Umi tentang cata-cita yang telah ia temukan.
“Jadi dokter?” tanya Umi.
“Iya Umi, memangnya kenapa Umi? Kan kalau Umi dan Abi sakit nggak usah capek-capek pergi. Kan ada Ais yang jagain Umi dan Abi.”
Umi tersenyum. “Iya Ais, Ais boleh jadi apa saja. Terserah Ais. Yang penting Ais suka dan Ais bisa mempertanggung jawabkan pilihan Ais, yah.”
“Makasih Umi,” Ais memeluk Umi. “Tapi Umi, Ais dapat dari mana baju dokter buat karnaval minggu depan?”
“Iya nanti Umi cariin, siapa tau ada.”
Keesokan harinya Ais berangkat dengan gembira seperti biasanya. Ais terus mendesak Umi untuk segera mencarikan baju dokternya. Maka hari ini Umi pergi ke persewaan baju yang biasa dipakai anak-anak untuk karnaval.
“Semoga uangnya cukup. Sepertinya mahal. Ah, aku coba saja.”
Namun, ternyata firasat Umi benar satu set baju seharga 75.000 ditambah riasan wajah semuanya jadi 130.000. Sedangkan uang Umi hanya cukup untuk makan satu bulan ini. Abi rencananya akan mengirimkan uang bulan depan.
Umi mencari ke tempat lain. malah ada yang lebih mahal. Kalau beli baru bisa berlipat-lipat harganya.  
“Apa yang harus aku katakan pada Ais,” gumam Umi.
Ais sudah bercerita banyak kepada Tera, teman sebangkunya tentang cita-citanya menjadi seorang ilmuan dan dokter seperti Ibnu Sina.
“Wah, hebat. Semoga benar-benar terjadi ya Is. Jadi kalo aku sakit tinggal datang ke rumahmu.”
Ais mengangguk dengan semnagat. “Dengan senang hati.”
Umi masih degeluti perasaan bersalah. Kemana lagi Umi mencari pinjaman. Umi sudah banyak meminjam kesana kemari. Umi memutuskan untuk menelfon Abi.
“Maaf Umi, tapi uang Abi baru bisa keluar dua minggu lagi. Kemarin teman satu kamar Abi kecelakaan, jadi Abi pinjamkan untuk berobat. Katakan saja pada Ais untuk memakai baju yang paling bagus yang Abi belikan. Bilang saja, jadi dokter itu tidak seterusnya memakai seragam. Maafin Abi ya Umi.”
Umi menghela nafas. “Ya Allah, mudahkanlah jalan kami.”
***
Ais membantu Umi menyapu lantai depan. Sedari tadi ia mengoceh tentang cita-citanya yang ingin menjadi dokter.
“Gimana Umi, baju Ais udah dapat?”
Umi menghentikan pekerjaannya.
“Sini nak,” Umi memanggil Ais ke kursi kayu buatan Abi.
“Maafkan Umi ya, uang kita tidak mencukupi untuk membeli bahkan menyewa pakaian itu.” Umi memeluk Ais.
Ais diam saja. Sebenarnya ia juga takut hal ini terjadi. Sebab salah satu temannya pernah mengejeknya tidak mampu menyewa pakaian untuk karnaval.
“Ya sudah Umi, Ais tidak ikut saja. Lagi pula Ais masih bisa menonton mereka kan Umi?”
Umi merasa sangat bersalah. Betapa mulianya hati anak ini.
“Ais masih bisa ikut. Siapa bilang kalau nggak punya kostum Ais tidak boleh ikut. Kata Abi, lagipula dokter bisa kan berpakaian biasa seperti kita sehari-hari. Tinggal pilih baju Ais yang paling bagus. Nanti untuk rias wajahnya, biar Umi yang merias yaa.”
“Atau Ais pindah cita-cita saja umi? Jadi seperti Umi.”
Umi tersenyum dan membelai rambut Ais. “Semua anak perempuan pasti jadi seperti Umi kelak nak. Jadi seperti Umi bukanlah cita-cita. Kamu harus memikirkan yang lebih baik lagi dripada Umi.”
“Terus cita-cita itu apa Umi?”
“Emm.. Cita-cita itu impian yang kita inginkan kelak di masa depan, hal yang akan kita lakukan untuk memenuhi ibadah kita kepada Allah. Seperti impian Ais jadi dokter. Dokter adalah sebuah profesi yang mulia sekali. Umi senang Ais ingin menjadi dokter.”
Ais menatap jauh ke langit. Ia memikirkan semua perkataan Umi. Jadi sekarang apa keputusan Ais. Ia masih terlalu kecil untuk memikirkan sebuah cita-cita. Lagi pula cita-cita bisa berubah sepanjang waktu bukan? Tergantung nanti kita menjalani cita-cita kita seperti apa.
***
Satu hari sebelum karnaval, anak-anak satu kelas Ais sibuk membicarakan perhelatan besar ini. Ada yang sengaja membawa kostum mereka ke sekolah untuk diperlihatkan ke teman-teman. Ada yang membawa aksesorisnya. Dan semua ini membuat kelas ricuh.
“Ais, kamu jadi pakai kostum dokter? Sudah dapat?” tanya Tera.
Ais menggeleng.
“Loh kok belum? Kan karnavalnya besok?”
“Umi Ais tidak punya uang untuk menyewa. Jadi daripada Ais tidak memakai kostum, lebih baik Ais tidak ikut saja.”
Ibu guru yang tidak sengaja mendengarkan pembicaraan kanak-kanak manis ini memanggil Ais.
“Ais!”
“Iya Bu Guru.”
“Sini nak.”
Ais mendekat ke Bu Guru.
“Ais, cita-cita merupakan hal paling penting yang harus dimiliki setiap orang supaya dia bisa semangat untuk menuntut ilmu, beribadah kepada Allah dan selalu berjuang keras. Mengerti?”
Ais mengangguk.
“Lalu, cita-cita bisa berubah kapan saja. Mereka yang memakai kostum cita-cita mereka saat ini juga belum tentu akan menjadi kenyataan. Maka untuk besok, Ais bolehlah ikut, Ais jadi seperti siapa saja terserah Ais.”
“Tapi kata Umi, saat Ais mau jadi seperti Umi, Umi melarang.”
Ibu Guru tersenyum. “Itu karena Umi menginginkan Ais menjadi lebih dari Umi. Menjadi anak yang bisa membanggakan Umi. Nah, jadi dokter misalnya seperti cita-cita Ais.”
“Tapi Ais tidak punya kostumnya.”
“Memangnya Ibu Guru mewajibkan? Tidak kan Is. Ais bisa memakai apa saja. Nanti Ais bisa menjelaskan kepada penonton bahwa Ais ingin jadi dokter. Yaa...”
Ais berfikir dan mengangguk. “Terima kasih Bu Guru. Nanti Ais bilang sama Umi.”
*** 
Keesokan harinya Ais memilih baju yang paling bagus di almari. Mengenakan jilbab hijau cantik yang di jahit oleh Umi sendiri.
“Ais sudah siap?”
Ais mengangguk.
Hirik pikuk masyarakat yang haus akan hiburan membanjiri alun-alun kota. Mereka ingin menyaksikan acara yang telah mereka tunggu-tunggu tiap tahunnya. Berbagai acara dihelat. Salah satunya karnaval yang akan diikuti oleh anak-anak Taman Kanak-Kanak satu kota. Para orang tua yang harap-harap cemas mengenai keadaan anaknya. Ada yang ngambek gara-gara tidak nyaman dengan kostum yang mereka pakai.
Ada yang menagis meminta ice cream padahal wajahnya sudah cantik dihias make up.  Anak-anak memang selalu seperti itu. Lucu dan menggemaskan. Kelakuan mereka selalu alami dan tidak dibuat-buat. Itulah yang membuat mereka berhak disayang oleh semua orang.
Ais sudah berbaris rapi dengan teman-temannya.
“Ais, kamu sekarang jadi apa?”
Ais tersenyum.
“Ayo anak-anak. Kita sudah harus jalan. Nanti di alun-alun pak Walikota akan memilih salah satu dari kalian utuk mengetahui cita-cita kalian. Siap?”
“Siap Bu Guru!!!”
Lambaian hangat dari kerabat di tepi-tepi jalan mereka smabut dengan senyuman hangat. Ais melihat Umi berada diantara penonton. Melemparkan senyum bahagia ke Ais.
Tibalah di puncak acara, setelah berkeliling alun-alun dengan semangat anak-anak berbaris rapi di halaman alun-alun. Pak Walikota menyapa anak-anak. Beliau segera berkeliling memilih anak yang beruntung.
Pak Walikota tertarik dengan seorang anak. Yang tampak berbeda sekali dengan yang lainnya. Biasa. Namun yang biasa itulah yang membuatnya nampak berbeda.
“Siapa namamu?”
“Aisyah Pak!” jawab Aisyah.
“Nama yang bagus.”
“Terima kasih Pak.”
Umi terlihat semakin merapat ke tengah, ingin melihat anaknya bersama pak Walikota. Umi tersenyum senang.
“Bapak penasaran, kamu menjadi apa sekarang nak?”
Ais tersenyum.
“Saya menjadi Siti Aisyah Pak.”
“Siti Aisyah, istri nabi?”
“Iya Pak, Siti Aisyah. Istri nabi kita nabi Muhammad SAW.”
“Mengapa kamu menjadi beliau? Bukankah semuanya memakai baju cita-cita masing-masing. Seperti dokter, guru, polisi dan lainnya?”
“Saya ingin menjadi seperti Siti Aisyah...
Malam sebelum karnaval dimulai, Ais mengaji seperti biasa bersama ustadzah Fatimah di mushala. Kali ini ustadzah Fatimah bercerita tentang Siti Aisyah, isteri nabi.
“Beliau adalah isteri termuda nabi. Namun kepintaran beliau luar biasa. Hafal Al-Quran pada usia muda. Mampu menghafal banyak hadist. Aisyah ra menjunjung tinggi sekali kebenaran. Aisyah juga guru yang baik. ia tidak pernah bosan untuk menjawab semua pertanyaan yang diajukan kepadanya.  Beliau selalu menebar kedamaian dan cinta kepada siapa saja. Sebuah hadis dari (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Ibnu Majah dijelaskan ‘Banyak laki-laki yang sanggup mencapai kesempurnaan. Tetapi hanya ada beberapa perempuan yang bisa mencapai hal yang sama, yaitu maryam binti imran dan asiyah, istri firaun. Sungguh keutamaan Aisyah apabila dibandingkan dengan perempuan-perempuan lain sama seperti keutamaan tsarid ‘makanan yang terbuat dari daging dicampur dengan roti yang dipotong-potong’ dibandingkan dengan seluruh makanan lainnya’. Jadi maksudnya Aisyah merupakan wanita yang mulia dimata Allah.”
Ais tersentuh dengan cerita ustadzah Fatimah. Ia berfikir ingin menjadi seperti Aisyah saja, yang cerdas dan berkemampuan lebih, bahkan termasuk wanita yang mulia dimata Allah. Dengan kecerdasan seperti Siti Aisyah ia akan bisa mewujudkan cita-citanya yang ingin menjadi seorang dokter. Ais pun tak perlu menyewa pakaian. Ia memang tidak tahu seperti apa Siti Aisyah. Tapi karena namanya sendiri juga Aisyah, ia tak fikir panjang.
“Namaku kan juga Aisyah, jadi aku memakai bajuku sendiri aja, yang dibelikan Abi. Aisyah tersenyum.”
“Wah, hebat sekali nak, boleh kita menjadi apa saja. Kita juga perlu seseorang untuk dijadikan teladan, supaya kita bisa menjalani hidup dengan baik. Seperti idolamu Siti Aisyah. Kamu bisa menjadikan beliau sebagai teladan.”
“Pak Walikota, boleh juga kan Umi Ais jadi teladan?”
Pak Walikota tersenyum. “Boleh saja Ais, Ais bebas meilih siapa saja. Tidak Cuma Ais. Bapak ingin tahu alasan Ais menjadikan Umi Ais sebagai teladan.”
“Karena Umi sangat sayang sama Ais dan Abi. Umi juga seperti Siti Aisyah tau apapun yang Ais tanyakan. Umi tidak pernah terlambat bangun. Umi juga selalu menemani Ais sebelum tidur dan membacakan cerita buat Ais.”
Umi Ais meneteskan air mata disela-sela penonton yang juga memperlihatkan reaksi yang sama.
“Umi Ais ada si sini? Mana Pak Walikota ingin lihat.”
Ais mencari-cari. Kemudian ia menemukan sesosok wanita bergamis biru anggun, dengan wajah basah oleh air mata.
“Umiiii!!!!” Ais berlari menuju Umi.
“Umi Pak walikota ingin bertemu Umi.”
Umi mengangguk dan mengikuti buah hatinya.
Karnaval kali ini memiliki makna yang berbeda. Sebuah kasih sayang seorang anak kepada Ibunya serta kasih sayang Ibu kepada anaknya akan menjadikan kekuatan besar bagi siapa saja yang memiliki keinginan. Dan pemandangan yang lebih mengejutkan anak-anak berlari menuju Ibu masing-masing dan memeluk Ibu mereka. Karnaval hari Kartini ini seperti berubah menjadi hari Ibu sepertinya. Tidak masalah karena setiap saat kita bisa mencurahkan kasih sayang kita kepada Ibu. Tidak harus menunggu hari Kartini ataupun hari Ibu.
......................TAMAT.................

lucu-lucu banget adek2 nii...


Naik becak biar ga panass...


dirapiin dulu sebelum mulaiii...


eleuh... eleuh... ayu tenan adik2 e,, semoga kelak menjadi Kartini selanjutnya yaahhhh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar