Aku tidak tega juga melihat wajah
melasnya. Inilah kelemahanku, tidak tega melihat wajah-wajah sepeti ini.
“Baiklah, urusan apa yang belum kau
selesaikan di dunia ini?”
“Aaaa... beneran kak?”
Aku mengangguk. Kemudian duduk di bawah
pohon. Inay mengikuti.
“Kakak tahu, satu bulan yang lalu aku
meninggal karena kecelakaan. Waktu itu aku harus mengantarkan beberapa surat.
Pamanku sedang sakit. Jadi beliau mengamanahkan tugasnya kepadaku.”
“Lalu.”
“Aku ingin kakak mengirimkan surat itu
kepda pemiliknya.”
“Apa? Apa urusanku? Pamanmu sekarang
kemana? Kenapa tidak minta tolong kepada pamanmu?”
“Pamanku sudah terbaring lemah kak,
beliau sudah tak berdaya.”
Jepreett... Jepreeett... Gambaran itu
muncul. Pamannya tergeletak lemah di atas kasur. Siluet Ayah dan Ibunya
meninggal karena gempa tiga tahun yang lalu. Argghh... Ini membuat kepalaku
pusing.
“Kenapa kak?”
“Eh, nggak kok. Kepalaku agak pusing.
Yasudah aku bantu, tapi janji, kau akan pergi dari sini setelah semuanya
selesai. Sekarang dimana surat-surat itu?”
“Beneran kak? Yuhuu...”
Inay bersorak gembira, dasar anak-anak.
“Sudah sudah, dimana surat-surat itu
berada?”
“Aku tidak tahu...”
“Apa?” Memang Inay tidak bohong kali
ini. Aku juga sudah tahu, tapi bosan juga berpura-pura tidak tahu.
“Sebenarnya aku dijambret, saat aku
kejar mereka eh ada mobil sembarangan menabrakku.”
“Hh... yasudah, aku bantu cari. Aku
sedikit tahu preman-preman di daerah sini. Kamu kecelakaan dimana?”
“Di jalan besar dekat supermarket kota
barat kak.”
“Oke, besok setelah selesai kuliah kita
cari mereka.”
“Benarkah?”
Aku mengangguk.
“Yeee... Terima kasih kak. Inay pamit
dulu ya, besok Inay jemput di kampus kakak.”
Aku melihat punggungnya sampai
menghilang. Padahal ia juga bisa menghilang, kenapa susah-susah berjalan. Dasar
anak-anak. Aduh, aku pulangnya gimana ini. Jauh sekali dari halte.
Akhirnya aku berjalan terseok-seok
menuju halte. Capek ternyata.
***
Aku memandang langit-langit kamar. Apa
yang harus kulakukan. Aku hanya berbohong pada Inay kalau aku tahu
preman-preman di sini. Tunggu besok saja. Pasti aku bisa melihat sesuatu di
tempat kejadian.
“Zaa... Bulan sabit tuh, kamu nggak
keluar?” sepertinya Ibu berteriak dari luar. Aku segera menuju jendala. Astaga
kenapa aku sampai lupa. Aku selalu bisa menyaksikan fenomena ini setiap waktu.
Aku suka bulan sabit, indah sekali. Entah kenapa. Walau kebanyakan orang
menyukai bulan purnama, aku malah menyukai bulan sabit. Walaupun ia telah
tertutupi sebagian bahkan lebih, tapi ia tetap meperlihatkan keanggunan
sinarnya menyinari malam. Walaupun ia tak sempurna, tapi ia tetap menjaga bumi
agar tetap terang dengan sisa sisa sinarnya. walaupun juga hanya sinar pantulan
dari bintang besar itu, ia tetap indah. Kelak aku harus bisa mencari pendamping
yang bisa seperti sang bulan sabit.
***
Keesokan harinya aku berangkat kuliah
seperti biasa. Namun yang tak biasa Inay menungguku di depan kelas sampai kelas
selesai. Ia antusias sekali.
“Jay, hari ini aku nggak ikutan kumpul
ya? Tugasku kan sudah selesai. Tidak perlu tambahan dana kan?” aku menelfon
Jay.
“Oke, nanti aku bilang ke Surya,” kata
penelfon di ujung sana.
Aku berjalan keluar menemui Inay. Inay
tersenyum senang menatapku. aku mengisyaratkan ia untuk berjalan di depan. Ia
kelihatan gembira sekali. Meloncat-loncat seakan-akan tubuhnya seringan kapas.
Dasar anak-anak. Aku tersenyum geli.
Tunggu. Kenapa dia harus lewat sini sih?
Jantungku serasa akan meledak setiap kali bertemu dengannya. Alay? Tidak, tidak
sama sekali. Rasanya seperti kau melihat bidadari cantik yang turun dari
langit. Seperti di film film. Angin berhembus mengibarkan jilbabnya kali ini.
Semua sorot cahaya seakan tak mau kehilangan semburat indah wajahnya. Bersinar.
Entah aku yang terlalu tinggi berimajinasi. Yang jelas bagiku ini nyata. Aku
berhenti seketika. Kakiku terasa berat untuk melangkah.
“Hai Za,” dan akhirnya ia yang menyapa
duluan.
“Eh, hai Lun,” aku berusaha kelihatan
natural.
“Mau kemana?”
“Ada urusan di rumah.”
Inay rupanya menyadari bahwa aku tak
mengikutinya lagi. Ia berlari kearahku dan mencoba menarik-narik tasku
–walaupun sebenarnya ia tak bisa menyentuh tasku sama sekali-.
“Oo... Aku dengar pentas tetaternya
besok ya? jam berapa?”
“Jam tujuh malam Lun. Datang ya!” Inay
sudah berisik di belakangku. “Ya sudah... aku pulang dulu ya....” Aku langsung
segera pergi, sebelum Luna menjawab.
^^^
Kami berjalan menuju tempat kejadian
perkara. namun fikiranku masih fokus kepada Luna. Entah kenapa aku tidak bisa
membaca fikirannya. Hanya dia satu-satunya orang yang aku temui yang tak bisa
kubaca fikirannya. Aku jadi ragu jika ingin menyatakan perasaanku padanya. Apakah
dia juga sama?
“Kakak! Kita sudah sampai!” Inay berdiri
di depanku. “Kakak suka ya sama kakak yang tadi?”
“He? Ti... Tidak...” kenapa pula aku
harus curhat ke anak sepuluh tahun ini.
“Jangan bohong kak, aku tahu raut muka
seperti itu. Memang aku anak kecil. Tapi, anak jaman sekarang tuh
cerdas-cerdas. Bisa tahu segala hal.”
“Tjhh... Kau ini ada-ada saja. Di mana
kau jatuh?” aku segera mengalihkan pembicaraan.
“Ah, mengalihkan pembicaraan. Di sana.”
Inay menunjuk ke tengah jalan. Dengan
cepat siluet-siluet potongan kejadian itu seperti nyata berada di depanku. Aku
bisa merasakannya. Inay berlari mengejar pencopet itu, wajah pencopet itu. Inay
nekat menyebrang jalan. Ia bertekat untuk tetap mendapatkan tas itu. Sebuah
mobil sedan mendekat dari arah barat. Mobil itu... Mobil itu, sepertinya aku
kenal. Itu mobil Ayah. Mobil Ayah, ya benar. Mobil Ayah berusaha mengerem. Tapi
gagal. Inay jatuh terguling di jalan. Ah... kasihan sekali anak ini.
Aku baru ingat, Ayah pernah bilang kalau
beliau menabrak seorang anak kecil. Dan akhirnya anak itu meninggal di rumah
sakit. Mungkin ini sebab aku harus menolong Inay. Ayahku telah melakukan
kesalahan. Sebagai gantinya aku harus menebus kesalahan Ayah. Walaupun
sebenarnya tidak sepenuhnya salah Ayah dan tidak sepenuhnya salah Inay.
“Kakak,, Kakak suka melamun ya?”
“Eh, sepertinya aku tahu markas preman
sekitar sini.” Aku memang pernah melihat preman itu beberapa kali saat aku
melewati jalan dekat rumahku. Mungkin aku bisa menanyakannya. “ Ayo, ikut aku.”
Aku melangkah dengan pasti. Kasihan
Inay. Setidaknya ia harus bahagia saat meninggalkan dunia ini.
Aku menemukannya. Gerombolan preman itu
sedang nongkrong di depan markasnya. Aku menyiapkan mental. Setidaknya bersikap
sopan lebih baik.
“E.. maaf Bang. Mau nanya.”
Mereka melihatku dengan sinis. Inay
ngumpet dibelakang punggungku. Padahal tidak ngumpet pun dia tidak bakalan
kelihatan.
“Apa perlumu anak muda?” salah satu dari
mereka bertanya dengan garang.
“E... Saya mencari tas milik adik saya.”
“Hahaha... Mencari tas? Ngapain datang
kemari ha? Datang sana ke kantor polisi!” Mereka tertawa.
“Kata adik saya, sepertinya jatuh di
sini Bang.”
“Ah,,, tidak ada tas yang jatuh di sini.
Kalaupun ada pasti sudah kami buang. Hahaha... Hanya mengotori jalan saja.”
Huft... Sepertinya cara baik-baik tidak
berhasil. Gimana ini? Sebaiknya aku mundur dulu. Coba memikirkan strategi yang
baru.
“Baik kalau begitu Bang, saya permisi.”
Aku pergi meninggalkan mereka secepat
mungkin.
“Kenapa kakak menyerah?”
“Inay, kita butuh strategi lain. Cara
seperti ini sudah kuduga tidak berhasil.”
“Lalu? Aku takut kalau suratnya tak
segera sampai ke tangan pemiliknya bisa menimbulkan masalah.”
Aku berfikir. Ah, aku ada ide.
“Kamu intip di dalam markasnya. Cari
tasmu, besok saat markas mereka sepi, kakak akan menyelinap ke dalam. Setuju?”
Inay mengangguk.
“Aku tunggu di sini.”
Inay bergegas kembali ke markas
preman-preman itu. Ia mngendap-endap masuk. Walaupun ia juga tahu tidak usah
mengendap-endap pun ia tak akan ketahuan.
Sepuluh menit kemudian ia kembali.
“Gimana?”
“Ada di bawah meja besar dekat kasur
kak. Warnanya hijau tua. Huh... Sayang aku tak bisa memegangnya.”
“Sudah, besok kita cari waktu yang
tepat. Kakak akan tanya ke orang-orang sekitar, kapan mereka tidak ada di
markas.
***
Konsentrasiku terpecah. Banyak sekali
yang aku khawatirkan. Akankah aku berhasil membantu Inay, akankah pagelaranku
berhasil, akankah Luna bisa jadi bulan sabitku. Ah, lupakan yang nomor tiga.
Tidak menarik untuk saat ini.
Pagi-pagi sekali aku pergi ke markas
para preman itu. Ada salah seorang bapak-bapak yang sedang mendorong gerobak
sayur.
“Maaf pak, apa bapak tahu kapan markas
para preman itu kosong?”
“Memang kenapa dek?”
“Tas adik saya dijambret pak, ada
surat-surat penting yang ada di dalam sana. Saya mau mengambilnya kembali.”
“Oh, biasanya sekitar jam delapan mereka
pergi, entah kemana. Mungkin mencari korban baru. Hii... Sebentar lagi mereka
akan keluar.”
“Oh, terima kasih pak.”
“Semoga berhasil ya dek, saya jualan
dulu.”
“Oh iya pak, terima kasih.”
Tak mungkin aku menunggu mereka keluar.
Aku harus segera ke kampus. Ada satu mata kuliah yang harus aku hadiri. Besok
akan aku satroni tu markas. Hehehe....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar