Kamis, 13 September 2012

Bulan Sabit Reza episode 2


Aku tidak tega juga melihat wajah melasnya. Inilah kelemahanku, tidak tega melihat wajah-wajah sepeti ini.
“Baiklah, urusan apa yang belum kau selesaikan di dunia ini?”
“Aaaa... beneran kak?”
Aku mengangguk. Kemudian duduk di bawah pohon. Inay mengikuti.
“Kakak tahu, satu bulan yang lalu aku meninggal karena kecelakaan. Waktu itu aku harus mengantarkan beberapa surat. Pamanku sedang sakit. Jadi beliau mengamanahkan tugasnya kepadaku.”
“Lalu.”
“Aku ingin kakak mengirimkan surat itu kepda pemiliknya.”
“Apa? Apa urusanku? Pamanmu sekarang kemana? Kenapa tidak minta tolong kepada pamanmu?”
“Pamanku sudah terbaring lemah kak, beliau sudah tak berdaya.”
Jepreett... Jepreeett... Gambaran itu muncul. Pamannya tergeletak lemah di atas kasur. Siluet Ayah dan Ibunya meninggal karena gempa tiga tahun yang lalu. Argghh... Ini membuat kepalaku pusing.
“Kenapa kak?”
“Eh, nggak kok. Kepalaku agak pusing. Yasudah aku bantu, tapi janji, kau akan pergi dari sini setelah semuanya selesai. Sekarang dimana surat-surat itu?”
“Beneran kak? Yuhuu...”
Inay bersorak gembira, dasar anak-anak.
“Sudah sudah, dimana surat-surat itu berada?”
“Aku tidak tahu...”
“Apa?” Memang Inay tidak bohong kali ini. Aku juga sudah tahu, tapi bosan juga berpura-pura tidak tahu.
“Sebenarnya aku dijambret, saat aku kejar mereka eh ada mobil sembarangan menabrakku.”
“Hh... yasudah, aku bantu cari. Aku sedikit tahu preman-preman di daerah sini. Kamu kecelakaan dimana?”
“Di jalan besar dekat supermarket kota barat kak.”
“Oke, besok setelah selesai kuliah kita cari mereka.”
“Benarkah?”
Aku mengangguk.
“Yeee... Terima kasih kak. Inay pamit dulu ya, besok Inay jemput di kampus kakak.”
Aku melihat punggungnya sampai menghilang. Padahal ia juga bisa menghilang, kenapa susah-susah berjalan. Dasar anak-anak. Aduh, aku pulangnya gimana ini. Jauh sekali dari halte.
Akhirnya aku berjalan terseok-seok menuju halte. Capek ternyata.
***  
Aku memandang langit-langit kamar. Apa yang harus kulakukan. Aku hanya berbohong pada Inay kalau aku tahu preman-preman di sini. Tunggu besok saja. Pasti aku bisa melihat sesuatu di tempat kejadian.
“Zaa... Bulan sabit tuh, kamu nggak keluar?” sepertinya Ibu berteriak dari luar. Aku segera menuju jendala. Astaga kenapa aku sampai lupa. Aku selalu bisa menyaksikan fenomena ini setiap waktu. Aku suka bulan sabit, indah sekali. Entah kenapa. Walau kebanyakan orang menyukai bulan purnama, aku malah menyukai bulan sabit. Walaupun ia telah tertutupi sebagian bahkan lebih, tapi ia tetap meperlihatkan keanggunan sinarnya menyinari malam. Walaupun ia tak sempurna, tapi ia tetap menjaga bumi agar tetap terang dengan sisa sisa sinarnya. walaupun juga hanya sinar pantulan dari bintang besar itu, ia tetap indah. Kelak aku harus bisa mencari pendamping yang bisa seperti sang bulan sabit.
***  
Keesokan harinya aku berangkat kuliah seperti biasa. Namun yang tak biasa Inay menungguku di depan kelas sampai kelas selesai. Ia antusias sekali.
“Jay, hari ini aku nggak ikutan kumpul ya? Tugasku kan sudah selesai. Tidak perlu tambahan dana kan?” aku menelfon Jay.
“Oke, nanti aku bilang ke Surya,” kata penelfon di ujung sana.
Aku berjalan keluar menemui Inay. Inay tersenyum senang menatapku. aku mengisyaratkan ia untuk berjalan di depan. Ia kelihatan gembira sekali. Meloncat-loncat seakan-akan tubuhnya seringan kapas. Dasar anak-anak. Aku tersenyum geli.
Tunggu. Kenapa dia harus lewat sini sih? Jantungku serasa akan meledak setiap kali bertemu dengannya. Alay? Tidak, tidak sama sekali. Rasanya seperti kau melihat bidadari cantik yang turun dari langit. Seperti di film film. Angin berhembus mengibarkan jilbabnya kali ini. Semua sorot cahaya seakan tak mau kehilangan semburat indah wajahnya. Bersinar. Entah aku yang terlalu tinggi berimajinasi. Yang jelas bagiku ini nyata. Aku berhenti seketika. Kakiku terasa berat untuk melangkah.
“Hai Za,” dan akhirnya ia yang menyapa duluan.
“Eh, hai Lun,” aku berusaha kelihatan natural.
“Mau kemana?”
“Ada urusan di rumah.”
Inay rupanya menyadari bahwa aku tak mengikutinya lagi. Ia berlari kearahku dan mencoba menarik-narik tasku –walaupun sebenarnya ia tak bisa menyentuh tasku sama sekali-.
“Oo... Aku dengar pentas tetaternya besok ya? jam berapa?”
“Jam tujuh malam Lun. Datang ya!” Inay sudah berisik di belakangku. “Ya sudah... aku pulang dulu ya....” Aku langsung segera pergi, sebelum Luna menjawab.
^^^  
Kami berjalan menuju tempat kejadian perkara. namun fikiranku masih fokus kepada Luna. Entah kenapa aku tidak bisa membaca fikirannya. Hanya dia satu-satunya orang yang aku temui yang tak bisa kubaca fikirannya. Aku jadi ragu jika ingin menyatakan perasaanku padanya. Apakah dia juga sama?
“Kakak! Kita sudah sampai!” Inay berdiri di depanku. “Kakak suka ya sama kakak yang tadi?”
“He? Ti... Tidak...” kenapa pula aku harus curhat ke anak sepuluh tahun ini.
“Jangan bohong kak, aku tahu raut muka seperti itu. Memang aku anak kecil. Tapi, anak jaman sekarang tuh cerdas-cerdas. Bisa tahu segala hal.”
“Tjhh... Kau ini ada-ada saja. Di mana kau jatuh?” aku segera mengalihkan pembicaraan.
“Ah, mengalihkan pembicaraan. Di sana.”
Inay menunjuk ke tengah jalan. Dengan cepat siluet-siluet potongan kejadian itu seperti nyata berada di depanku. Aku bisa merasakannya. Inay berlari mengejar pencopet itu, wajah pencopet itu. Inay nekat menyebrang jalan. Ia bertekat untuk tetap mendapatkan tas itu. Sebuah mobil sedan mendekat dari arah barat. Mobil itu... Mobil itu, sepertinya aku kenal. Itu mobil Ayah. Mobil Ayah, ya benar. Mobil Ayah berusaha mengerem. Tapi gagal. Inay jatuh terguling di jalan. Ah... kasihan sekali anak ini.
Aku baru ingat, Ayah pernah bilang kalau beliau menabrak seorang anak kecil. Dan akhirnya anak itu meninggal di rumah sakit. Mungkin ini sebab aku harus menolong Inay. Ayahku telah melakukan kesalahan. Sebagai gantinya aku harus menebus kesalahan Ayah. Walaupun sebenarnya tidak sepenuhnya salah Ayah dan tidak sepenuhnya salah Inay.
“Kakak,, Kakak suka melamun ya?”
“Eh, sepertinya aku tahu markas preman sekitar sini.” Aku memang pernah melihat preman itu beberapa kali saat aku melewati jalan dekat rumahku. Mungkin aku bisa menanyakannya. “ Ayo, ikut aku.”
Aku melangkah dengan pasti. Kasihan Inay. Setidaknya ia harus bahagia saat meninggalkan dunia ini.
Aku menemukannya. Gerombolan preman itu sedang nongkrong di depan markasnya. Aku menyiapkan mental. Setidaknya bersikap sopan lebih baik.
“E.. maaf Bang. Mau nanya.”
Mereka melihatku dengan sinis. Inay ngumpet dibelakang punggungku. Padahal tidak ngumpet pun dia tidak bakalan kelihatan.
“Apa perlumu anak muda?” salah satu dari mereka bertanya dengan garang.
“E... Saya mencari tas milik adik saya.”
“Hahaha... Mencari tas? Ngapain datang kemari ha? Datang sana ke kantor polisi!” Mereka tertawa.
“Kata adik saya, sepertinya jatuh di sini Bang.”
“Ah,,, tidak ada tas yang jatuh di sini. Kalaupun ada pasti sudah kami buang. Hahaha... Hanya mengotori jalan saja.”
Huft... Sepertinya cara baik-baik tidak berhasil. Gimana ini? Sebaiknya aku mundur dulu. Coba memikirkan strategi yang baru.
“Baik kalau begitu Bang, saya permisi.”
Aku pergi meninggalkan mereka secepat mungkin.
“Kenapa kakak menyerah?”
“Inay, kita butuh strategi lain. Cara seperti ini sudah kuduga tidak berhasil.”
“Lalu? Aku takut kalau suratnya tak segera sampai ke tangan pemiliknya bisa menimbulkan masalah.”
Aku berfikir. Ah, aku ada ide.
“Kamu intip di dalam markasnya. Cari tasmu, besok saat markas mereka sepi, kakak akan menyelinap ke dalam. Setuju?”
Inay mengangguk.
“Aku tunggu di sini.”
Inay bergegas kembali ke markas preman-preman itu. Ia mngendap-endap masuk. Walaupun ia juga tahu tidak usah mengendap-endap pun ia tak akan ketahuan.
Sepuluh menit kemudian ia kembali.
“Gimana?”
“Ada di bawah meja besar dekat kasur kak. Warnanya hijau tua. Huh... Sayang aku tak bisa memegangnya.”
“Sudah, besok kita cari waktu yang tepat. Kakak akan tanya ke orang-orang sekitar, kapan mereka tidak ada di markas.
***  
Konsentrasiku terpecah. Banyak sekali yang aku khawatirkan. Akankah aku berhasil membantu Inay, akankah pagelaranku berhasil, akankah Luna bisa jadi bulan sabitku. Ah, lupakan yang nomor tiga. Tidak menarik untuk saat ini.
Pagi-pagi sekali aku pergi ke markas para preman itu. Ada salah seorang bapak-bapak yang sedang mendorong gerobak sayur.
“Maaf pak, apa bapak tahu kapan markas para preman itu kosong?”
“Memang kenapa dek?”
“Tas adik saya dijambret pak, ada surat-surat penting yang ada di dalam sana. Saya mau mengambilnya kembali.”
“Oh, biasanya sekitar jam delapan mereka pergi, entah kemana. Mungkin mencari korban baru. Hii... Sebentar lagi mereka akan keluar.”
“Oh, terima kasih pak.”
“Semoga berhasil ya dek, saya jualan dulu.”
“Oh iya pak, terima kasih.”
Tak mungkin aku menunggu mereka keluar. Aku harus segera ke kampus. Ada satu mata kuliah yang harus aku hadiri. Besok akan aku satroni tu markas. Hehehe....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar